x

gambar ini diambil digoogle model muslimah

Iklan

Hary Budiarto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 24 Desember 2021

Minggu, 23 Januari 2022 10:59 WIB

Aida

Aida Binti Muhammad Noor ditangkap oleh Kepolisian Diraja beberapa hari setelah unjuk rasa kaum minoritas keling, India,  yang menuntut persamaan hak dalam hal pendidikan. Aku menemuinya di tahanan khusus wanita di Penjara Kajang, Selangor. Tak terlihat sedikit pun kesedihan dan kekecewaan di wajahnya. Tapi ia muram ketika tahu aku harus kembali ke Jakarta. “Kapan engkau nak jumpai aku lagi di sini?” tanyanya dengan suara berat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

AKU mengenalnya di sebuah perpustakaan universitas ketika di luar panas sangat terik dan para petugas sudah berkemas-kemas mau istirahat makan siang, tiga tahun lalu.  Sejak pagi aku berada di ruang baca –juga ruang yang bisa digunakan untuk menulis— yang berbentuk lingkaran berdinding kaca, sehingga bisa melihat aktivitas semua orang di ruangan lainnya. Ruang baca berbentuk bulat itu berada di tengah ruangan besar yang berisi puluhan ribu buku berbagai genre.

 Dia datang dan kemudian duduk di salah satu kursi di sebelah kananku ketika aku mau berdiri. Kami bersenggolan, dan dia mengatakan “maaf” tanpa melihat ke arahku. Di tangannya ada buku Control of Land and Labour in Colonial Java karya Jan Breman. Buku yang membuatku penasaran karena dibaca oleh seseorang yang jauh dari objek penelitian profesor sejarah asal Amsterdam itu. Setelah itu dia membaca dengan santai tanpa menghiraukan beberapa orang di ruangan itu sambil mulutnya terus mengunyah permen karet.

Karena tak bisa memendam penasaran, akhirnya aku mengajaknya bicara. “Tertarik dengan sejarah Jawa?” tanyaku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dia hanya melirikku sejenak tapi tak menjawab apa-apa. Setelah itu dia kembali pada bacaannya.

 “Punya darah keluarga dari Jawa atau Indonesia?” tanyaku yang semakin penasaran. Keyakinanku, melihat profil pada wajahnya, dia gadis Melayu, tak terlihat prototipe Jawa di situ. Atau aku yang salah, yang tak memahami ilmu tentang itu?

 Aku mengumpat dalam hati. Sialan wanita ini, selama ini tak ada perempuan yang secuek ini ketika kusapa. Padahal aku menyapanya dengan baik, tak bermaksud yang aneh-aneh.   Dia kembali menoleh padaku, kali ini dengan pandangan yang sepertinya kurang suka.

Lalu, katanya, “Ruangan ini dibuat bukan untuk becakap…” katanya dengan logat Melayunya yang kental.

Beberapa orang yang sebelumnya asyik membaca atau menulis di masing-masing laptop-nya kemudian menoleh padaku. Aku dibuat salah tingkah, juga malu. Aku dibuat mati kutu dengan jawaban ketusnya itu. Aku keluar dari ruangan itu dengan hati dongkol dan berharap tak bertemu dengan wanita itu lagi.

 Beberapa hari kemudian, di sebuah malam yang ramai di pusat kuliner di  Alor, Bukit Bintang, aku melihatnya duduk bersama beberapa orang menikmati sea food dan minuman beralkohol jenis bir. Dia terlihat santai. Mereka berbicara dengan bahasa Melayu yang kental diselingi bahasa Inggris. Hal yang sangat biasa ditemui di sini ketika orang berbicara campuran antara bahasa Melayu dengan bahasa Inggris.

 Aku tak menghiraukannya. Aku menikmati masakan sea food khas Thailand yang disajikan panas di mejaku. Namun, ketika aku asyik makan, aku tak menyadari kalau dia sudah duduk di depanku. Dia melihatku dengan khusyuk. Seolah ada keanehan dengan cara makanku.

Kite pernah ketemu di perpusatakaan beberapa hari yang lalu, kan?” katanya membuka percakapan. Aku tak menanggapi dan meneruskan makan dengan santai. “Saya minta maaf. Tak seharusnya saya becakap kasar seperti itu…”

 “Tak apa-apa,” kataku. “Tak jadi masalah bagiku,” jawabku.

 Tetapi dia benar-benar meminta maaf dan mengatakan kalau hari itu dia memang sedang kesal dan ada masalah sehingga tak suka diganggu dengan pertanyaan yang menurutnya tidak penting. Kukatakan bahwa bagiku pertanyaan itu penting karena itu menyangkut sebuah sejarah di tanah kelahiranku. Mungkin aku mirip orang udik yang begitu senangnya ketika ada seseorang yang tak ada hubungannya dengan Jawa tetapi tertarik dengan sejarah negeriku.

Dia bilang, dia suka membaca buku-buku tentang sejarah buruh dan petani, juga gerakan-gerakan mereka, di berbagai negara, termasuk Indonesia. Dia sedang studi buruh. Itu menjadi penelitian untuk disertasinya. Dia memang mengambil konsentrasi sejarah buruh di Indonesia, khususnya di Sumatra Timur di masa kolonial. Kukatakan bahwa sudah banyak peneliti Eropa yang menulis sejarah buruh di Deli. Kusarankan dia selain membaca buku-buku Breman, juga harus membaca buku-buku Karl J Pelzer, Anthony Reid, dan banyak sarjana lainnya.

“Kamu harus tahu tentang sejarah Sumatra secara keseluruhan, baru setelah itu lebih ke lokalitas Sumatra Timur,” kataku.

Katanya, dia bukan hanya membaca sejarah buruh di Sumatra, atau sejarah Sumatra secara keseluruhan, tetapi juga gerakan-gerakan buruh dan radikalisasi petani di Jawa. Menurutnya, itu bisa menjadi bahan pembanding untuk studinya di kawasan Deli di masa  tanam paksa tembakau di sana. Sebab, katanya, kebanyakan mereka yang bekerja di Deli adalah buruh asal Jawa.

Setelah percakapan itu, kami menjadi akrab dan sering berjanji bertemu. Setiap ketemu, dia selalu membicarakan soal buruh, petani, dan sejarah radikalisme mereka di masa kolonial. Sering aku berkelakar, mengapa tidak mengambil objek penelitian di negerinya, Malaysia. Mengapa harus Indonesia? Katanya, dia tak tertarik karena sejarah perlawanan masyarakat Malaysia terhadap kolonialisme Inggris tak seheroik rakyat Indonesia terhadap Belanda.  Menurutnya, Malaysia diberi kemerdekaan oleh Inggris, sedang Indonesia harus menumpahkan darah puluhan ribu orang dalam mencapai keinginannya untuk merdeka.

“Saya kira, apapun bentuknya, berjuang mendapatkan kemerdekaan itu harus dihargai. Aku tahu, rakyat Malaysia juga berjuang keras untuk lepas dari Inggris…” kataku.

Dia bilang bukan tidak menghargai perjuangan rakyat negerinya, tetapi ada semacam passion ketika membaca gerakan rakyat di berbagai daerah di Indonesia. Dia merasa punya gairah yang membuatnya sering pergi ke Deli, Medan, Jakarta, Banten dan beberapa daerah terpencil di pedalaman Jawa yang punya masa lalu yang, menurutnya, sangat heroik ketika memperjuangkan harkat dan martabatnya.

“Aku membaca bukunya Sartono Kartodirdjo tentang pemberontakan petani di Banten 1888. Itu sangat heroik dan membuat andrenalinku menggelegak…”

***

AIDA Binti Muhammad Noor ditangkap oleh Kepolisian Diraja beberapa hari setelah unjuk rasa kaum minoritas keling, India,  yang menuntut persamaan hak dalam hal pendidikan. Aku menemuinya di tahanan khusus wanita di Penjara Kajang, Selangor. Tak terlihat sedikit pun kesedihan dan kekecewaan di wajahnya. Dia tetap ceria, seperti semula, saat awal kami berjumpa dulu.

 “Aku dituduh sebagai salah seorang penghasut dalam peristiwa itu. Tanpa hasutan pun, mereka akan protes dan melawan. Karena dari awal mereka dianggap warga kelas tiga di sini…” katanya.

Dari awal, aku memang menemukan keanehan dari gadis matang berparas ayu ini. Dia orang Melayu asli. Tapi dari sikap dan apa yang sering diceritakannya padaku, dia tak terlalu mati-matian membela puaknya sendiri. Dia bahkan pernah bilang, tak sudi dipaksa memakai baju kurung khas Melayu. Katanya, semua itu penuh kepalsuan. Dia mencintai puaknya, katanya, puak yang penuh kasih sayang dan cinta kepada semua manusia tanpa halangan agama, suku, atau perbedaan lainnya. Tapi dia tak suka kemunafikan dan korupsi yang menggurita di semua struktur pemerintahan.

Dia lebih suka memakai jins ketat dan baju atasan yang juga sering ketat. Sering aku dibuat salah tingkah kalau dia memakai pakaian yang oleh sebagian orang dianggap provokatif itu ketika kami kemudian sering bertemu. Dia juga merokok dan minum beberapa jenis minuman yang mengandung alkohol. Bacaan-bacaannya –selain kesukaannya pada gerakan buruh dan petani di Indonesia— juga buku bergenre “kiri” lainnya. Sesuatu yang jarang dibaca oleh anak-anak muda di negara ini. Negeri yang dibangun dengan bungkusan kesantunan dari pakaian dan cara bicaranya.

“Aku merasa, pemerintah negeriku tak jauh beda dengan negerimu saat Orde Baru berkuasa,” katanya lagi.

 “Ah, sok kamu. Kayak tahu aja…” kataku bercanda.

“Aku memahami negerimu lebih dari aku memahami negeriku sendiri. Persis. Di sini, rakyat harus patuh dengan semua aturan.Tak boleh protes. Semuanya dibatasi…”

“Tapi kan rakyat makmur? Di negaraku, saat Orde Baru berkuasa, semuanya tak boleh, semuanya dilarang, tapi rakyat dibiarkan miskin dan menderita…”

“Apa bedanya? Makmur secara ekonomi tapi tak diberi kebebasan berekspresi dan bersuara?”

“Kadang, kebebasan itu bisa menghancurkan diri kita sendiri…”

“Ah… Kamu penganut otoritarian rupanya…”

“Hahaa…”

Hampir setiap hari aku menjenguknya di tahanan sebelum kemudian dia dipindahkan ke penjara wanita, masih di Kompleks Penjara Kajang setelah pengadilan memutuskan dia dihukum setahun tiga bulan atas keterlibatannya dalam unjuk rasa menentang pemerintah yang berakhir rusuh itu.

Beberapa hari menjelang aku pulang ke Jakarta setelah tesisku rampung, aku melihat wajahnya muram. Tidak seperti biasanya. Segala yang ceria di wajahnya menghilang.

“Kapan engkau nak jumpai aku lagi di sini?” tanyanya dengan suara berat.

Aku menatapnya tajam. Tak biasanya dia seperti ini. “Aku tidak tahu kapan bisa kembali ke sini…”

 “Aku akan kesepian dan pasti merasa sedih setiap hari…”

 “Teman-temanmu banyak. Saudara-saudaramu pasti akan selalu datang…”

 “Aku selalu merasa senang ketika engkau yang datang menjumpaiku. Bersama engkau aku bisa becakap apa saja…”

“Aku akan berusaha ke sini lagi nanti…”

Kupegang kedua bahunya. Kemudian aku memeluknya. Sesuatu yang selama ini tak pernah kulakukan di hampir dua tahun kedekatan kami.

 “Jika  bebas nanti, aku ingin ke Jakarta. Boleh?”

 Aku tersenyum. Berusaha menguatkannya. “Pasti dong. Sangat boleh…”

 Dia menatapku. Aku melihat ada sesuatu dalam tatapan itu, tetapi aku berusaha mengalihkan pandangan ke tempat lain. Aku tak bisa membalas tatapannya.

***

“KEBENARAN yang menang. Rezim korup itu sudah tumbang. Saya sudah bebas, Martin. Pemerintah baru membebaskan kami yang selama ini dipidana karena melawan pemerintah…” Kemudian, “Seperti yang kukatakan dulu, setelah bebas aku akan menemuimu di Jakarta.  Aku ingin ketemu kamu. Aku rindu…”

Itu pesan pendek yang dikirimkan padaku hanya satu jam setelah proses pembebasannya selesai, sebelum sebuah peluru menembus kepalanya saat dia turun dari mobil yang membawanya pulang. Sebuah kelompok ultra-nasionalis garis keras penentang pembauran etnis di Malaysia, mengaku bertanggung jawab atas penembakan itu.

Dan ingatan tentang Aida Binti Muhammad Noor, semuanya, detail, kuinginkan menjadi satu-satunya ingatanku tentang sesuatu. Yang lain, aku ingin menghapusnya, agar dia sendiri yang ada di sana.

Iya, sendiri, seperti cintaku padanya, yang tak pernah diketahuinya.***

 

Kuala Lumpur, Agustus 2017

Palembang, Agustus 2018

Ikuti tulisan menarik Hary Budiarto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu