x

solusi apik pembelajaran covid

Iklan

Ayu Fitri Khairunnisa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 Desember 2021

Rabu, 29 Desember 2021 17:31 WIB

Pendidikan di Masa Pandemi: yang Kaya Makin Pandai, yang Miskin Makin Tertinggal

Dari fenomena School From Home dapat dikaitkan dengan pendapat Ivan Illich mengenai monopoli legitimasi pendidikan oleh sekolah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hampir dua tahun lamanya peserta didik di Indonesia, dari jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi belajar dari rumah secara online akibat pandemi Covid-19. Belajar dari rumah atau yang akrab disebut Study From Home (SFH)/ Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) adalah sebuah kebijakan pemerintah agar pendidikan tetap berjalan di tengah pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia. Hal itu dilakukan karena mengingat guna pendidikan sangatlah penting untuk melahirkan generasi bangsa yang berkarakter, berbudi pekerti luhur, dan berwawasan. Agar nantinya, dapat menjadi bekal generasi muda untuk dapat bertahan dan mampu bersaing secara global.
 
Kehadiran pandemi ini adalah sebuah hal yang tak terduga. Banyak bidang pekerjaan yang tidak siap dengan adanya Covid-19. Begitu pun di bidang pendidikan yang masih belum sepenuhnya siap dengan metode PJJ ini. Terlihat dari banyaknya peserta didik yang mengeluh di sosial media. Hal itu dikarenakan banyak guru yang gagap teknologi, begitu pun dengan orangtua peserta didik. Sehingga, pengetahuan yang didapatkan tidak maksimal. Alasan lain karena dengan metode PJJ ini banyak guru-guru yang mengurangi tanggungjawabnya untuk menjelaskan materi secara rinci. Mereka hanya sebatas mengirim sebuah link video youtube atau e-book dan dilanjutkan dengan pemberian tugas yang menggunung.
 
Kebanyakan guru-guru tidak begitu paham dengan keadaan pembelajaran yang sudah berubah. Mereka seolah memindahkan seluruh aktivitas sekolah ke dalam rumah, sehingga terbentuklah sebuah mindset bahwa anak-anak di rumah punya banyak waktu, kasih tugas saja agar mereka tidak bermain keluar rumah. Mindset ini hampir dimiliki oleh setiap guru pelajaran. Akibatnya, setiap mata pelajaran pasti memiliki tugas. Kedengarannya memang benar, agar peserta didik tidak terlalu banyak bermain, tetapi di satu sisi peserta didik merasa semakin terbebani dan berujung stress. Karena latar belakang, suasana, dan kondisi rumah setiap peserta didik itu berbeda.
 
Peserta didik yang berasal dari golongan atas dapat dengan mudah memahami materi yang diberikan. Pertama, karena mereka memiliki fasilitas yang mendukung, seperti halnya handphone atau laptop yang kapasitas penyimpanannya besar, jaringan internet yang lancar, dan suasana rumah yang kondusif dan nyaman. Kedua, kemungkinan keluarganya memiliki pendidikan yang tinggi. Jika pun tidak, orangtua dapat dengan mudah memberikan guru privat yang bisa datang ke rumah atau pun les tambahan secara online. Ketiga, mereka hanya difokuskan untuk belajar. Perihal biaya pendidikan, buku penunjang, makanan, pakaian, suplemen kesehatan tambahan tidak perlu dipusingkan karena semuanya sudah disediakan oleh orangtua mereka.
 
Lain halnya dengan peserta didik yang berasal dari golongan bawah. Fasilitas pun tidak bisa dimiliki secara optimal atau bahkan tidak punya sama sekali teknologi yang mendukung kegiatan PJJ ini. Karena, bagi keluarga peserta didik yang berasal dari golongan bawah bisa makan pun sudah bersyukur. Selain itu, lingkungan tempat tinggal yang kurang kondusif dan latar belakang orangtua juga menjadi hambatan untuk mereka. Bagaimana mereka bisa mencerna materi yang diberikan jika harus sambilan mengurus adik atau beres-beres rumah? bagaimana bisa mengerjakan tugas sekolah jika mereka tidak mengerti dan saat bertanya kepada anggota keluarga yang lain pun tidak mengerti? belum lagi persoalan biaya pendidikan yang tetap harus dibayar walaupun pekerjaan orangtua sudah hilang akibat pandemi. Meskipun ada keringanan yang diberikan oleh pihak sekolah tetapi ada pula tambahan pengeluaran untuk menunjang PJJ, yaitu pembelian paket internet (kuota internet).
 
Dari fenomena school from home dapat dikaitkan dengan pendapat Ivan Illich mengenai monopoli legitimasi pendidikan oleh sekolah. Sekolah secara tersembunyi menanamkan kepada seluruh orang tua sebagai satu-satunya tempat untuk mendapat pendidikan dan meraih kesuksesan di masa depan. Tetapi, di samping itu semua ada biaya besar yang harus dikeluarkan oleh peserta didik. Dan biaya pendidikan tersebut tidak bisa diraih oleh masyarakat yang berasal dari golongan bawah.
 
Dengan demikian, golongan atas semakin bertambah kaya karena bisa membekali anak-anaknya pendidikan terbaik yang akan mengantarkan mereka ke pekerjaan terpandang. Sedangkan untuk golongan bawah akan semakin sulit untuk ber-progress ke taraf hidup yang lebih baik karena mengenyam pendidikan yang minim. Sehingga, semakin terlihatlah kesenjangan antara golongan kaya dan golongan miskin yang mustahil untuk terputus.
 
Ayu Fitri Khairunnisa, mahasiswi jurusan Pendidikan Sosiologi A 2019, Universitas Negeri Jakarta
 

Ikuti tulisan menarik Ayu Fitri Khairunnisa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB