x

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. ANTARA FOTO/Galih Pradipta

Iklan

dezan news

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 3 Januari 2022

Jumat, 14 Januari 2022 19:30 WIB

Kritik GMPG, Dilema Golkar, dan Elektabilitas Airlangga

Catatan kritis lainnya yang disampaikan GMPG adalah Airlangga Hartarto gagal membawa perubahan signifikan terhadap perolehan suara Partai Golkar di 2019 lalu. Memang, pada Pemilu 2019 hanya sebesar 12,31 persen (85 kursi) mengalami penurunan dibandingkan dengan Pemilu 2014 dengan perolehan 14,75 persen (91 kursi) dan Pemilu 2009 sebesar 14,45 persen (107 kursi). Artinya mesin Partai Golkar saat ini tidak berjalan maksimal dan tidak dikelola dengan benar. Ini diperparah dengan proses pembagian dan kerja bidang-bidang yang tidak sesuai dengan tupoksi yang profesional.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jakarta - Pencalonan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto mendapat ujian hebat. Sejak sebulan lalu, Airlangga diterpa kabar tak sedap ihwal hubungannya dengan sosok wanita bernama Rifa Handayani.

Bak petir disiang bolong, pengakuan Rifa di sejumlah media, plus dengan pelaporannya ke polisi membuat pencalonan Airlangga terancam. Lantaran hal ini sudah pasti berpengaruh terhadap reputasi dan kredibilitasnya.

Di sisi lain, Airlangga saat ini masih berjuang untuk menaikan elektabilitasnya yang masih di bawah 1 persen. Kalah dari kadernya, Dedi Mulyadi yang justru mendapat persentasi di atas Airlangga.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ini yang kemudian menjadi catatan kritis sejumlah kader Golkar yang menamakan diri Gerakan Muda Partai Golkar beberapa waktu lalu. Mereka menyoroti tentang elektabilitas ketua umumnya Airlangga Hartarto sebagai calon presiden (capres) di Pilpres 2024 mendatang.

Inisiator GMPG ‎Sirajuddin Abdul Wahab mengatakan elektabilitas Airlangga Hartarto sangatlah memprihatinkan. Hal ini merujuk dari data survei Voxpol Center yang menyebutkan Airlangga Hartarto hanya mendapatkan 0,8 persen.

Sementara di Indikator Politik Indonesia sebesar 0,2 persen. Buruknya elektabilitas Airlangga Hartarto ini berdampak secara sistematik dan epistemik terhadap citra Partai Golkar.

Padahal struktur partai dan anggota DPR dari Golkar sudah menebar baliho terhadap Airlangga.  Kader GMPG tentu khawatir jika ini terus berlangsung, masyarakat ogah tergerak memberikan dukungan, jika ada kenaikan maka kenaikan itu dapat dipastikan sebagai angka yang perlu dipertanyakan sumber dan kridebilitasnya.

Kondisi ini telah mendevaluasi eksistensi partai di tengah kompetisi elektorasi antar partai, dan Golkar tidak kuat lagi sebagai partai yang terus melahirkan pemimpin-pemimpin muda.

Catatan kritis lainnya yang disampaikan GMPG adalah Airlangga gagal membawa perubahan signifikan terhadap perolehan suara Partai Golkar di 2019 lalu. Memang, pada Pemilu 2019 hanya sebesar 12,31 persen (85 kursi) mengalami penurunan dibandingkan dengan Pemilu 2014 dengan perolehan 14,75 persen (91 kursi) dan Pemilu 2009 sebesar 14,45 persen (107 kursi).

Artinya mesin Partai Golkar saat ini tidak berjalan maksimal dan tidak dikelola dengan benar. Ini diperparah dengan proses pembagian dan kerja bidang-bidang yang tidak sesuai dengan tupoksi yang profesional.

Ini mengakibatkan absennya penyelenggaraan program kerakyatan Partai Golkar di masyarakat, padahal itu merupakan bagian langkah memperbaiki citra partai di mata publik.

Sirajuddin mengatakan imbauan Ketua Dewan Pakar dan Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar di akhir tahun 2021 yang meminta kepada kader untuk menjaga soliditas, persatuan dan kesatuan serta membangun sinergitas, telah mengisyaratkan kondisi partai saat ini dalam keadaan tidak baik-baik saja. Bagaimana Airlangga mencari jalan keluar permasalahan ini? Menarik kita tunggu jawabannya. (*)

Ikuti tulisan menarik dezan news lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler