x

Iklan

Rilda Gumala

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 November 2021

Minggu, 2 Januari 2022 21:54 WIB

Rumah Impian Ayah

Usaha seorang anak untuk memenuhi impian sang ayah dan problematika yang terkait di dalamnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

   RUMAH IMPIAN AYAH

        Jalan ini, yang telah kulewati ratusan ribu kali terasa kian menyesakkan. Kotaku tercinta benar-benar terasa sumpek. Entahlah, mungkin  pikiranku yang sumpek sebab debu yang memenuhi udara menyakiti paru-paruku. Jalan menuju pulang , jalan kerinduan.  Dulu jalan ini belum  selebar sekarang. Di pinggir jalan sebelah kanan dan kiri ditumbuhi pepohonan, biasanya dijelang Ramadhan pohon -pohon itu berbunga warna jingga, cantik sekali kelihatannya . Setiap pagi aku sering berjalan-jalan hanya untuk menikmati indahnya kota kecilku. Nyaman dan segarnya udara, aman dan damainya suasana. Hampir semua orang yang  tinggal saling menyapa. Kapanpun jam berapapun aku berani melewati jalanan ini.

            Sekarang semuanya telah berubah. Memang perubahan itu adalah sebuah dinamika dan itu sah-sah saja,  diperlukan sesuai kebutuhan zaman. Namun ada yang hilang dari ruh sebuah tempat. Aku tidak lagi merasakan suasana yang adem walaupun udara tidak terlalu panas di pagi menjelang siang ini.  Sudah jamaknya orang kota walaupun masih tetap kota kecil, Kampung Pondok begitu namanya namun berada di pusat kota Padang tidak jauh dari Pantai Padang,  tidak ada lagi yang mempunyai halaman rumah yang luas, banyak yang sudah menjadi ruko. Begitulah perubahan, kota kecil tetaplah  sebuah kota yang dipenuhi dengan ritme kesibukan para penghuninya. Sibuk mengejar kehidupan yang makin lama makin terasa sulit.  Rumah hanya menjadi tempat persingahan sementara, karena boleh dikatakan rumah hanya menjadi tempat numpang tidur saja. Sosialisasi dalam masyarakat jarang tersentuh seperti gotong royong membersihkan lingkungan sekitar seringkali diwakilkan kepada orang lain dengan imbalan sejumlah uang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Bagaimana mungkin aku bisa mengubah keadaan seperti sediakala? Nggak lah. Jalanan ini makin lebar , ruko disana sini. Orang makin ramai. Pepohonan tiada lagi. Lalu ayah masih memimpikan sebuah ladang di tengah kota kecil ini? Ah, aku tidak berani berkhayal tentang ini. Kebun pisang dan pepaya? Apalagi kebun kelapa.. Mungkin hanya rumahku yang tidak banyak berubah. Bangunannya masih seperti dulu peninggalan nenek buyutku-kabarnya rumah ini sudah dibangun sejak zaman Belanda. Wallahu alam. Namun kalau melihat kekuatan bangunan dan ada seperti cerobong asap di atapnya  memang seperti kebanyakan rumah orang Belanda.

             Aku memandang ayah yang sudah makin menua. Tatap matanya sering tak bisa kupahami. Entah sedih , entah bahagia , entahlah. Aku merasa sangat bersalah karena belum bisa membuat ayahku bahagia. Dulu pernah kudengar ayah bercerita pada temannya untuk  memiliki lahan yang luas yang nantinya akan ditanami sayuran dan buah-buahan. Namun sampai setua ini impian ayah itu belum terwujudkan. Mungkinkah ayah masih berharap untuk memiliki kebun sayuran dan buah-buahan yang luas?

            Aku seakan terhanyut dalam imagi ayah. Sebuah kebun pepaya yang sangat luas, kebun pisang dan banyak lagi buah-buahan lokal lainnya kesukaan ayahku. Beraneka jenis sayuran pun terhampar luas. Alam yang pasti asri dengan buah-buahan yang mengantung di pohonnya, dan hijaunya sayur mayur. Wow, amazing sekali, apalagi bagi orang yang selalu dibesarkan di pusat kota Padang.

              Aku tahu ayah telah berkorban teramat banyak untuk kami semua. Ayahku telah berjuang keras untuk menghidupi dan memberikan kehidupan yang layak bagi kami walaupun kami jarang bertemu dengan ayah. Ayah sering pergi berdagang ke beberapa daerah di pulau Sumatera. Mungkin kalau mau ayah bisa membeli lahan yang sangat luas dulu.  Sudah pasti  harga tanah di luar kota Padang cukup murah pada masa itu. Begitulah ayah, demi menyelesaikan pendidikan kami semua sampai ke lima anaknya meraih gelar sarjana, ayah pun mengubur  impiannya untuk menjadi memiliki kebun yang luas.

           Apalah dayaku sekarang, dengan kehidupan yang pas-pasan sebagai seorang ASN tanpa jabatan aku tidak akan sanggup membeli lahan seluas  dalam impian ayahku. Jangan kan membeli lahan untuk membeli rumah KPR BTN saja aku sudah sesak nafas mengatur keuangan keluarga. Aku terus berharap dan berusahan suatu saat aku dapat mewujudkan impian ayahku untuk memiliki lahan kebun sayuran dan  buah-buahan.

          Sore yang cerah. Ayah duduk di teras. Aku membawakan secangkir teh hangat kesukaan ayahku. Tak lupa dengan pisang gorengnya. “ Ayah, ini tehnya..minumlah ayah... hangat..enak diminum saat masih hangat lo ayah...” aku mematahkan lamunan ayah. Ayah tersenyum memandangku. “ iya,” jawabnya perlahan. Ayahpun mereguk tehnya kelihatan sekali ayah sangat menikmatinya.

            “ Ayah sedang memikirkan apa? Serius sekali tampaknya.

           “ Itu halaman rumah kita berantakan sekali... “ ayah menunjuk kehalaman depan rumah yang sudah ditumbuhi rumput dan alang-alang. “ Oh, maaf ayah...Dini sudah memanggil tukang potong rumput katanya hari Minggu besok dia datang.”

            Ayah masih menatap halaman rumah yang sempit itu , hanya beberapa meter saja. Tatapan mata ayah jauh ke depan. Aku mencoba menebak-nebak pikiran ayah. Mungkinkah ayah ingin menanam sayuran dan buah-buahan di depan rumah seperti ketika aku kecil dulu? Ayahku memang hobi sekali berkebun. Sejak aku kecil setahuku hanya ayah yang membersihkan halaman rumah, menanam bunga dan beberapa pohon buah-buahan seperti mangga ,  pepaya dan jambu. Ibuku tidak tertarik dengan tanaman begitu juga dengan kami semua anak-anaknya tidak ada yang mengikuti jejak ayah.

       “ Ayah, ingin kita menanam lagi pohon mangga di halaman rumah? Atau pohon yang lain? Ayah mengangguk, matanya berbinar.

       “ Ayah tidak kuat mencangkul tanah lagi untuk membuat lubang tanamnya!”. “Bukan ayah yang mengerjakannya ayah, Dini akan minta tolong pak Ujang tetangga kita untuk menggalinya, nah nanti Dini yang akan menanamnya dengan petunjuk dari ayah. ” jelasku. Ayah makin senang dan cahaya matanya berbinar. “Rupanya inilah yang diinginkan ayah” pikirku. . Ayah memang tidak pernah berubah walaupun sekarang sudah ringkih dimakan usia .

          Ayah menatap ke jalan raya. Diamnya membekukan hati. Kami saling beradu diam. Dalam pikiran kami sendiri-sendiri. Aku ingin bertanya lagi pada ayah tentang beberapa hal tapi sepertinya ayah tidak tertarik dengan apa yang aku omongkan. Ayah lebih tertarik melihat jalanan yang berkabut dan berseliwerannya motor gede.  Sepertinya ayah mulai menikmati suasana. Aku merasakan itu karena aku tahu betul perasaannya karena ia adalah ayahku. Ayah  yang selama ini memberikan perlindungan padaku walau pun sering pula kami tidak sepaham..

             Dulu halaman rumah kami cukup luas dan disitu ayah menanam beraneka ragam tanaman seperti  pepaya, jambu selalu ada. egitu juga aneka jenis sayuran seperti, daun katu bahkan menjadi pagar hidup di rumahku, ada juga cabe rawit. Bahkan banyak tetangga yang meminta ke rumah. Ayahku memang hobi sekali bertani. Ada juga kolam ikan, lumayan besar jugalah  waktu itu. Ayah sempat memanen ikan nila yang lumayan besar. Namun karena perluasan jalan halaman rumah kami terkena imbasnya. Hampir setengahnya diambil pemerintah untuk dijadikan jalan raya.Memang ada penggantian, tapi kenangan dan harapan ayah tak bisa diganti. Bahkan hilang. Belum sempat rumah hijaunya sempurna tercipta seperti yang diangankannya, eh pembangunan atas nama kepentingan masyarakat umum telah merenggutnya. Haruskah aku membiarkan ayah tetap dalam angannya sekarang di usianya kian renta? Aku merasa sedih karena merasa sangat bersalah.

        Dalam keadaanku yang masih pas-pasan, akan sulit bagiku untuk mewujudkan semua harapan ayahku . Semuanya menjadi mimpi dan rasanya akan tetap menjadi mimpi, aku belum mampu membeli sebidang tanah yang diimpikan ayahku untuk berladang. Ayah memimpikan sebuah tempat yang hijau, sebuah rumah hijau yang disekitarnya dipenuhi oleh tanaman, seperti di pedesaan. .Ayahku akan mempekerjakan beberapa orang untuk usaha pertaniannya itu

       Aku tidak sanggup melihat kesedihan ayah. Kesedihan yang tidak lagi terkatakan. Sebab ayahku pernah pula mengalami strok ringan, sehingga kakinya sulit digerakkan.. Kesedihan yang hanya mengembara dalam pikiran tuanya yang mulai rapuh seiring tubuhnya yang kian ringkih.  Kesedihan yang benar-benar membuat nelangsa yang menghadirkan rasa perih yang luar biasa ke relung hati. Jika kemarahan bisa dilawan tapi kesedihan merayap sendiri menuju palung hati terdalam. Menohok dan terasa sangat sakit menikam ulu hati.

                                                                  ***

            Aku bertekad untuk  mewujudkan keinginan ayah lagi. Bagaimana ya caranya dengan lahan yang kecil tetapi bisa menghasilkan rumah hijau seperti yang dirindukan ayah? Aku segera sibuk browsing menjelajahi dunia maya tentang rumah hijau lestari, impian ayahku. Impian yang terabaikan sekian lama olehku dan banyak orang lainnya di kota kecilku.  Ternyata banyak pilihan yang kulihat di internet ini Banyak pula ide yang tertuang di kepalaku tentang berbagai wujud rumah hijau. Apakah ide rumah hijau yang ada di kepalaku sama dengan yang ada di kepala ayahku? Entahlah , sebaiknya aku berunding dulu dengan ayah tentang hal ini. Tentang hal yang kecil tapi berpengaruh besar. Tidak hanya untuk lingkugan rumahku tapi juga lingkungan  yang lebih besar dari itu - kotaku tercinta .

         Dunia besar berasal dari dunia kecil. Dunia lebar berasal dari dunia sempit dan pikiran kitalah yang membuat semua itu menjadi sempit atau menjadi besar. Aku tinggal mencari waktu untuk membicarakan hal ini dengan ayahku. Biasanya di sore hari yang cerah di teras rumah ditemani pisang goreng dan segelas besar teh hangat. Ayahku punya gelas khusus untuk teh hangatnya atau bahkan ditemani roti rasa kelapa kegermarannya.

         Sepulang dari kantor sore ini, aku melihat ayahku masih tidur. Aku berjalan sejenak ke luar mencari pisang goreng  dari penjual langganganku-uni Rat. Biasanya sepedanya sudah menghampiri rumahku. Kali ini, biarlah aku yang mencarinya sambil menikmati suasana di sore yang cerah ini.  Matahari masih belum merendah namun sinarnya tidak lagi terik mendera kulit. Sore yang bersahabat.

         Aku bertemu uni Rat- di belokan rumah. “Uni Rat, “ aku berteriak memanggilnya. Secepat kilat dia memutar sepedanya ke arahku.

          “Berapa buah pisang gorengnya Dini?
          ”Biasa uni, 10 buah ya..”. Aku menyerahkan uang sepuluh ribu kepada uni rat.

           “Tarimo kasih uni,

           “ Iyo, samo-samo..” 

       Dari jauh sudah kelihatan ayahku  sedang duduk di kursi teras.  Mungkin Uda Rudi -keponakan ayah yang membantu ayah berjalan dari kamar ke teras. Aku buru-buru berjalan pulang. Betul juga, Ayah sedang ngobrol dengan Uda Rudi yang kadang-kadang  datang menemaninya. Asyik sekali mereka tampaknya. Ayah terlihat sangat gembira. karena senyum tak lepas dari bibirnya. Aku mendekat ikut nimbrung.

         “ Maaf, sudah lama Uda Rudi?

         “ Baru saja datang,” jawab uda Rudi dengan senyumnya yang khas.

         “ Sebentar ya Uda, saya buat teh hangat dulu..”

         “Yup,”

         Aku bergegas ke dapur , meletakkan  goreng pisang ke dalam piring lalu membuat 3 cangkir teh hangat.

     “ Mak Uniang tidak bisa melepaskan impian yang sudah mengendap dalam di pikiranku. Terbayang , kebun pisang yang  buahnya lebat, kebun pepaya yang buahnya sampai ke tanah, lalu kebun kelapa dan  Mak Uniang hanya akan berkeliling kebun yang memiliki banyak pekerja,”

         Ayah terlihat menerawang jauh. “ Dulu, sudah ada orang yang menawarkan tanahnya kepada Mak Uniang. Lumayan 1 hektar, cukuplah untuk kebun pisang.  Waktu itu yang punya tanah lagi butuh uang untuk biaya kuliah anaknya. Mak Uniang sangat senang sekali saat itu. Sudah terbayang, apa yang akan Mak Uniang lakukan dengan tanah itu. Lokasinya di Limau Manis dekat kampus Unand sekarang.”

       “ Kenapa ndak jadi dibeli lahan itu  Mak Uniang?

      “Itulah-mungkin ndak jodoh, saat itu Mak Uniang  juga harus membayar uang kuliah tiga orang anak sekaligus. Mungkin dengan lancarnya perniagaan  waktu itu , jika penjualnya bisa menahan 1 minggu saja...tapi dia tidak mau menunggu, ketika Mak uniang harus mencari kekurangan uang pembelian lahan  yang sidah terpakai pula untuk biaya kuliah si Harry, Arman dan Amira.,” jelas Mak Uniang terbata-bata.

      “Padahal Mak Uniang suka sekali dengan tempat itu, Rudi. Sering Mak uniang  menengok lahan kosong seluas satu hektar yang hanya ditumbuhi ilalang. Entah siapa yang membelinya tak lama setelah itu segera berdiri bangunan tempat tinggal-komplek perumahan,” suara ayah berat ada nada kecewa di dalamnya. “Tetaplah semua itu menjadi impian, entah kapan akan terwujudkan.” Wajah ayah kelihatan sangat sedih. Belum pernah aku melihat roman mukanya seperti itu. Gurat-gurat ketuaan makin tampak jelas.

       Aku meletakkan pisang goreng dan teh hangat di atas meja. “ Minumlah ayah, Uda Rudi.. enak selagi hangat.” Aku merasa galau dan sangat sedih tanpa sengaja telah mendengar pembicaraan ayah dengan keponakannya Uda Rudi tadi.

       Uda Rudi adalah satu-satunya keponakan ayah yang tinggal di Padang yang lainnya sudah pergi merantau -diterima bekerja di kota lain sama seperti kakak-kakakku. Bekerja di kota lain lalu menikah dan menetap di sana. Paling dihari lebaran saja mereka semua berkumpul pulang kampung. Tinggallah aku si bungsu di Padang dan mungkin akan seterusnya di Padang , menghuni rumah ini, tempatku di lahirkan dan dibesarkan. Setelah ibuku meninggal dunia 2 tahun yang lalu, makin kuat keinginan untuk tinggal di rumah ini. Hal ini karena ayahku tidak akan pernah mau meninggalkan rumah ini. Rumah yang sudah dibelinya dengan susah payah.

        Tak terasa senja mulai datang. Ayah kelihatnnya sudah capek. Dia minta diantar kedalam. Uda Rudi, membantu ayah berdiri dan memapahnya ke dalam. Aku hanya mengiringinya dari belakang. Sesampai di kamar ayah memanggil uda Rudi lagi. Tampaknya ayah ingin berbicara saja berdua dengan uda Rudi, karena ketika aku ingin masuk ayah menyuruhku ke luar dengan menggerakkan tangannya .

           Aku penasaran juga, “Apa ya yang dikatakan ayah kepada uda Rudi?”pikirku. Aku mengintip dan tampak ayah berbisik lalu Uda Rudi mengangguk. Aku makin penasaran. Kepo-begitu kata anak zaman sekarang. Aku menahan diri untuk tidak menanyakan apapun pada uda Rudi ketika dia pamit pulang.

          Aku berjalan ke kamar , tak bisa lepas dari pikiranku tentang hilangnya harapan ayah dan tentang bisik-bisik di kamar tadi. Aku tidak menyangka sama sekali kalau ayah tidak jadi membeli lahan untuk kebun karena melunasi biaya kuliah kakak-kakakku.

           Sedihnya aku. Mungkinkah masih ada lahan kebun di sekitar kota Padang, seperti di daerah Lubuk Minturun, Limau Manis, Kuranji?.Mungkin masih ada namun pasti harganya sangat mahal.Uangnya dari mana?

                                                                           ***

       Aku mencari informasi tentang cara pemanfaatan lahan sempit. Halaman rumahku yang sempit hanya  tinggal 1x 1 meter.. Aku ingin tetap bisa berkebun di rumah, paling tidak itu bisa sedikit menghibur ayahku. Aku juga bisa memperbaiki udara yang sudah terpolusi debu dan perubahan iklim yang tidak menentu. Apalagi sejak gempa besar 7,6 SR melanda Sumatera Barat banyak yang terjadi dengan kotaku. Air sumur yang semula jernih sekarang berubah warna menjadi kehitaman bahkan cendrung hitam dan berbau. Permukaan tanah turun beberapa cm. Mungkinkah perubahan air sumur itu karena penurunan permukaan tanah? Entahlah,  aku belum menanayakan hal itu kepada petugas yang terkait.

         Ada beberapa  teknik bertani di lahan sempit seperti vertikultur dan hidroponik. Vertikultur atau sistem bertanam dengan cara bertingkat artinya media tumbuhnya kita susun secara vertikal atau bertingkat, atau dengan cara bertani hidroponik- yang bertaninya dengan menggunakan media tanam cairan bernutrisi.. Keduanya ini dapat dilakukan di lahan yang sempit dan terbatas dengan hasil yang maksimal. Peralatannya bisa disesuaikan dengani fungsi  dan  segi estetisnya.  Aku belum memutuskan teknik mana yang akan kupilih , masih berpikir, mana yang lebih mudah dan murah.

          Akhirnya aku memilih vertikultur. Aku sudah memilih model-model bangunan vertikulturnya dari bahan kayu, bambu dan paralon. Aku sangat bersemangat untuk mengerjakan proyek ini. Semua sudah kucatat secara detail tinggal mencari tukang yang akan membuatnya. Designnya sudah kupersiapkan. Mungkin aku minta tolong Uda Rudi saja yang mencarikan tukang untuk membuat bangunan vertikultur. Sebaiknya kutelpon saja Uda Rudi sekarang. Segera kuambil HP, lalu menghubungi uda Rudi. Terdengar nada sambungnya masuk tapi telponnya tidak dijawab. Kucoba sekali lagi, masih seperti itu. Yah , sudahlah, nanti saja kuhubungi lagi.  Ketika hendak menyimpan HP eh langsung berdering, pasti ini Uda Rudi..aku tersenyum

         “ Assaalammualaikum Uda,

         “Iya, ada apa Din?”

      “ Dini mau minta tolong Uda mencarikan tukang untuk membuat bangunan vertikultur - itu tempat menanam yang bertingkat-tingkat itu lo Uda,”

         “ Oo itu..,  ya sudah Uda saja lah nanti yang membuat , tapi hari Minggu ya..”

        “ Memang Uda bisa membuatnya?

        “ Bisa lah..gampang itu,..”

       “ Ya, oke kalau gitu, thanks ya Da?

       “Oke, sipp”

      “ Ditunggu hari minggu. “

      “ Oke, cantik”

       Tiba-tiba jantungku bergetar cepat ketika dikatakan cantik oleh Uda Rudi, klik. Telp ditutup.

      Aku kembali melihat gambar model bangunan vertikultur yang akan kubuat nanti bersama Uda Rudi. Entah kenapa mendengar namanya disebut saja , perasaanku jadi aneh. Ser-seran gitu, seperti anak remaja jatuh cinta. Apakah aku jatuh cinta pada Uda Rudi? Aku berusaha menepis perasaan itu. Nggak mungkinlah aku jatuh cinta pada Uda Rudi karena dia sudah aku anggap seperti kakakku sendiri.  Entahlah..

      Dalam adat Minang adalah lumrah menikah dengan anak paman, bahkan pada zaman dulu malah dianjurkan, yang dikenal dengan tradisi pulang ka bako. Keluarga ayah adalah keluarga bako menurut adat Minang. Namun itu dulu. Sekarang, sudah banyak yang tidak berkenan dengan pernikahan “ pulang ka bako” itu dengan alasan tidak menambah saudara dan bahkan yang lebih maju cara berpikirnya terang-terangan menolak karena takut adanya penyakit turunan sesuai ilmu genetika. Aku sudah berjanji dalam hati, tidak ingin menikah pulang ka bako- sama dengan Uda Rudi, dia juga pasti tidak menginginkannya. Pernah dulu tanpa sengaja dia mengatakan tidak ingin pulang ka bako. Memang pada kenyataannya tidak seorang pun diantara kami yang menikah pulang ka bako, walaupun aku tahu ayahku pernah berharap salah satu anaknya akan menikah dengan keponakannya alias pernikahan pulang ka bako.

      Aku berusaha membunuh rasa yang perlahan tumbuh terhadap Uda Rudi. “ Ah, sudahlah, lupakan itu...lupakan..” Aku kembali fokus ke proyek vertikultur yang ingin kubuat. Model segi tiga dan segi empat , terus model lurus juga bagus. Semuanya sajalah dibuat sehingga nantinya di halaman rumah banyak sekali jenis tanaman  terutama tanaman sayuran dan buah.  Buah stoberry , anggur , markisa bisa di vertikulturkan. Banyak jenis sayuran seperti cai sim, bayam , kangkung, cabe, tomat , kacang panjang, terung, buncis, dan lain-lain yang dapat ditanam di media tanam sistem vertikultur. Dalam satu rak saja bisa 10 pot bahkan bisa lebih tergantung ukuran rak, dikali tiga tingkat. Uhui.. banyak juga tanaman dan hasilnya nanti, lumayan. Aku tersenyum senang membayangkan vertikulturku nanti.

       Aku tidak menceritakan apapun pada ayah tentang rencanaku menanam aneka sayuran dan buah di halaman rumah. Aku ingin ayah memberi surprise pada ayah sehingga ketika nanti melihat halaman rumah kami yang sudah kembali hijau. Semoga ayahku bisa sedikit terhibur dengan terwujudnya sebagian kecil impiannya.

       Hari mingu pagi Uda Rudi telah tiba di rumah lengkap dengan peralatan dan pakaian kerja. Aku pangling juga melihat, “ Ternyata keren juga Uda Rudi dengan gaya sporty seperti ini..hmm”

        ” Hei, kog diam saja” dia mengagetkanku

      “ Bantu dong, mengangkat ini,” Uda Rudi mengulurkan sebatang paralon kehadapanku, aku tersenyum.

        “ Sebentar lagi teman Uda akan datang membantu , dia ahlinya.

        “ Oh, ya.. terima kasih Uda,”

        “ Ah , kamu ...pakai terima kasih segala......” Uda tersenyum.

        “ Uda mau sarapan apa ya pagi ini? “ aku mau menyiapkannya.

        “ Nggak usah , Uda sudah sarapan lontong sayur tadi sebelum ke sini”

       “ Ya sudah, aku buatkan teh saja ya..”

        “Oke,”

        “ Siapa Dini?” terdengar suara ayahku dari dalam rumah.

        “ Uda Rudi, Ayah,”

      Terdengar langkah ayah tertatih, segera aku bergegas ke kamar untuk membantu ayah berjalan menuju teras.

        Ayah duduk memandang Uda Rudi yang sedang mengukur paralon yang akan dibuat sebagai rak vertikulturnya. Ayah menatapnya kurang senang.

     “ Rudi, apa yang kamu kerjakan itu, halaman kan jadi sempit dan kotor?”terdengar suara ayah meninggi. “Sudah, hentikan itu!” ayah marah. Aku merasa sangat  bersalah karena  belum membicarakan hal ini dengan ayah. Aku segera mendekati ayah berusaha menenangkannya. “

      “Oh, Mak uniang, “ Uda Rudi segera bangkit dari pekerjaannya, mendekati Mak Uniang -ayahku.

      “ Itu bahan untuk membuat rak vertikultur Mak Uniang, vertikultur itu bertanam tanaman secara bertingkat.“ ayahku menekankan tapak  tangannya ke sandaran kursi menahan kemarahannya. Ayah selalu begitu jika marah.

       “ Maaf, Mak Uniang, tadi Rudi belum memberitahukan Mak Uniang. Rudi kira Mak Uniang masih istirahat di kamar.

       “ Begini Mak , sebenarnya Rudi akan membuat tempat untuk menanam sayuran atau buah-buahan di lahan yang sempit.

       “ Coba Mak Uniang lihat foto ini ,” Uda Rudi memperlihatkan beberapa foto  kepada ayahku. Ayah mengulurkan tangan minta kaca matanya. “ Kaca mata” katanya. :Aku segera mengambilkan kaca mata ayah di atas meja kamar . Ayah memperhatikan foto  -foto  itu lama sekali. Aku hanya melihat dari jauh saja. Membiarkan ayah berdekatan dengan keponakannya. Aku seperti melihat karakter ayahku dalam diri Uda Rudi. Ramah dan ulet. Like uncle, like nephew..he..he..he. Aku tersenyum saja dengan idiom yang melintas tiba-tiba dalam pikiranku.

        Akhirnya kulihat ayah mengangguk-angguk kan kepalanya dan senyum merekah di bibirnya yang keriput. Alhamdulillah...aku melanjutkan langkahku ke dapur untuk membuatkan teh hangat. Ketika sampai di teras teman Uda Rudi sudah datang. Mereka sudah asyik bekerja. Ayahpun asyik pula melihat kesibukan dan sedikit keributan di halaman rumah kami di Minggu pagi ini. Saking semangatnya aku sudah memesan beberapa bibit sayuran yang siap dipindahkan ke tempat penanaman vertikultur.

      Tanaman menghijau di halaman rumahku dan tertata rapi di atas rak-rak dengan berbagai model dan bahan. Banyak jenis sayuran yang kutanam di situ ada bayam, cai sim, selada, timun, cabe, tomat, stroberry, anggur..Tetanggaku banyak yang datang ke rumah lalu minta bibit sayuran, bahkan ada yang minta dibagi hasil sayurannya Aku tertawa mendengarnya..

      “Uni, boleh minta sedikit seladanya ya ..mau bikin mi goreng, pasti enak kalau ditambah sayuran selada.

         “ Iya, ayo kita petik,”

       “ Hei, non..mana tehnya..trus cemilannya ya..”“ iy..ya..iyaa Uda..” akju gagap karena ketahuan melamun. Tampak Uda Rudi tersenyum memandangku.

                                                                               ***

        Hari ini , 3 bulan sudah berlalu.  Halaman rumahku sudah tertata rapi. Ada beberapa rak vertikultur dari kayu, bambu dan paralon. Indah , walaupun kecil dan sempit tapi sekarang terasa lapang. Udara pun sejuk. Paling tidak Padang kotaku tercinta biasanya terasa sangat  garang di siang hari, berkurang lah suhunya beberapa derajat dengan keberadaan tanaman yang banyak di halaman. Betul saja, tetanggaku mulai banyak melirik bahkan ada juga yang berminat membuat halaman rumahnya hijau sehijau rumahku..

          Rumahku hijau, ayahku senang. Setiap pagi dan sore hari aku dan ayah menyiram tanaman itu. Ayahku punya kesibukan dan terlihat lebih sehat. Rumah kecilku adalah percikan dari bumi yang luas ini. Tempatku adalah di rumah ini yang hanya sedebu dari besarnya bumi. Aku berharap dengan rumah  kecilku aku dapat memberikan  kebaikan bagi rumah orang lain di sekelilingku, memberikan kesejukan dengan kehijauan tanaman. Bumi yang tua dan makin sekarat dengan berbagai polutan yang menyerangnya, kupikir  hanya tanamanlah yang dapat menyelamatkannya

        Sore yang indah. Aku dan ayah memetik sayuran untuk makan malam nanti. Ayah ingin makan sayur selada. Tiba-tiba aku teringat Uda Rudi. “ Apa kabar Uda Rudi ? Dimanakah uda sekarang ya?” berbagai pertanyaan melintas dalam pikiranku. Kabarnya Uda Rudi pindah tugas ke Pekan Baru. Ada kesedihan yang mendalam kurasa namun aku harus menepis semua rasa itu dan membuangnya  jauh. Aku tidak boleh menabur benih harapan untuk cinta yang bukan untukku. Kami sudah termakan egoisme diri sendiri yang tidak mau Pulang ka bako, tidak zamannya lagi. Namun aku masih kepo dengan bisik-bisik antara ayahku dengan Uda Rudi. Aku sudah pernah mencoba menanyakan hal itu pada ayah tapi ayahku diam saja. Begitu juga dengan Uda Rudi. Nanti akan kutanyakan lagi pada Uda Rudi.. Apapun nanti yang terjadi antara aku dan Uda Rudi, aku masih saja ingin tahu tentang  apa yang telah dibisikkan ayah pada Uda Rudi. Tentang perasaanku cukuplah hanya aku yang tahu.

 

                                                                               ***

Catatan Kaki

  1. Uni= panggilan untuk kakak perempuan (bhs Minang)
  2. Uda= panggilan untuk kakan laki-laki
  3. Tarimo kasih = terima kasih
  4. Iyo = iya
  5. Samo-samo = sama-sama
  6. Mak Uniang = panggilan untuk paman
  7. Keluarga Bako = keluarga dari pihak ayah
  8. Pulang ka bako = menikah dengan anak laki-laki/pr dari saudara pr ayah.

 

 

Ikuti tulisan menarik Rilda Gumala lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler