x

pasarbadung.id menyediakan berbagai jenis kebutuhan yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 31 Desember 2021 05:47 WIB

Minyak, Ayam, dan Telor Riuh Merayakan Tahun Baru

Fenomena kenaikan harga yang gila-gilaan ini menggambarkan keadaan apa? Benarkah ini karena sebagian orang sedang menguras cuan? Hanya gejala musiman? Atau pertanda rentannya ketahanan pangan kita? Ataukah ada penjelasan yang lebih fundamental? Inilah tantangan bagi BPIP untuk menelurkan pemikiran ekonomi Pancasila yang aplikatif.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Cukup lama minyak goreng bertengger di posisi teratas bahan pokok yang melejit harganya. Para juragan kebon sawit dan minyak goreng panen besar cuan di tengah jeritan bapak dan ibu rumah tangga, serta penjual gorengan.

Seakan tak mau kalah dari minyak goreng, ayam dan telor pun ikut terbang. Harga telor ayam bahkan menembus Rp 33 ribu per kilogram. Ayam? Tidak usah ditanya lagi. Bahan lain kabarnya menyusul ingin ikut merayakan tahun baru dengan naik harga. Pokoknya pergantian tahun ke 2022 bakal dimeriahkan oleh kenaikan berbagai kebutuhan pokok sehari-hari yang berkaitan dengan asupan gizi. Itupun masih ditambah dengan keputusan menaikkan harga LPG untuk ukuran 5,5 kg dan 12 kg.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Banyak pedagang warteg, warsun, martabak, nasgor, sulit mengakses ayam, telor, dan minyak goreng. Keluarga pun kesulitan mengatur anggaran manakala harga-harga melambung lebih dari 25% dalam sekejap. Bahkan, penjual ayam dan telor di pasar pun bingung menjualnya, sebab kata mereka marjinnya pun tipis. Loh kok bisa? Siapa sebenarnya yang menangguk cuan dari situasi ini?

Fenomena kenaikan harga yang gila-gilaan ini menggambarkan keadaan apa? Benarkah ini karena sebagian orang berusaha menguras cuan dari peningkatan permintaan? Benarkah ini ulah sebagian orang yang memanfaatkan peluang tanpa peduli pada kesulitan lebih banyak orang? Benarkah ini hanya gejala musiman yang akan segera berlalu, seperti kata pejabat?

Apakah fenomena kenaikan harga berbagai kebutuhan rumah tangga ini menjadi penanda rentannya ketahanan pangan kita maupun ketahanan energi kita? Apabila ini gejala musiman karena permintaan di sekitar Natura meningkat, betapa mudah goyah harga-harga kebutuhan pokok dan pada gilirannya betapa mudah goyah rumah tangga keluarga menengah ke bawah?

Ataukah ada yang tidak beres dari ekonomi kita secara lebih fundamental?

Perkara kenaikan harga-harga yang drastis dan mendadak ini mestinya bisa jadi bahan kajian para punggawa BPIP [Badan Pembinaan Ideologi Pancasila], misalnya apakah praktik ekonomi kita selama ini sesuai dengan nilai-nilai Pancasila atau lebih dekat dengan sistem kapitalis? Apakah ketika sebagian orang bisa menangguk untung sangat banyak sementara masyarakat harus menanggung kenaikan harga yang drastis, ini juga praktik ekonomi dan bisnis yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila?

Para punggawa maupun penasihat BPIP mestinya memikirkan isu-isu penting dan mendasar seperti praktik ekonomi ini, kira-kira seperti apa tawaran gagasan pemikiran BPIP mengenai ekonomi yang meng-Indonesia agar seluruh rakyat dapat ikut menikmati anugerah kekayaan alam yang diberikan kepada tanah air ini. Seperti apa teori ekonomi yang bisa dipraktikkan agar rakyat tidak gampang diombang-ambingkan oleh kenaikan harga yang tiba-tiba. BPIP mestinya punya pemikiran berbobot mengenai isu fundamental ini, bukan sekedar mengadakan sayembara ini dan itu. BPIP mestinya mampu merumuskan ideologi ekonomi Pancasila yang aplikatif, bukan sekedar teoritis normatif. Ataukah kita akan tetap bersandar pada teori Adam Smith untuk selamanya? >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler