BEBERAPA hari yang lalu, salah satu pimpinan dari Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, memberikan statementnya kepada awak media pada Jum’at (14/1/2022), yang menyatakan bahwa “tak ada keterikatan untuk selalu bersama-sama dalam Pilpres 2024,”. Statement elite politik yang berasal dari partai yang berlambang Ka’bah ini cukup menyita perhatian khalayak publik. Pasalnya, pernyataan ini muncul pada saat koalisi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin sedang berjalan secara efektif. Artinya, tidak ada kendala yang signifikan dalam proses pembangunan koalisi tersebut.
Dalam bahasa lain, berjalan seperti biasa atau normal. Tanpa adanya tekanan, intervensi, dan kegaduhan yang melanda hubungan koalisi. Meskipun, pada saat yang bersamaan, ia juga menjelaskan bahwa partai politik dalam koalisi Jokowi-Ma’ruf Amin kompak mendukung pemerintahaan hingga Oktober 2024. Dalam konteks ini, dapat dilihat bahwa pernyataan politik ini dapat ditelaah dari dua perspektif.
Pertama, pernyataan politik ini lebih cenderung kepada proses elektoral yang akan dihadapi pada 2024 mendatang. Saat ini, secara realitas politik terlihat sangat jelas bahwa panggung politik nasional kembali menampilkan riak-riak politiknya. Riak-riak politik ini ditandai dengan adanya sejumlah resonansi yang sedang dihidupkan oleh berbagai kalangan, seperti, partai politik, para relawan, sayap parpol, loyalis partai, kader dan elite politik, media massa, serta lembaga survei yang turut meramaikan resonansi ini dengan hasil-hasil empirisnya secara praksis riil. Sejak beberapa hari terakhir, diskursus mengenai koalisi partai politik juga menjadi topik utama dalam percakapan di media massa. Bahkan, ada upaya-upaya untuk membangun koalisi sejak awal.
Kendati demikian, secara faktual menunjukkan pembentukan koalisi politik di Indonesia lebih menunggu momentum yang tepat, misalnya, menjelang batas akhir pendaftaran capres dan cawapres; baik sebagai pengusung maupun sebagai pendukung. Di samping itu, partai politik di Indonesia juga biasanya akan melihat terlebih dahulu secara kasat mata, terutama mengenai pencapaian prestasi parpol dalam perolehan suara dan kursi selama proses elektoral sebelumnya. Setelah itu, partai politik akan lebih teliti dalam menentukan koalisi. Sebab, berdasarkan perolehan suara dan kursi pada Pemilu 2019 silam tentu sangat beragam, ada parpol yang meraup kursi dan suara dominan, kemudian ada pula parpol yang meraih suara dan kursi cukup serta ada parpol yang meraih suara dan kursi minimal.
Dengan demikian, parpol yang memperoleh kursi dan suara minimal ini akan mengalami kesukaran dalam melewati ambang batas pencalonan presiden. Karena, tidak mencukupi atau tidak melewati batas ketetapan yang sudah dimuat oleh konstitusi. Perlu diketahui, saat ini masih terjadi perdebatan mengenai presidential threshold dan parliamentary threshold ini. Harapan para penggugat tentu agar parpol lainnya bisa memajukan figur-figur yang layak untuk memimpin Indonesia ke depan.
Kedua, dalam perspektif tersebut, dapat dimaknai bahwa pada Pemilu 2024, parpol yang saat ini menjadi mitra Jokowi-Ma’ruf Amin, kemungkinan ada yang tetap bersama di satu sisi, dan ada juga yang memilih untuk tidak bersama-sama kembali. Merujuk pada konstitusi yang ada, sebagaimana yang secara eksplisit dapat terlihat pada presidential threshold dan parliamentary threshold serta para analis politik yang mengemukakan bahwa pada Pemilu 2024, hanya akan ada representasi 2 sampai 3 poros politik. Oleh karena itu, ada kemungkinan koalisi tersebut akan mengalami pembelahan di tengah proses pembangunan koalisi yang sedang dirajut oleh para parpol.
Sementara itu, berdasarkan jejak rekam koalisi politik dalam setiap kabinet rezim di Indonesia, akan mengalami pemisahan menjelang proses elektoral yang dalam waktu dekat akan diperhelatkan. Namun, saat ini, dalam pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, sangat kentara bahwa relasi koalisi politik dalam kabinet masih berjalan normal. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan, menjelang demisionernya Jokowi-Ma’ruf Amin dua tahun lagi, tepatnya pada Oktober 2024, akan memunculkan resonansi yang cukup tinggi. Hal ini perlu mendapatkan respons dari parpol pengusung pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin pada 2019 silam. Respons ini bisa berbentuk strategi dan taktik politik untuk menghindari berbagai konflik yang akan mendera. Kemunculan konflik dalam koalisi politik ini biasanya dilatarbelakangi oleh berbagai hal, misalnya, reshuffle kabinet, kepentingan politik yang tidak diakomodasi, dan seterusnya.
Dalam periode keduanya, Jokowi memiliki sejumlah pembangunan strategis, termasuk pemindahan ibu kota dan kebijakan-kebijakan politik lainnya. Apabila koalisi ini terpisah sebelum Pemilu 2024 digelar, ada kemungkinan agenda besar tersebut, termasuk public-policy akan terhambat. Dengan demikian, sebagaimana yang terlihat saat ini, pemerintahan lebih akomodatif terhadap berbagai stakeholders. Hal ini diperlukan untuk menjaga stabilitas pemerintahan. Akan tetapi, di sisi yang lain, check and balances juga harus turut menyertai; tidak boleh parpol mengalami kemandekan dalam melakukan check and balances, justru harus tetap menjaga platform ideologi parpolnya masing-masing.
PAN Masuk Koalisi
Perbincangan politik akan masuknya Partai Amanat Nasional (PAN) dalam koalisi memang sering dibicarakan dalam berbagai kesempatan. Alhasil, diskursus tersebut akhirnya terkonfirmasi saat pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin menjalankan roda pemerintahannya. Partai berlambang matahari terbit ini secara resmi akhirnya masuk dalam lingkaran koalisi. Hal ini telah dinyatakan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II PAN yang digelar di Jakarta pada Selasa (31/8/2021). Oleh karena itu, masuknya PAN ke dalam kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin, menunjukkan bahwa kekuatan oposisi semakin melemah.
Tak ayal, dengan masuknya PAN mengafirmasi pula bahwa sudah terjadi konsiliasi dan konsensus dalam konteks tersebut. Sementara itu, mekanisme yang telah dilakukan Jokowi-Ma’ruf Amin dapat dikatakan sebagai sebuah strategi politik untuk membendung arus oposisi yang selama ini kerap melakukan perlawanan politik. Dengan kata lain, Jokowi-Ma’ruf Amin telah menerapkan strategi dan taktik yang cemerlang, karena mampu menciptakan kohesivitas yang baik dan bisa mengajak oposisi untuk ikutserta bergabung ke dalam pemerintahan.
Sebagaimana yang sudah dinyatakan oleh Bangsawan (2017), yang menyebutkan bahwa untuk menjaga stabilitas politik diperlukan beberapa cara, di antaranya, pertama, memberikan jabatan dan kedudukan strategis. Kedua, melakukan tindakan intimidasi, diskriminasi, dan represif terhadap kelompok oposisi dan penentang penguasa. Dalam perspektif tersebut, dalam hal ini, mekanisme pertama tampaknya akan dilakukan oleh pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin. Selain itu, dalam praktik politik di Indonesia, jika tiada aral yang melintang, para oposan biasanya akan dihadapkan pada dua alternatif pilihan, ikut bergabung ke dalam kabinet atau koalisi politik atau tetap menjadi kelompok oposan.
Secara realitas politik kontemporer, parpol di Indonesia biasanya akan cenderung dan menentukan pilihannya bergabung ke dalam pemerintahan. Biasanya, ada konsensus yang sudah disepakati sebelum masuk ke dalam koalisi politik ini yang tidak terlihat secara kasat mata, dan kerapkali dilakukan di layar atau panggung belakang politik (backstage politics). Kemudian, mekanisme ini juga bisa dikatakan sebagai salah satu mitigasi politik untuk meredam perlawanan politik yang ada.
Dalam ekosistem demokrasi, dibutuhkan check and balances agar lembaga-lembaga negara dapat bekerja secara optimal sesuai grand design yang sudah ditetapkan dan sesuai dengan cita-cita nasional yang sudah tertuang dalam konstitusi. Dengan demikian, terlihat secara eksplisit tersaji bahwa yang tersisa menjadi oposisi pada saat ini hanyalah PKS dan Partai Demokrat. Selanjutnya, angin politik akan terus berembus seiring dinamika yang terjadi dalam koalisi Jokowi-Ma’ruf Amin. Sampai saat ini, publik masih menunggu rotasi politik yang akan terjadi dalam koalisi ini, termasuk apakah dalam waktu dekat akan terjadi reshuffle kabinet? Jika demikian, tinggal menunggu komitmen antarparpol, apakah masih komit atau justru putar haluan: keluar sebagai oposisi.
Ikuti tulisan menarik Imron Wasi lainnya di sini.