x

Ilustrasi bantuan pendidikan. Sumber foto: bekasikota.go.id

Iklan

Dina Amatul Jamil dan Wardah Hamidah

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta
Bergabung Sejak: 30 Desember 2021

Kamis, 30 Desember 2021 17:34 WIB

Di Balik Berkilaunya Budaya Pop, Terkuak Komersialisasi Hiburan

Pendidikan adalah hak segala bangsa, sehingga setiap orang berkesempatan untuk mengenyam pendidikan. Tetapi, apa jadinya jika pendidikan hanyalah alat untuk keberlangsungan praktik kapitalisme?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pendidikan dapat diperoleh dimana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Pendidikan terbagi menjadi tiga sektor, yaitu pendidikan formal, non formal, hingga informal. Dari ketiga jalur tersebut, pada akhirnya tujuan pendidikan tetaplah sama, yaitu untuk memanusiakan manusia. Manusia yang menjadi bagian dari masyarakat tidak bisa hidup sesuai dengan kehendak sendiri, karena setiap orang memiliki hak masing-masing untuk melanjutkan hidup dan kehidupannya. Oleh karena itu, pendidikan sebagai transformasi pola pikir dan daya kritis dapat membuat seseorang agar mampu melanjutkan kehidupan sesuai dengan norma-norma yang ada di masyarakat sesuai dengan tuntutan zaman.

 Di era modern seperti saat ini, perkembangan teknologi sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat. Pendidikan sebagai garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, terus mengembangkan eksistensinya agar dapat memberantas praktik-praktik kotor kapitalisme, salah satunya dalam ranah hiburan. The Walt Disney atau yang biasa disebut dengan Disney adalah sebuah perusahaan besar berbasis budaya pop yang bergerak dalam ranah hiburan. Perusahaan yang telah berdiri sejak tahun 1923 ini telah melahirkan banyak karya-karya berupa film dan kartun dengan genre yang bermacam macam, mulai dari roman, komedi, petualangan, musikal, hingga fantasi. Disney melebarkan sayapnya dengan mendirikan resort, theme park, dan merchandise. Tak hanya dalam ranah Hollywood saja, tetapi karya-karya Disney sudah dinikmati oleh seluruh kalangan masyarakat di kancah internasional dengan produksi film dan kartunnya sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia. Nilai-nilai moral, kekeluargaan, hingga pendidikan tersaji dalam cerita ringan yang dikemas menjadi animasi dan menjadi tontonan yang menarik bagi anak-anak sebagai target pasar. Bahkan tak hanya anak-anak saja, remaja, dewasa, hingga lansia pun ikut turut menjadikan film kartun sebagai tontonan keluarga saat kumpul bersama atau tontonan sendiri sebagai salah satu asupan pendidikan berbentuk audio visual.

 Film dan kartun produksi Disney menggambarkan nilai-nilai dan arti penting kehidupan, berupa kekeluargaan, persahabatan, semangat patriotisme, kesederhanaan, keadilan, kebaikan, kejujuran, dan lain-lain agar para penonton setianya dapat memetik hikmahnya. Tetapi dibalik amanat yang ditayangkan dalam film tersebut, tersimpan pesan tersirat mengenai hal-hal yang dapat membius penonton. Tayangan film Disney yang mengangkat kisah kehidupan keluarga yang terdapat konflik di dalamnya beriringan dengan perkembangan industri kapitalis. Suyahman (2021) memaparkan bahwa jika anak menonton film yang memuat hal-hal baik, maka ia akan melakukan hal-hal yang baik pula dan begitu juga sebaliknya. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 Ketidaksukaan Henry Giroux pada Disney nyata adanya, yang dibuktikan dengan terbitnya buku yang berjudul The Mouse That Roared: Disney And The End Of Innocence (1999). Henry Giroux mengkritik habis-habisan Disney yang telah menculik anak-anak dan mengurungnya ke dalam dunia kapitalisme. Anak-anak yang masih polos terbius dan secara tak sadar terperosok ke dalam komersialisasi kelucuan. Disney telah membuat perkara karena kelucuan tersebut menjadi konsumsi anak-anak secara luas melalui tayangan film, animasi, karakter-karakter yang imajinatif, hingga pusat hiburan Disney Land yang pada dasarnya bertujuan untuk menjadikan pasar jual beli hiburan.

 Giroux berpandangan bahwa Disney hanya penuh dengan problematis dengan menghipnotis kerangka berpikir anak-anak, remaja, dewasa, hingga lansia telah dikendalikan sehingga hidup dalam dunia Disney yang menjadikan dunia sebagai kios-kios penjual mainan, tak terkecuali dengan pendidikan. Akibat dari kegiatan jual beli tersebut, siapapun percaya bahwa apapun dapat dibeli dengan uang. Uang dapat mewujudkan angan-angan menjadi kenyataan. Sehingga setelah anak-anak telah mendapatkan asupan pemikiran komersialisasi hiburan, beranjak dewasa mereka akan kembali menghadapi tantangan lain. Dalam Youth in a Suspect Society: Democracy or Disposability? (2009) Giroux berpendapat bahwa kaum milenial pada dasarnya terlahir ke dunia untuk mengonsumsi produk. Sehingga karena telah terbiasa dengan hidup di bawah praktik kapitalisme, maka kesenjangan ekonomi, korupsi, hingga ketidakadilan adalah hal yang lazim. 

 Tak hanya sampai disitu saja, kritik Giroux tentang budaya pop tertuang dalam bukunya yang berjudul Zombie Politics and Culture in the Age of Casino Capitalism (2011). Giroux mengungkapkan jika permainan dan film zombi sebenarnya mirip dengan para alumni-alumni lulusan sekolah yang telah dieksploitasi oleh praktik jahat pendidikan. Zombi yang biasa kita tahu, yaitu tidak bernyawa, dikendalikan oleh orang lain, teman makan teman, dehumanisasi, dan berkeluyuran kesana kemari tanpa ada tujuan selain mencari makanan. Sama halnya dengan para lulusan sekolah yang egosentris, hilang empati, tutup mata pada ketidakadilan, hingga patuh terhadap penguasa. Sedangkan kasino kapitalis membuat tenaga pendidik dan para lulusan pendidikan terlena dengan janji manis bahwa kemenangan ada di depan mata jika tunduk pada para pemilik modal, sehingga menjadikan manusia agar hidup bersandingan dengan benda tak hidup, seperti kehidupan mereka yang sudah mati, layaknya zombi.

 Tak akan ada perubahan jika tak adanya kesadaran. Oleh karenanya, praktik-praktik komersialisasi hiburan yang berujung negatif perlu diberantas secara tuntas. Dalam bukunya Youth in a Suspect Society (2009), Giroux melontarkan cara-cara untuk melepaskan belenggu atas dampak buruk dari praktik kapitalisme, yaitu: 1) Penyadaran pada seluruh elemen masyarakat, jika budaya pop ialah pedagogi konsumeristik, yang dibuat dengan genre fiksi belaka sehingga cenderung dibuat-buat untuk keuntungan para pemilik modal. 2) Budaya pop membuat anak-anak dan generasi milenial tunduk pada kapitalisme yang menghalalkan segala cara agar mencapai keuntungan, sehingga mereka perlu dibina, diarahkan, dan diawasi melalui pendidikan dan pengajaran agar tidak menjadi sampah masyarakat. 3) Budaya pop mengeksploitasi masyarakat, terlihat dari karakter-karakter fiktif yang terdiskriminasi dan terdominasi sehingga perlu keterlibatan seluruh pihak untuk melawan praktik-praktik dominasi kapitalis. dan 4) Pedagogi kritis untuk membentuk pola pikir yang maju, berkarakter, dan dapat memecahkan permasalahan sentral.

Ikuti tulisan menarik Dina Amatul Jamil dan Wardah Hamidah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler