x

Iklan

Teguh Gw

Pemerhati pendidikan, pernah menjadi guru
Bergabung Sejak: 29 Agustus 2020

Jumat, 21 Januari 2022 13:36 WIB

Storynomics for School Branding, Menjual Tanpa Membual

Hampir semua sekolah memiliki situs web atau, setidak-tidaknya, blog. Namun, tidak banyak situs web sekolah yang rajin memperbarui kontennya secara berkala. Mengapa demikian? Patut diduga, sekolah merasa tidak setiap hari punya berita yang layak untuk disajikan sebagai konten situs webnya. Jika betul demikian, berarti core business sekolah gagal dipahami oleh pelaku bisnis sekolah itu sendiri. Padahal, bila disajikan secara dramatis, cerita tentang core business itu berpeluang menjadi konten pemasaran yang elegan, menawan, dan efektif. Sudah saatnya, strategi pemasaran sekolah beralih ke storifed marketing dan meninggalkan iklan vulgar yang semakin kehilangan kepercayaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hampir semua sekolah memiliki situs web atau, setidak-tidaknya, blog. Namun, tidak banyak situs web sekolah yang rajin memperbarui kontennya secara berkala. Mengapa demikian? Patut diduga, sekolah merasa tidak setiap hari punya berita yang layak untuk disajikan sebagai konten situs webnya. Jika betul demikian, berarti core business sekolah gagal dipahami oleh pelaku bisnis sekolah itu sendiri. Padahal, bila disajikan secara dramatis, cerita tentang core business itu berpeluang menjadi konten pemasaran yang elegan, menawan, dan efektif. Sudah saatnya, strategi pemasaran sekolah beralih ke storifed marketing dan meninggalkan iklan vulgar yang semakin kehilangan kepercayaan.

Cobalah berkunjung ke situs web sebuah perusahaan produsen mobil. Apa yang Anda dapati? Beralihlah ke situs web sebuah perusahaan produsen batik. Apa yang Anda dapati? Beralihlah lagi ke situs web sebuah perusahaan waralaba kedai kopi. Apa yang Anda jumpai? Lalu beralihlah ke situs web sebuah organisasi sosial. Apa yang Anda jumpai?

Mengunjungi situs pabrikan mobil, kita disuguhi informasi seputar mobil-mobil produksinya, lengkap dengan iming-iming untuk membeli mobil-mobil tersebut. Mengakses situs industri batik, mata kita dimanjakan dengan berbagai produk batik dalam aneka motif, lengkap dengan tawaran untuk membelinya. Membuka situs waralaba kedai kopi, kita dikenalkan dengan sejumlah varian minuman berbasis kopi, lengkap dengan rayuan untuk mencicipinya. Menyambangi situs organisasi sosial, kita diberitahu tentang kegiatan sosial yang telah, sedang, dan akan mereka lakukan. Adakalanya, melalui situs webnya, organisasi sosial juga mengundang pengunjung untuk berpartisipasi dalam berbagai bentuk untuk mendukung kegiatan mereka.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Situs web berfungsi sebagai showroom, galeri, warung, atau buletin virtual bagi organisasi—komersial maupun nirlaba. Dapat dipastikan, masing-masing menyajikan informasi menyangkut inti bisnis (core business) mereka sebagai konten utama. Adalah wajar dan masuk akal bila situs web sebuah hotel dipenuhi oleh informasi tentang berbagai layanan akomodasi yang mereka tawarkan kepada calon tamu. Memang itulah inti bisnis mereka.

Inti Bisnis Sekolah

Apa yang menjadi core business sekolah? Pertanyaan ini sempat membuat seluruh audiens tergagap-gagap ketika dilontarkan dalam sebuah forum yang diikuti oleh para pelaku “bisnis” sekolah. Rupanya mereka tidak menyadari bahwa sekolah adalah sebuah organisasi bisnis. Atau, lebih tepatnya, kata “bisnis” telah mengalami (baca: menderita) penyempitan makna. Tampaknya mulai dilupakan bahwa business berasal dari busy+ness (kesibukan; sesuatu yang membuat sibuk = urusan).

Pendidikan dan pembelajaran adalah inti bisnis sekolah, apa pun jenjang, jenis, dan statusnya. Dengan demikian, apa yang selayaknya menjadi sajian utama konten situs web sekolah? Ya, tentu, kegiatan pembelajaran atau pendidikan yang berlangsung di sekolah yang bersangkutan. Hanya kegiatan pembelajaran? Bukankah itu sekadar kegiatan rutin harian sekolah? Di mana keistimewaannya?

Inkonsistensi paradigma inilah, tampaknya, yang menjadi musabab sepinya unggahan konten baru di mayoritas situs web sekolah. Inti bisnisnya proses pembelajaran, tetapi yang dipamerkan (baca: dijajakan) justru hanya “laba” insidental. Murid menjuarai kompetisi, sains, teknologi, olahraga, atau seni itu memang membanggakan. Wajar-wajar saja prestasi segelintir murid itu menumbuhkan kebanggaan kolektif. Bahkan, diklaim sebagai prestasi institusional pun sah-sah saja, sekalipun belum tentu prestasi mereka itu produk sekolah.

Sekolah digelari predikat tertentu, dinobatkan sebagai ini-itu, menyandang aneka label bertuah, itu memang prestisius. Sekolah menjadi objek kunjungan sekolah-sekolah lain, namanya sering disebut-sebut oleh petinggi, itu juga membesarkan hati. Merayakan hari-hari besar dan bersejarah secara meriah, menghadirkan tokoh-tokoh penting dan kalangan pesohor yang berpengaruh, itu pun bisa efektif mengatrol nilai jual sekolah.

Pertanyaannya, apakah segala kemewahan dan kemegahan itu benar-benar menjawab kebutuhan pelanggan? Betulkah lambang-lambang kejayaan itu yang ditawarkan (baca: dijanjikan untuk dinikmati) kepada semua calon pelanggan sehingga hati mereka terpikat kepada sekolah? Berapa persen murid yang berhasil memboyong piala, berkalung medali, atau menggamit piagam prestasi di luar sekolah selama mereka menempuh pendidikan di situ? Seberapa besar dampak simbol-simbol prestise itu terhadap pengayaan pengalaman belajar semua murid?

Storynomics

Anda mungkin pernah mendapati sebuah warung makan yang letaknya tidak terbilang mudah dijangkau, tetapi tidak pernah sepi pengunjung. Pelanggannya datang dari berbagai penjuru, yang dekat dan yang jauh. Padahal, inti bisnisnya sama dengan rumah-rumah makan yang bertebaran di sepanjang jalur utama: makanan dan minuman.

Dapat ditebak, warung di pelosok itu memiliki keistimewaan: cita rasanya, pelayanannya, model penyajiannya, teknik memasaknya, suasananya, harganya, atau entah apanya yang lain. Cukupkah unsur-unsur objektif itu untuk menjelaskan teka-teki “mengapa warung tersebut selalu ramai”? Betapa pun istimewanya, mana mungkin warung di pelosok tersebut mampu menyedot minat para maniak kuliner dari berbagai daerah, yang harus bersusah payah untuk sampai ke sana?

Pasti ada cerita yang tersiar luas. Bisa jadi, pengunjung yang mula-mula kesengsem dengan warung itu menceritakan pengalamannya kepada kerabat, tetangga, sahabat, atau koleganya. Para penerima cerita penasaran untuk merasakan pengalaman serupa. Mendapati bukti yang membenarkan cerita yang diterima sebelumnya, mereka tak segan menceritakan pengalaman kuliner barunya kepada teman, sanak saudara, kenalan, dan siapa saja.

Fakta objektif tentang warung itu data yang bisa diamati. Pengalaman empiris pengunjung itu data yang bisa dikonfirmasi. Apakah data lugu yang dinarasikan sambil lalu saja cukup ampuh untuk memengaruhi audiens sehingga berbondong-bondong ingin mencicipi pengalaman serupa? Bagaimana para influencers menceritakan fakta objektif dan pengalaman empiris itu kepada orang-orang yang kelak secara sukarela menjadi followers mereka? Bayangkan diksinya, intonasinya, ekspresinya.

Dramatis! Inilah kunci storynomics: mendramatisasi data. Datanya empiris-faktual: objektif. Gaya penyajiannya yang dikemas secara dramatis-emosional: subjektif. Keterlibatan emosi itulah yang membangun rekognisi audiens: “Yes, ini yang saya butuhkan!”

Begitu pula proses pembelajaran di sekolah. Menunya sama dari hari ke hari: pembelajaran, belajar, pelajaran. Guru mengaransemen kegiatan pembelajaran. Murid—sering, guru juga—belajar: mendulang pengalaman. Rantai pengalaman membentuk kesadaran metakognitif: pelajaran berharga.

Penceritaan proses pembelajaran, belajar, hingga pemerolehan pelajaran berharga itulah data autentik yang layak disajikan sebagai bukti pengejawantahan brand (visi, misi, dan prestasi) sekolah. Menjual brand tanpa data autentik, sama dengan membual. Menjual data autentik tanpa cerita pemantik keterlibatan emosi, sama saja menjejal otak audiens dengan informasi hambar yang bikin cepat mual.

Media

Pada masa amat lampau, cerita berantai itu meluas melalui penceritaan lisan—dari mulut ke mulut. Pada masa berikutnya, cerita itu menyebar lewat pemberitaan media massa—cetak atau elektronik. Pada masa sekarang? Media sosial! Teknologi digital!

Data autentik yang dikemas dalam cerita apik itu dijadikan konten yang konsisten dan hadir sesering mungkin di situs web sekolah. Konsistensi konten dan kerapatan jeda antara unggahan terdahulu dan unggahan berikutnya itu akan berpengaruh terhadap persepsi pengunjung atau pembaca. Di sinilah persepsi terbentuk: apakah proses pembelajaran yang memperkaya pengalaman belajar dan menjelma pelajaran berharga itu merupakan identitas kolektif sekolah atau hanya peristiwa kasuistik insidental.

Pekerjaan berikutnya adalah memviralkan konten situs web. Admin web tinggal mengirimkan alamat tautan kepada seluruh guru dan pelaku bisnis sekolah lainnya. Selebihnya, berikan kepercayaan kepada mereka untuk memainkan perannya sebagai school marketers dengan meneruskan alamat tautan konten cerita inspiratif, edukatif, dan menghibur itu kepada khalayak: pelanggan dan calon pelanggan.

Ikuti tulisan menarik Teguh Gw lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu