x

Salah satu koleksi di Museum Centerbury, Selandia Baru. Foto: centerburymuseum.com

Iklan

Muhammad Hidayat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 Januari 2022

Rabu, 26 Januari 2022 06:17 WIB

Canterbury Museum dan Hujan Kembali Tiba #2

Sebuah reportase perjalanan di Selandia Baru. Perjumpaan personal dengan Suku Maori, alam yang indah, bermalam di rumah penduduk lokal, flashback berbagai peristiwa, hingga kekaguman yang mengakar dari sudut-sudut kota.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

#Bagian ke-2 Catatan Perjalanan ke Selandia Baru. Bagian 1 dapat dibaca di sini.

Tujuan utama kami adalah Canterbury Museum. Untuk hal ini anda boleh bilang saya norak dan old style. Saya sempat mengobrol dengan istri tentang betapa antusiasnya masyarakat di negara-negara maju mengunjungi museum. Hal yang membuat saya kagum antara lain kesediaan mereka meluangkan waktu.

Selama bermukim di Australia, saya melihat museum menjadi salah satu tempat yang banyak dikunjungi. Di sini mereka menikmati sejarah dan pemikiran, serta menggali positif negatif perihal kehidupan generasi sebelumnya. Intinya, keberadaan museum seolah menjadi konsumsi “eksotik” yang memberikan inspirasi juga pencerahan tentang berbagai perubahan – sosial, ekonomi, budaya – di negaranya di masa lampau.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hmm, sambil mengemudi, saya mengingat bagaimana museum di daerah saya. Bangunan megah itu, sepi pengunjung. Daya tarik museum kalah jauh dari pesona pusat-pusat perbelanjaan yang tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Museum yang nuansanya lebih mirip dengan nuansa pekuburan itu mengganggu ingatan saya selama perjalanan.

“Mengapa museum ditinggalkan manusia, sementara manusia perlu belajar dari apa yang berlaku di masa lalu?” saya berulang-ulang membatin.

Jauh berjalan tibalah kami di Canterbury Museum, di situ kami menemukan tanda-tanda kehidupan selepas perjalanan kami melintasi ruang- ruang yang sepi. Beberapa rombongan tur terlihat di depan bangunan tinggi itu. Mereka sedang mendengar penjelasan seorang pemandu wisata.

Dari air mukanya, mereka berasal dari China. Tak lama berselang, mereka pun ikut kami merapat ke dalam museum.

Di luar, hujan yang telah reda kembali tumpah dari langit. Untungnya kami sudah berada di dalam bangunan museum. Pada waktu itu saya dan istri memaksimalkan kesempatan untuk menyelami jejak-jejak peradaban di kota ini melalui berbagai media yang dikoleksi Canterbury Museum. Sulit ditolak bahwa museum tempat yang baik untuk belajar sejarah dan sejarah lebih dari sekadar masa lalu.

Untuk membunuh waktu, saya dan istri masih asyik dengan berbagai koleksi tua dan antik. Baik foto maupun benda sama-sama mengandung pesan sejarah yang panjang. Pengunjung seperti kami diajak ikut serta dalam perjalanan masyarakat suku asli yang masih primitif beradab-abad lalu.

Sembari menanti hujan reda, sesekali saya dan istri berswafoto di sudut-sudut yang menurut kami sangat instagrammable. Yes, sebagai bahan pembuktian saja bahwa kami pernah kemari.

Ditemani rintik hujan saya merenung.

Benarkah satu tatanan kehidupan masyarakat yang paripurna itu bisa dilihat dari selarasnya kesempatan untuk ibadah, menikmati sejarah, dan menggali ilmu pengetahuan? Artinya di sebuah negeri yang maju dan beradab, bangunan seperti rumah ibadah, museum, dan perpustakaan selalu jadi perhatian. Baik oleh pemerintah yang menjalanan fungsi tata kelola, maupun masyarakat secara keseluruhan.

***

Persis di sebelah kanan Canterbury Museum, terdapat satu ruang terbuka hijau yang luas. Orang Selandia Baru menyebutnya Christchurch Botanic Gardens. Pemandangan begitu cepat berganti. Dari buaian masa lampau yang kuno menjadi batang- batang pohon segar hingga warna-warni bunga. Ditambah lagi dengan suara gemericik air mancur. Sungguh kombinasi ruang terbuka yang layak untuk mengisi hari. Bagi orang Indonesia yang jarang terpapar suasana seperti itu akan sangat menyejukkan hati.

Hadirnya spot seperti itu di jantung kota tentu jadi dambaan setiap warga. Terlebih mereka yang tinggal di kawasan urban. Taman terbuka harus bisa menjawab harapan mereka. Kalau saya tak salah ingat, Kang Emil sewaktu jadi Walikota Bandung pernah bilang, salah satu ciri masyarakat yang sehat bisa dilihat dari banyaknya pola interaksi yang mereka bangun di ruang-ruang terbuka. Hal itu yang membuatnya gencar merevitalisasi sejumlah taman yang ada di Jawa Barat karena selain menyuguhkan kenyamanan, area hijau itu juga dipercaya mampu memberi asupan vitamin positif bagi tingkat kebahagiaan warganya.

Pemandangan bunga yang indah menyulap hati kami jadi berbunga-bunga. Saya tambah yakin bahwa hari-hari ke depan bukan sekedar formalitas penghabisan waktu belaka sambil menunggu jadwal kembali ke Adelaide. Kesan awal yang kami peroleh sangat menyenangkan.

Titik-titik hujan yang baru saja pergi masih membasahi dedaunan sehingga semua nampak segar. Berada di tengahnya ibarat menikmati proses relaksasi alami dari Sang Pencipta Semesta. Banyaknya pepohonan hijau nan rindang juga menambah sejuknya pagi itu. Aura negeri yang indah telah nyata di depan mata. Gerakan bunga- bunga yang sesekali diterpa angin menepuk hati saya untuk senantiasa bersyukur pada Sang Pencipta. Rumput hijau berbalut bunga beraneka warna membuat mata segar dan pikiran jernih.

Di negara maju seperti Australia dan Selandia Baru, semua tempat pasti punya lembar sejarah yang menyertainya. Itu yang akhirnya jadi daya tarik luar biasa sehingga orang berbondong- bondong untuk datang. Seperti halnya taman ini, konon dibuka bulan Juli 1863 yang ditandai dengan ditanamkannya pohon Oak Inggris. Ceritanya sih untuk merayakan ikatan suci Pangeran Albert dan Putri Alexandra dari Denmark.

***
Kami duduk di sebuah bangku kosong di taman bunga seluas 30 hektar itu. Di lokasi yang sama ada juga taman-taman kecil yang semuanya berada di dalam jalur lingkar sungai Avon (periksa www.newzealand.com).

Kami menyaksikan orang-orang yang takjub akan hamparan bunga warna-warni yang indah. Lalu saya bergumam, sungguh ini bukan pemandangan biasa. Dibalut hawa dingin dan udara yang bersih, kami puas menikmati suasana rekreasi yang disuguhi taman ini.

Sebenarnya kami masih ingin menikmati udara yang kian waktu bergerak kian terasa segarnya. Namun gerimis kembali berkuasa. Titik-titik air dari langit semakin deras. Dan ketika hujan kembali turun, kami berlindung di balik tembok Canterbury Museum. Derainya melembabkan wajah kota sekaligus menjadi penutup cerita kami di tempat itu.

Bersambung...

 

 

Ikuti tulisan menarik Muhammad Hidayat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB