x

cover foto Singih Gunarsa

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 31 Desember 2021 18:03 WIB

Melintas Batas Cakrawala, Otobiografi Singgih D. Gunarsa

Belajar dari orang sukses selalu menarik. Apalagi kalau kesuksesan tersebut dikisahkan langsung oleh yang bersangkutan. Buku “Melintas Batas Cakrawala – Kisah Ketangguhan Menembus Rintangan & Meraih Prestasi” ini ditulis sendiri oleh Singgih D. Gunarsa. Tak hanya berkisah secara kronologis, Singgih Gunarsa membumbui kisahnya dengan berbagai telaah dari ilmu psikologi yang ditekuninya. Singgih tak segan membagikan kisah-kisah yang mungkin dianggap aib bagi sebagian orang lain. Ia menganggap pengalaman-pengalaman sepahit apapun perlu dikisahkan sebagai bagian dari pembelajaran kehidupan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Melintas Batas Cakrawala

Penulis: Singgih D. Gunarsa

Tahun Terbit: 2011

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Penerbit Libri

Tebal: xii + 204

ISBN: 978-979-687-857-4

 

Belajar dari orang sukses selalu menarik. Apalagi kalau kesuksesan tersebut dikisahkan langsung oleh yang bersangkutan. Buku “Melintas Batas Cakrawala – Kisah Ketangguhan Menembus Rintangan & Meraih Prestasi” ini ditulis sendiri oleh Singgih D. Gunarsa. Tak hanya berkisah secara kronologis, Singgih Gunarsa membumbui kisahnya dengan berbagai telaah dari ilmu psikologi yang ditekuninya. Singgih tak segan membagikan kisah-kisah yang mungkin dianggap aib bagi sebagian orang lain. Ia menganggap pengalaman-pengalaman sepahit apapun perlu dikisahkan sebagai bagian dari pembelajaran kehidupan.

Singgih Gunarsa membuktikan bahwa ketidaknyamanan masa kecil tidak berpengaruh kepada kesuksesan di masa depan, asal yang bersangutan bisa menerima keadaaan tersebut, ulet dan bekerja keras untuk mewujudkan masa depan yang gemilang.

Lahir di Sokaraja, sebiah kota kecil di sekitar Banyumas, Singgih Gunarsa mengungkapkan kebanggannya tentang tempat kelahirannya di kaki Gunung Slamet. Selain menjelaskan silsilah keluarganya yang sudah lama tinggal di kota tersebut, Singgih juga menyinggung serba sedikit kehidupan masa kecilnya bersama kawan-kawan pribuminya. Singgih juga menjelaskan bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengan seorang kerabat keraton bernama Kolopaking (hal. 33).

Terlahir sebagai Go Ge Siong, Singgih Gunarsa besar dengan tiada kebanggaan kepada ayahnya. Ia tak menyembunyikan kekecewaannya atas ayahnya. Namun Singgih menggunakan kondisi yang dialami tersebut sebagai energi positif untuk mencapai sukses.

Ayahnya adalah pewagai sebuah perusahaan. Saat terkena PHK, ayahnya gagal berdagang. Sebab ayahnya memang tidak berbakat dagang. Mungkin karena kegagalan tersebut, ayahnya menjadi pemabuk dan suka berjudi. Bahkan ayahnya sempat dipenjara gara-gara judi.

Hbungannya dengan ayahnya digambarkan sebagai berikut: “Saya tidak pernah melihat ayah dan ibu makan bersama. Hubungan ayah dan ibu memang ibarat kucing dan tikus. Jangankan kemesraan, bercakap-cakap saja mereka tidak pernah. Sebagai seorang anak, saya tidak pernah merasakan adanya tokoh ayah yang mengarahkan apabila saya berbuat salah atau keliru, juga yang menunjukkan perasaan senang kalau nilai rapor anaknya baik. Semua datar, kaku dan dingin” (hal. 14).

Meski ia tidak bangga kepada ayahnya, namun Singgih tidak membencinya dan tetap menghormatinya (hal. 20). Ia berupaya untuk menjadi anak yang menghargai ayahnya. Buktinya, saat ia sudah berhasil dan mampu membeli mobil, ia mengajak ayahnya untuk pelesiran menggunakan mobilnya.

Pengalaman buruk dengan ayahnya membuat Singgih memperlakukan anak-anaknya dengan hangat dan penuh cinta. Di tengah kesibukannya mencari ilmu dan menjalani profesi, Singgih Gunarsa membangun keluarga yang penuh kehangatan dengan Juul Ong dan anak-anaknya.

Berbeda dengan hubungannya dengan ayahnya, Singgih mempunyai hbungan yang intim dengan ibunya. “Hubungan saya dengan ibu sangat erat. Saya merasakan bahwa saya sering dijadikan sebagai tempat curhat dari segala macam keruwetan dan hal-hal lain yang tidak menyenangkan, termasuk keadaan ekonomi yang berantakan.” (hal. 23). Ibunya sangat kecewa dengan ayahnya, karena ternyata ayahnya sudah menikah saat masih di daratan Cina. Ibunyalah yang membanting tulang untuk mencukupi ekonomi keluarganya.

Pendidikan Singgih tidak dijalani dengan mulus. Pendidikannya penuh liku. Karena kondisi ekonomi orangtuanya yang morat-marit, ia harus bersekolah di Sekolah Muhammadiyah. Padahal anak-anak tionghoa tetangganya bisa bersekolah di Hollands Chinese School (HCS). Saat kelas 2 ia terpaksa berhenti sekolah karena Jepang masuk ke Indonesia. Ia kembali masuk sekolah di Sekolah Tiong Hoa di Sokaraja, tetapi harus kembali terhenti di kelas 5 karena aksi polisional Belanda. Ia baru tamat SR tahun 1950. Selanjutnya ia meneruskan ke SMP Kristen di Purwokerto. Akibatnya ia harus terlambat masuk SMA.

Sebagai anak yang dibesarkan dalam keluarga yang ayahnya tidak berperan dan ibunya sibuk memenuhi tanggungjawab ekonomi, Singgih menjadi sosok yang mandiri. Ia mengurus sendiri urusan sekolah. Ia mendaftar sendiri saat masuk SMP. Ia juga berupaya sendiri untuk bisa masuk SMA di Jakarta dan kemudian masuk ke Kedokteran Universitas Indonesia. Sayangnya ia gagal dan harus keluar dari Fakusltas Kedokteran. Kegagalannya ini diakibatkan karena menjelang ujian dia mengalami kecelakaan sepeda motor. Kegagalannya melanjutkan di Fakultas Kedokteran membuatnya beralih jurusan ke Psikologi (hal. 65).

Ternyata di jurusan Psikologi inilah ia menemukan passion-nya. Hasil studinya baik. Karier di bidang psikologi juga sangat baik. Ia bahkan begitu bangga saat menjadi sarjana psikologi, sehingga di buku ini ia menulis sebuah bab berjudul “Babak Baru Kehidupan sebagai Sarjana Psikologi” (hal. 77). Pilihan kata “Babak Baru” ini jelas menunjukkan bahwa keberhasilannya menjadi sarjana psikologi adalh sebuah tahapan sangat penting bagi hidupnya. Ia berkesempatan menimba ilmu ke berbagai negara. eraih gelar doctor di UI (hal. 123). Ia juga mendapatkan jabatan yang bergengsi karena prestasinya di bidang psikologi. Bahkan ia menjadi Guru Besar UI pada tahun 1981 (hal. 168).

Prestasinya di bidang psikologi membuatnya diminta untuk berkarya di berbagai tempat dan di berbagai organisasi. Ia berkarya tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Salah satu yang membanggakan adalah saat ia menjadi psikolog di Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI). Singgih menjadi bagian dari tim Bulutangkis Indonesia saat memenagkan Piala Thomas dan Piala Uber di tahun 1994 dan 1996.

Dari buku ini saya belajar bahwa pengalaman buruk masa kecil, baik yang sifatnya hubungan dalam keluarga, hambatan ekonomi dan kondisi sosial lainnya bila dikelola dengan baik malah bisa menjadi faktor pendorong dalam meraih kesuksesan. Singgih mengajarkan bahwa keuletan dan kerja keras serta penerimaan diri terhadap kondisi masa kecil (masa pembentukan pribadi) adalah faktor penting dalam mencapai sukses. Tentu saja Singgih tidak mengabaikan keluarga dan teman-teman yang mendukungnya serta iman kepada agama yang dianutnya. 642

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB