x

Guru sedang menjelaskan materi fisika

Iklan

Sofie Dewayani

Ketua Satgas Gerakan Literasi Sekolah Kemdikbudristek
Bergabung Sejak: 30 Desember 2021

Kamis, 30 Desember 2021 17:32 WIB

Kurikulum Prototipe: Menggali Literasi Lebih Dalam Lagi

Di masa pemulihan sekolah akibat pandemi ini, kita disentakkan oleh data ketertinggalan kompetensi literasi di pendidikan dasar. Tidak meratanya akses kepada jaringan internet membatasi partisipasi siswa dalam pembelajaran jarak jauh, sehingga berdampak pada penurunan kecakapan membaca. Fenomena ini dikenal dengan literacy loss yang merujuk pada menurunnya kecakapan membaca dan menulis di SD. Kajian  dan testimoni guru menyatakan bahwa kecakapan membaca banyak siswa SD mengalami kemunduran.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sofie Dewayani, Ketua Satgas Gerakan Literasi Sekolah Kemdikbudristek

Istilah 'literasi' telah diakrabi oleh kalangan pendidik dan pegiat pendidikan, setidaknya dalam beberapa tahun terakhir ini. Sebelum pandemi, Gerakan Literasi Sekolah (GLS) digelorakan oleh sekolah, lazimnya, dalam bentuk kegiatan penumbuhan minat baca. Program membaca selama 15 menit sebelum jam pelajaran, pembuatan pojok baca di kelas maupun di luar kelas, guru dan orang tua membacakan buku, festival atau lomba literasi (yang notabene sering berupa sayembara guru dan siswa menulis buku), guru dan orang tua mendongeng, adalah perwujudan GLS yang diceritakan oleh sekolah untuk memperkuat klaim mereka bahwa 'sekolah kami sudah melaksanakan literasi.' Apabila makna literasi dimaknai sekadar penumbuhan minat baca, tentu program itu bukanlah hal baru. Jauh sebelum literasi menjadi jargon yang seksi, program serupa dikenal dengan gerakan gemar membaca.

Karena 'literasi' terlanjur menjadi materi kampanye yang atraktif, ia kerap tampil dengan beragam wajah dan makna. Apabila seorang pengawas sekolah bertanya, "Mana literasinya?" saat membaca dokumen Rencana Proses Pembelajaran (RPP) seorang guru, ia sesungguhnya menanyakan penyebutan 'literasi' secara eksplisit pada dokumen tersebut. Demikian pula, bab 'literasi' pada buku teks biasanya memuat kegiatan membaca teks fiksi dengan jurnal membaca untuk merekam catatan membaca.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertanyaan "Mana literasinya?" apabila dilontarkan oleh seorang petugas monitoring evaluasi, biasanya akan terjawab dengan tampilan struktur organisasi Tim Literasi Sekolah di perpustakaan sekolah, data jumlah buku yang ditulis guru dan siswa, serta jumlah kegiatan penumbuhan minat baca lainnya. Sebagai jargon, 'literasi' sering mewujud dalam indikator terukur yang dapat ditandai (baca: dicentang) dalam instumen kelengkapan RPP dan perangkat pengawasan lain. Menurunkan literasi dalam indikator memang menjadi cara yang mudah bagi pemangku kepentingan untuk mengawasi kinerja guru dan sekolah. Namun sudahkah indikator itu berdampak pada capaian siswa?

Cara 'Mudah' itu Belum Cukup

Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah memang menyitir beberapa indikator bagi tumbuhnya budaya literasi sekolah. Konsep budaya literasi yang merujuk pada buku Carol Beers tahun 2001 A Principal's Guide to Literacy Instruction ini menyebutkan pentingnya membangun lingkungan fisik, lingkungan sosial, dan lingkungan akademik yang kaya literasi. Pembangunan pojok baca sekolah dan pengembangan koleksi buku bacaan untuk menumbuhkan minat baca serta berkarya merupakan gerbang untuk mulai meningkatkan kecakapan literasi siswa. Banyak sekolah telah membimbing siswa memasuki gerbang tersebut. Namun sekolah tersebut sering terlalu asyik membangun gerbang literasi yang megah tanpa mengajak siswa melangkah lebih jauh lagi.

Di masa pemulihan sekolah akibat pandemi ini, kita disentakkan oleh data ketertinggalan kompetensi literasi di pendidikan dasar. Tidak meratanya akses kepada jaringan internet membatasi partisipasi siswa dalam pembelajaran jarak jauh, sehingga berdampak pada penurunan kecakapan membaca. Fenomena ini dikenal dengan literacy loss (bukan sekadar learning loss) yang merujuk kepada menurunnya kecakapan membaca dan menulis di SD. Kajian  dan testimoni guru menyatakan bahwa kecakapan membaca banyak siswa SD mengalami kemunduran.

Kenyataan ini kita hadapi bersamaan dengan berlakunya kebijakan kurikulum dan asesmen, salah satunya adalah Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang mengukur kecakapan literasi dan numerasi siswa. Saat ini kita masih menunggu rilis peta hasil AKM yang diujikan dalam Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) beberapa saat lalu. Namun sementara itu, guru-guru menanggapi AKM dengan gamang, Pertanyaan-pertanyaan seperti, "Apakah nanti pemerintah akan menambahkan pelajaran literasi dan numerasi pada kurikulum baru? Bagaimana strategi membantu siswa menghadapi AKM? Efektifkah buku Kisi-Kisi AKM yang dijual di pasaran?" lazim ditanyakan guru.  

Kebingungan ini menunjukkan bahwa konsep literasi belum dipahami dengan baik. Literasi tereduksi menjadi penumbuhan minat membaca semata. Siswa yang tumbuh di keluarga dan daerah dengan kaya fasilitas (biasa dikenal dengan kaya teks atau print-rich) mengembangkan kecakapan berpikirnya dengan stimulasi dari interaksi sosial, percakapan, dan ragam bacaan. Namun, bagi sebagian besar siswa, memajankan mereka dengan ragam bacaan saja tidak cukup. Mereka perlu melihat orang dewasa berpikir, mendiskusikan bacaan, dan memodelkan cara memahami isi bacaan. Mereka pun memerlukan bacaan yang tepat sehingga mereka dapat berlatih memahami isi bacaan secara bertahap. Karena itu, strategi membaca, memahami, dan mengkritisi bacaan harus diajarkan guru di sekolah secara eksplisit.  

Definisi literasi yang diperkenalkan oleh lembaga internasional sebetulnya telah banyak dibahas dalam pelatihan-pelatihan guru. International Literacy Association (ILA), misalnya, mendefinisikan literasi sebagai kemampuan untuk mengenali, memahami, menafsirkan, mencipta, mengkomputasi, dan berkomunikasi menggunakan simbol visual, auditori, dan digital mengenai topik lintas disiplin dan keilmuan. Yang saat ini terabaikan di sekolah adalah kontinum literasi yang penting, yaitu bahwa pemahaman terhadap materi bacaan dicapai melalui kefasihan membaca sebagai fondasi. Dengan literacy loss saat ini, bagaimana keterampilan memahami dan mengkritisi bacaan dapat dimiliki oleh seorang siswa?

Kontinum Literasi

 

 

Tak Ada Siswa yang Tertinggal

Literasi bukan konsep baru yang diperkenalkan oleh kurikulum prototipe, kurikulum yang sedang dimatangkan oleh Kemdikbudristek saat ini. Kurikulum 2013 pun telah mengutamakan pentingnya kemampuan berpikir kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif sebagai kemampuan abad ke-21. Kemampuan itu dicapai seorang siswa apabila ia 'literat:' mampu mengkonstruksi makna dari bacaan dan fenomena di sekitarnya.

Satu hal baru dari kurikulum prototipe adalah ruang yang lebih leluasa bagi guru untuk merancang pembelajaran sesuai dengan kemampuan, karakteristik, dan kebutuhan siswa. Hal ini dimungkinkan oleh Capaian Pembelajaran (CP) yang karakteristiknya cukup general. Pada beberapa mata pelajaran, CP hanya memuat kompetensi yang dicapai siswa pada akhir fase. Hal ini memberikan kebebasan kepada guru untuk memilihkan materi ajar kontekstual untuk membantu siswa mencapai kompetensi yang dituntut pada akhir fase tersebut.

Dengan CP yang lebih umum sebagai rujukan, guru pun dapat mengutamakan penyampaian materi secara lebih mendalam. Karena tak harus terburu-buru menuntaskan materi yang banyak, guru dapat fokus memberikan bimbingan kepada siswa yang belum lancar membaca, menulis, dan memahami bacaan dengan baik. Bantuan memahami bacaan perlu diberikan bahkan kepada siswa di jenjang pendidikan menengah karena kompleksitas bacaan yang semakin meningkat. Selain itu, guru dapat melakukan asesmen membaca, menulis, juga kecakapan literasi dan numerasi (sesuai learning progression pada AKM) secara berkala. Hasil asesmen ini kemudian dapat membantu guru untuk merancang pembelajaran dengan tujuan yang berbeda sesuai dengan ragam profil kemampuan literasi membaca berbagai kelompok siswa di kelas. Merancang pembelajaran dengan proses dan materi ajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa ini merupakan salah satu bentuk pembelajaran berdiferensiasi.

Tentu guru memerlukan bantuan untuk menurunkan CP menjadi tujuan pembelajaran yang operasional di kelas. Kurikulum prototipe juga dilengkapi dengan berbagai perangkat berupa bahan ajar cetak, digital, serta audiovisual yang memuat inspirasi berupa strategi untuk mengembangkan kecakapan berpikir siswa melalui ragam teks bacaan. Kebijakan perbukuan juga mendorong dan membantu guru memilihkan sumber belajar yang sesuai dengan kemampuan membaca siswa.

Kecakapan literasi tentunya selalu menjadi muatan dokumen kurikulum. Prinsip dalam dokumen  tersebut beserta perangkatnya seharusnya terus disempurnakan agar membantu guru merancang, melaksanakan pembelajaran dan asesmen, serta memilih, dan memodelkan strategi mengkonstruksi makna dari teks sehingga kegiatan literasi sekolah tak hanya semarak gaungnya, namun juga nyata dampaknya bagi siswa.

 

 

Ikuti tulisan menarik Sofie Dewayani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler