x

Iklan

Hasna Hudiya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 Desember 2021

Kamis, 30 Desember 2021 05:56 WIB

Lembaga Pendidikan Sebagai Ruang Baru Terhadap Kekerasan Seksual Pada Anak

Setiap tahunnya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia semakin meningkat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setiap tahun kasus kekerasan seksual di Indonesia semakin meningkat. Kasus kekerasan seksual ini tidak hanya terjadi pada kalangan dewasa saja yang sudah melewati masa pubertas. Aktivitas seksual seharusnya dilakukan ketika pasangan yang sudah diakui sah secara agama dan negara, sedangkan aktivitas seksual yang dilakukan antara orang dewasa dan anak sangat tidak dapat dibenarkan sama sekali. Kasus kekerasan seksual yang semakin meningkat dari waktu ke waktu ini pelakunya berasal dari berbagai kalangan. Seorang anak sangat rentan mengalami kekerasan seksual karena anak dianggap sebagai sosok lemah yang tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Sehingga ketidakberdayaan anak sangat mudah dimanfaatkan oleh orang dewasa yang memiliki pikiran keji.

Kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak kebanyakan terungkap dalam jangka waktu yang sangat lama, bahkan hingga bertahun-tahun. Adanya unsur penipuan, pemaksaan, dan ancaman menjadikan salah satu faktor kasus tersebut terungkap sangat lama. Korban merasa malu atas kejadian yang telah dilakukan oleh pelaku karena menganggap hal itu merupakan aib yang harus dirahasiakan. Ancaman-ancaman yang dilontarkan pelaku kepada korban jika menyebarkan berita tersebut juga menjadikan korban merasa takut jika mengungkap kasusnya. Sedangkan pelaku juga merasa malu dan takut jika kasusnya terungkap akan berurusan dengan pihak yang berwenang dan pastinya akan menerima hukuman. Apalagi jika pelaku dikenal sebagai sosok yang dipandang baik atau merupakan tokoh yang dikenal masyarakat sekitar sehingga jika semuanya terungkap akan menjatuhkan nama baiknya.

Tidak dapat disangka bahwa ternyata seorang public figure atau role model di sekolah yang biasa disebut sebagai seorang guru tega melakukan hal keji terhadap muridnya sendiri. guru sebagai orang tua di sekolah yang seharusnya membimbing, mendidik, dan mencontohkan perbuatan-perbuatan yang baik justru melakukan hal yang sangat tidak patut ditiru. Murid menganggap perintah-perintah guru merupakan hal yang harus dilakukan. Seperti yang sedang ramai diperbincangkan belakangan ini mengenai terungkapnya kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh pemilik salah satu pondok pesantren yang ada di Bandung. Pelaku yang diketahui berinisial HW sudah melakukan perbuatannya sejak 2016.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

12 murid yang menjadi korban kekerasan seksual oleh HW diberi rayuan bahwa sebagai murid harus menuruti perintah guru. Dapat dilihat guru sebagai seseorang yang memiliki kekuasaan atas muridnya tersebut sehingga merasa bebas melakukan apapun. Giroux (dalam Rakhmat Hidayat, 2013: 180) melihat dalam pendidikan adanya fenomena kekerasan yang dilakukan kelompok dominan kepada kelompok subordinat. Dalam hal ini seorang guru sebagai kelompok dominan dapat berkuasa bahkan menyalahgunakan kekuasaannya tersebut demi kepentingan pribadi yang sangat berdampak buruk terhadap muridnya.

Di dalam paradigma pendidikan semacam ini, peserta didik dilihat sebagai robot-robot patuh yang siap diperintah untuk mengerjakan sesuatu. Soal-soal keadilan sosial, nilai, etika dan hubungan kekuasaan di dalam masyarakat dijauhkan dari model pengajaran dan kurikulum Pendidikan (Reza A.A Wattimena). Ungkapan yang mengharuskan murid patuh terhadap apa yang dikatakan oleh guru menjadi jargon kekuasaan yang menyebabkan nalar kritis murid tidak terbentuk. Menurut Giroux, murid seharusnya diperjuangkan menjadi intelektual kritis, tetapi kasus yang menimpa 12 murid tadi justru mematikan daya pikir kritisnya. Jika murid sudah memiliki pemikiran yang kritis, maka bisa saja murid tersebut menolak dan tidak menghiraukan rayuan-rayuan atau ancaman yang dilontarkan sang guru.

Sekolah yang seharusnya menjadi ruang aman bagi para murid untuk mengembangkan intelektualnya justru berbanding terbalik. Sekolah bukan lagi tempat yang aman untuk murid dalam mempersiapkan masa depannya. Guru sebagai public figure yang seharusnya mencontohkan sebagai panutan dan melindungi muridnya tidak dapat berfungsi dengan maksimal. Dalam pandangan Girroux, hakikat Pendidikan adalah mentransformasikan nilai-nilai humanisasi subjek. Singkatnya kekerasan yang terjadi akibat dominasi dan ketimpangan antara penguasa dengan masyarakat yang justru mendehumanisasikan keduanya. Jika kasus kekerasan seksual terus meningkat pada lembaga pendidikan maka hakikat humanisasi pada pendidikan dapat dikatakan tidak berjalan maksimal.

Murid sebagai objek pemuas kebutuhan seksual gurunya menggambarkan adanya ketimpangan di dalam Pendidikan antara guru sebagai kelompok dominan dan murid sebagai kelompok subordinat. Pedagogi kritis yang dikembangkan oleh Giroux mengungkapkan dominasi dalam ranah Pendidikan yang dianggap dapat mengembangkan kesadaran kritis para murid atas dominasi yang dilakukan oleh para guru. Hal ini dimaksudkan bukan dengan tujuan agar murid dapat membangkang atas perintah yang diberikan oleh guru, namun dapat memberikan opini-opini yang lebih rasional jika perintah yang dikeluarkan sudah tidak masuk akal.

Giroux mengembangkan pedagogi kritis yang dimaksudkan sebagai kritik terhadap praktik-praktik penindasan yang dilakukan kelompok dominasi di dalam masyarakat. Sebagai contoh nyata yang sedang marak terjadi dalam Pendidikan. Kekerasan seksual dalam bentuk penindasan yang dilakukan oleh guru untuk melihat kemungkinan terjadinya perubahan melalui kesadaran kritis demi mendapatkan kebebasan, keadilan, dan kesetaraan antara guru dan murid.

Ikuti tulisan menarik Hasna Hudiya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB