x

Iklan

Dhien Favian

Mahasiswa Sosial-Politik
Bergabung Sejak: 19 November 2021

Kamis, 20 Januari 2022 16:48 WIB

Krisis Politik Presiden-Perdana Menteri dalam Kepemimpinan Somalia


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pergantian tahun seringkali diilustrasikan sebagai lembaran baru pada sebuah buku yang menandakan awal baru bagi dunia. Hal serupa juga terjadi dalam pergantian tahun 2021 menuju 2022. Tahun 2021 diibaratkan sebagai tahun lama yang penuh perjuangan di tengah pandemi Covid-19 dan berbagai masalah lainnya sudah berlalu. Dan kini tahun 2022 telah menjadi tahun baru yang merepresentasikan harapan semua masyarakat dunia untuk menjadi yang lebih baik kedepannya.

Tidak hanya harapan, tahun 2022 juga melambangkan optimisme dunia di masa mendatang yang mana pandemi masih belum sepenuhnya hilang di muka bumi ini dan semua pemimpin dunia tetap memiliki keyakinan bahwa dengan kolaborasi internasional dan penanganan yang komprehensif, maka pandemi Covid-19 dapat segera berakhir dan dunia akan selangkah menuju hal yang lebih baik.

Kendati demikian, tidak semua pergantian tahun yang dijalankan oleh setiap negara berjalan dengan mulus dan optimisme untuk mencapai perubahan besar pada lembaran baru tidak serta merta terlaksana dengan sekejap, harus mengalami berbagai tantangan dan hambatan yang muncul dari lingkup domestik maupun internasional. Tantangan yang dihadapi oleh suatu negara dalam mencapai perubahan di tahun 2022 tidak hanya bertumpu pada aspek ekonomi-sosial, melainkan juga dari aspek politik nasional yang dapat menghambat pembangunan nasional hingga konflik internal yang dapat memicu instabilitas politik apabila tidak segera diselesaikan oleh setiap lembaga pemerintahan di suatu negara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Somalia termasuk salah satu negara yang tengah menghadapi permasalahan politik internal menjelang pergantian tahun dimana pada hari Senin tanggal 27 Desember 2021 lalu Presiden Somalia yaitu Mohammed Abdullahi “Farmajo” menyatakan secara resmi telah membekukan kewenangan Perdana Menteri Somalia yaitu Hussein Roble dan pernyataan tersebut juga dibarengi desakan oleh Abdullahi supaya Roble turun dari jabatannya sebagai PM Somalia, yang mana hal tersebut kemudian memicu sengketa politik ditengah situasi Somalia yang belum pulih dari pandemi covid-19.

Pernyataan resmi dari Farmajo ini tidak lepas dari permasalahan politik yang dilanda oleh masyarakat Somalia sebelumnya, dimana pembekuan kewenangan PM oleh Farmajo tidak lain dilakukan atas dasar ketidaksigapan Roble dalam menangani tata kelola pemerintahan pasca Roble diangkat sebagai PM serta keterlibatan Roble dalam kasus korupsi lahan publik yang didukung oleh Tentara Nasional Somalia (Somalia National Army), yang mana dari dugaan tersebut Farmajo mendesak untuk mempercepat penyelenggaraan pemilu untuk menggantikan kursi PM selanjutnya. Selain desakan tersebut, diketahui bahwa Farmajo juga mengirimkan beberapa aparat keamanan ke Mogadishu untuk mengamankan kantor PM dan kabinet serta melakukan investigasi kepada Roble untuk mengusut tuntas kasus korupsi sebagaimana yang dituduhkan oleh Farmajo, yang mana kedua langkah tersebut menandakan bahwa Farmajo akan membekukan kewenangan dari PM dan kabinetnya hingga investigasi yang dilakukan telah membuahkan hasil.

Namun demikian, pernyataan Farmajo kemudian disangkal oleh Roble dengan menyatakan bahwa tindakan presiden sangat tidak konstitusional dan Roble juga mencurigai tindakan Farmajo tersebut dilakukan sebagai upaya untuk memperkuat kekuasaan eksekutif dibawah wewenang Presiden dan investigasi sekaligus pengamanan kantor PM dan kabinet oleh aparat keamanan disatu sisi juga melanggar hukum pemerintahan di Somalia, sehingga Roble akan melakukan konsultasi dengan Parlemen Federal Somalia untuk menghadapi permasalahan tersebut dan juga mempercepat penyelenggaraan pemilu untuk menjamin transfer kekuasaan berlangsung secara damai.

Perselisihan antara Presiden dengan PM Somalia disatu sisi menjadi “prahara” dari politik nasional di Somalia, yang mana prahara tersebut disebut tidak lain dipicu oleh keputusan komisi pemilihan umum federal untuk melakukan penundaan terhadap pemilihan umum presiden dan parlementer pada tahun 2021 kemarin, dimana negosiasi antara pemerintah Somalia dengan gubernur negara bagian telah menyepakati bahwa pelaksanaan pemilu parlementer akan dilaksanakn pada 1 Januari 2021 dan pemilu presiden akan dilaksanakan pada tanggal 8 Februari 2021, namun dikarenakan komisi pemilu Somalia menolak kesepakatan tersebut akhirnya membuat jadwal untuk pemilu presiden dan parlementer belum mendapatkan kepastian.

Penundaan tersebut berdampak besar terhadap posisi Farmajo sebagai Presiden, dimana Farmajo yang harusnya melepaskan jabatannya sebagai presiden pada tanggal 8 Februari 2021 kemarin akhirnya mendapatkan perpanjangan masa jabatan setelah parlemen menyetujui kesepakatan untuk memperpanjang mandat Presiden dan pemerintahannya selama dua tahun kedepan. Perpanjangan tersebut mendapatkan reaksi dari kelompok oposisi dikarenakan kegagalan pemerintah dalam melaksanakan pemilu disatu sisi menjadi sumber legitimasi untuk memperpanjang masa jabatan Presiden Farmajo dan seruan untuk boikot pemilu sekaligus meminta Farmajo untuk mundur sebagaip presiden dari Dewan Kandidat Presidensial ramai dibicarakan dalam ruang publik Somalia sebagai bentuk penolakan terhadap penundaan tersebut. Ketidakpastian dalam jadwal pemilu memang menjadi sumber utama dalam krisis politik di Somalia, namun tensi dari krisis tersebut mulai meningkat tajam pasca sengketa antara presiden dengan PM yang disatu sisi juga berdampak terhadap friksi kepemimpinan dalam tubuh pemerintah Somalia sendiri, sehingga krisis politik di Somalia semakin mendorong ketidakpastian bagi masyarakat Somalia.

Krisis politik di Somalia sendiri telah memicu perhatian dari dunia internasional, dimana Kedutaan Besar Amerika Serikat dan Kedutaan Besar Inggris di Somalia telah meminta pemimpin negara tersebut untuk menurunkan ketegangan di Mogadishu dan mendesak adanya penyelesaian secara konkret untuk menghadirkan stabilitas politik di negeri Tanduk Afrika tersebut. Selain AS dan Inggris, Uni Eropa dan Uni Afrika sebaga organisasi regional telah memberikan pernyataan bahwa kedua organisasi tersebut “sangat khawatir” dengan perkembangan situasi di Somalia saat ini dan keduanya juga meminta pemerintah untuk segera menyelenggarakan pemilu secara bebas dan adil demi pemulihan kondisi politik di negara tersebut. Berkaca pada fenomena tersebut, sebagian besar analis politik seperti Abdinor Dahir dan lainnya mengungkapkan bahwa sengketa politik antara Presiden dengan PM Somalia saat ini diidentifikasikan sebagai outcome dari krisis konstitusional dan politik di Somalia dalam beberapa bulan terakhir.

Sengketa antara Presiden dengan PM tersebut disebabkan oleh ketidakpastian jadwal pemilu presidensial dan parlementer pada tahun 2021 lalu dan sengketa tersebut disatu sisi merupakan hasil dari ketiadaan kerangka konstitusional yang mengatur tentang alur pelaksanaan pemilu oleh pemangku kepentingan yang terkait – terutama dalam menangani sengketa peran kepala negara federal dan pemerintahan regional dalam menentukan jadwal pemilu secara konkret – dan sekaligus pembagian wewenang antara Presiden dengan PM dalam penentuan jadwal pemilu, yang membuat seleksi kepemimpinan terhambat akibat penundaan tersebut.

Selain permasalahan kewenangan dalam penentuan pemilu, dinamika politik di Somalia kembali mendapatkan tantangan yang besar dari kehadiran kelompok teroris Al-Shabab dan ISIS yang masih eksis di negara tersebut, dimana aksi kelompok tersebut kembali mengancam keamanan nasional Somalia dengan kasus bom mobil terjadi di ibukota Somalia Mogadishu pada tanggal 12 Januari lalu dan dengan pemecahan keberpihakan aparat keamanan antara loyal kepada Presiden dengan loyal dengan PM, maka komposisi aparat keamanan akan semakin berkurang dan krisis politik yang berlangsung tersebut dapat memicu permasalahan lebih mendalam bagi penghidupan masyarakat Somalia.

Oleh karenanya, untuk menangani sengketa politik antara Presiden dengan PM dan sekaligus menyelesaikan permasalahan suksesi kepemimpinan secara demokratis, Dewan Konsultasi Nasional beserta Perdana Menteri telah mengajukan jadwal pelaksanaan pemilu parlementer terutama pada pemliu Dewan Perwakilan Rakyat (The House of The People) pada tanggal 25 Februari 2022 dimana penentuan tanggal tersebut didasarkan pada pertimbangan waktu yang dibutuhkan tiga pihak – yaitu Komisi Elektoral Somalia, Dewan Konsultasi, dan Pemerintah Somalia – untuk mempersiapkan mekanisme pemilu sekaligus infrastruktur penunjangnya untuk menjamin pelaksanaan pemilu secara bebas dan adil. Selain penentuan jadwal pemilu, pemerintah Somalia juga diwacanakan akan menggunakan “formula 4.5” dalam sistem pemilu berbasis klan, yang mana sistem ini dipandang mampu memberikan representasi yang merata pada setiap etnis di Parlemen Federal Somalia sebagaimana struktur sosial Somalia sendiri yang terdiri atas empat etnis dominan dan sistem yang kurang lebih mewaliki demokrasi konsosiasional akan mendorong pemusyawaratan dan sekaligus mencapai kesepakatan politik yang berkeadilan bagi setiap etnis dalam menyelesaikan permasalahan dalam negeri Somalia.

Berkaca dari formula penyelesaian oleh pemerintah Somalia untuk menangani sengketa politik beberapa waktu lalu, setidaknya keberadaan formula tersebut akan memberikan keuntungan bagi pelaksanaan pemerintahan di Somalia beberapa waktu mendatang. Pertama ialah kepastian jadwal pemilu akan mampu mempercepat jalannya suksesi kepemimpinan yang sudah melewati batas waktu yang diatur dalam konstitusi, dimana pelaksanaan pemilu pada Februari mendatang akan menjamin penyelenggaraan negara secara konsekuen melalui pergantian anggota parlemen secara berkala dan pemilu tersebut juga akan menghasilkan legislator yang berkompeten dalam perumusan kebijakan yang komprehensif bagi masyarakat Somalia, sehingga amanat demokrasi representatif yang tertuang dalam konstitusi Somalia akan terjaga dari potensi penyalahgunaan kekuasaan dan langkah menuju konsolidasi demokrasi di Somalia akan mampu berjalan secara gradual. Kedua ialah perbaikan relasi kepemimpinan dalam politik nasional, dimana Somalia yang merupakan negara federal dan penganut sistem pemerintahan parlementer tentu tidak lepas dari dualisme kepemimpinan antara Presiden dengan Perdana Menteri yang memiliki kewenangan yang berbeda dan dualisme tersebut dapat memicu konflik kepemimpinan apabila pemerintahan yang dijalankan oleh PM tidak terlaksana dengan baik seperti halnya kasus Tunisia beberapa waktu lalu.

Mengenai kasus Somalia yang mana titik muaranya tertuju pada penundaan pelaksanaan pemilu dan dugaan ketidakcakapan pelaksanaan pemerintahan, maka penentuan jadwal pemilu dapat menjadi solusi penurunan tensi antara Presiden dengan PM dari aspek prosedural yang mana keputusan tersebut menjadi tolak ukur dari komitmen PM dalam mempertahankan demokrasi di Somalia dan sekaligus mampu memperbaiki relasi dengan Presiden mengenai tata kelola pemerintahan selanjutnya, sehingga perbaikan relasi diantara dua pemimpin ini akan membangun konsolidasi pemerintahan Somalia yang mampu mendorong terciptanya konsensus nasional dan sekaligus mengefektifkan kinerja pemerintah dalam menangani permasalahan internal – terutama ekonomi, politik, dan keamanan – untuk kemajuan bagi Somalia. Kendati demikian, meski penyelesaian prosedural seperti penentuan jadwal pemilu harus dilakukan untuk memastikan suksesi kepemimpinan sebagaimana amanat demokrasi berlangsung secara tertib dan teratur, namun penyelenggaraan tata kelola pemerintahan di Somalia saat ini juga harus dilakukan dengan kompetensi para pemangku kepentingan sekaligus meneguhkan komitmennya demi bangsa dan negaranya supaya krisis politik di Somalia tidak terulang kembali dan stabilitas politik dari pemerintahan yang berlangsung akan mendorong pembangunan sekaligus pemulihan keamanan yang bermanfaat bagi bangsa Somalia.

Ikuti tulisan menarik Dhien Favian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler