x

Iklan

Syarifudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Kamis, 20 Januari 2022 16:49 WIB

Kisah Taman Bacaan di Kaki Gunung, Apa Adanya Membangun Tradisi Membaca Anak

Dari filosofi gunung, Taman Bacaan Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor apa adanya membangun tradisi membaca anak. Berjuang penuh komitmen dan konsisten, apapun tantangannya. Bergerak di literasi memang tidak mudah, apa saja tantangannya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Satu hal yang patut disyukuri. Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka terletak di kaki Gunung Salak Bogor. Lokasi taman baca ini tidak pernah diminta. Tapi prosesnya terjadi begitu saja. Karena sudah dikehendaki-Nya. Tadinya rumah istirahat, kini berubah jadi taman bacaan. Tentu, semua ada prosesnya.

 

Lalu, apa maknanya bila taman bacaan berada di kaki Gunung? Ada banyak makna yang bisa dijadikan pelajaran. Karena gunung itu tempat awal dan akhir dari keindahan alam yang hakiki. Adalah gunung, satu-satunya objek di dunia ini yang selalu lebih jauh, lebih tinggi, dan lebih sulit dari kelihatannya. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Maka siapapun, saat mendaki gunung, diminta tunduk saat mendaki dan tegak ketika menurun. Seperti itulah seharusnya taman bacaan dan pegiat literasi dalam berkiprah sosial. Semua akan terlihat lebih sulit dari realitas. Maka dibutuhkan komitmen, konsistensi, dan sikap sepenuh hati saat ber-literasi.

 

Banyak orang lupa. Gunung sama sekali tidak pernah minta untuk didaki. Gunung tidak minta dikabuti dan disinari. Apalagi ditaklukkan. Hanya manusia angkuh yang merasa telah menaklukkan gunung. Untuk apa gunung ditaklukkan? Manusia lupa, gunung itu diam bukan karena tidak ada pilihan. Tapi karena ia tidak mau merusak apa yang sudah baik di alam semesta selama ini.

 

Maka siapa pun yang mendaki. Bukanlah gunung yang ditaklukkan. Melainkan ia sedang menaklukkan dirinya sendiri. Dari kesombongan, keangkuhan, dan ketidakberdayaan hidupnya sendiri.

 

Seperti gunung pula, taman bacaan bekerja. Saat telah memulai pendakian, jangan pernah melihat ke bawah. Apalagi ke belakang. Karena puncak gunung sebagai tujuan akan sulit digapai bila terlalu banyak menengok ke belakang dan menunduk ke bawah. Maka taman baca pun harus berdiri tegak saat bertekad mencapai tujuannya. Demi tegaknya tradisi baca dan budaya literasi masyarakat. Dakilah gunung agar Anda bisa melihat dunia, bukan agar dunia bisa melihat Anda.

 

Semakin tinggi Anda mendaki gunung, maka semakin kencang angin bertiup. Semakin maju tan bacaan Anda, maka akan semakin banyak orang yang tidak suka. Bila Anda paham taman bacaan adalah ladang amal dan tempat perbuatan baik. Itu bukan berarti semua orang senang. Pasti ada orang-orang jahat yang tidak senang. 

 

Mulai dari memfitnah, memusuhi, menggibahi, bahkan melarang anaknya untuk membaca di taman bacaan. Itu sudah biasa dan jadi bukti tidak mudahnya jadi pegiat literasi. Harus tahan banting dan bermental baja. Bila tidak, siapapun kan tersungkur seketika. 

 

Alias taman bacaannya "mati suri". Gunung selalu mengajarkan siapa pun. Bahwa tidak semua hal di dunia ini dapat dijelaskan secara rasional. Seperti tidak semua hal baik yang dilakukan bisa disenangi orang lain.

 

Jadi seperti itulah gunung, sama dengan manusia. Semakin banyak Anda tahu, semakin sedikit Anda takut. Semakin sering didaki, semakin banyak medan terjal yang harus dilalui. Taman bacaan pun begitu. Semakin banyak anak-anak yang membaca, semakin banyak orang yang tidak suka. 

 

Semakin maju taman bacaan Anda, maka iri dan benci pun semakin menyeruak. Tapi ingat, gunung dan taman bacaan sama-sama membutuhkan energi yang kuat dan semangat yang selalu baru.

 

Realitas itulah yang dialami TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Setelah 5 tahun berdiri, tidak kurang dari 250 orang jadi pengguna layanannya dari 3 desa (Sukaluyu, Tamansari, Sukajaya). 

 

Ada 11 program literasi yang dijalankan seperti taman bacaan, gerakan berantas buta aksara, kelas prasekolah, TBM ramah difabel, koperasi Lentera, yatim binaan, jompo binaan, donasi buku, literasi finansial, literasi digital, dan literasi adab. Hingga kini terus berjuang, demi tegaknya tradisi baca dan budaya literasi masyarakat.

 

Dan akhirnya yang paling penting, mendaki gunung dan berkiprah di taman bacaan selaku mengajarkan siapapun. Untuk memahami dan belajar cara merendahkan keangkuhan, memperkecil kesombongan. Hingga terkuak siapa yang menjadi kawan dan lawan. Karena di gunung dan taman bacaan, semua orang pasti gagal untuk bermuka dua. Gagal untuk ada apanya, hanya mampu apa adanya saja.

 

Ada pelajaran literasi dari taman bacaan di kaki gunung. Untuk tidak perlu berprasangka buruk pada gunung. Tidak perlu memusuhi taman bacaan. Karena gunung dan taman bacaan tahu cara menghancurkan dirinya sendiri, bila tiba waktunya. Maka jagalah dengan baik, jangan sampai gunung marah dan benci. Agar gunung tidak menghancurkan segalanya. Salam literasi. #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka

Ikuti tulisan menarik Syarifudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB