x

Ilustrasi Rapat di DPRD

Iklan

Fajrianto Rahardjo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 Januari 2022

Kamis, 27 Januari 2022 12:48 WIB

Menyoal Lemahnya Fungsi hingga Praktek Monopoli di DPRD

Melalui amanat otonomi daerah keberadaan pemerintah daerah diharapkan mampu menjadi garda terdepan mengakomodir dan melayani segala kepentingan masyarakat. DPRD merupakan salah satu unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang lahir dari tuntutan desentralisasi ini. Namun dalam pelaksanaan fungsi DPRD saat ini banyak menuai masalah. Banyak terjadi penyimpangan. Juga terjadi monopoli kepentingan untuk mengeruk uang negara.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Indonesia merupakan negara yang manganut desentralisasi dalam penyelenggaran pemerintahan (tidak terpusat). Hal ini di isyaratkan secara ekprisif verbis dalam Pasal 18 Ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang mengakui keberadaan pemerintah daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya. Melalui amanat otonomi daerah, keberadaan pemerintah daerah di harapkan mampu menjadi garda terdepan dalam mengakomodir dan melayani segala kepentingan masyarakat guna mencapai nawa cita bangsa. Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan salah satu unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang lahir dari tuntutan desentralisasi ini.

Penegasan khusus sebagai lex specialis (turunan UUD), eksistensi DPRD sebagai salah satu unsur penyelenggara pemerintah daerah tertuang dalam Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa DPRD merupakan Lembaga Perwakilan Daerah yang berkedudukan sebagai salah satu unsur penyelengara pemerintah daerah. Dan dalam menjalankan tanggungjawabnya, secara garis besar DPRD memiliki tiga fungsi utama yaitu fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan (Pasal 96 ayat (1) jo 189 Ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014).

Dalam pelaksanaan fungsi legislasi, DPRD di harapkan mampu untuk aktif dalam mengusung peraturan daerah yang aspiratif dan responsive bersama Kepala Daerah (eksekutif). Artinya peraturan daerah yang dibuat telah mengakomodasi tuntutan, kebutuhan dan harapan rakyat. Berkaitan dengan fungsi anggaran (Budgeting), secara ideal melalui instrumen ini DPRD diharapkan mampu mendorong lahirnya Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang efektif dan efisien, serta terdapat kesesuaian yang logis antara kondisi kemampuan keuangan daerah dengan keluaran (output) kinerja pelayanan masyarakat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dan yang terakhir yaitu melalui fungsi pengawasan, DPRD diharapkan mampu mendorong hadirnya suasana pemerintahan daerah yang transparan dan akuntabilitas, baik dalam proses pemerintahan maupun dalam penganggaran. dalam pelaksanaan fungsi pengawasan ini juga, DPRD memiliki peranan penting dalam memantau kinerja eksekutif terhadap pelaksanaan peraturan daerah serta penggunaan anggaran yang sudah disahkan sebelumnya dalam APBD.

Selain itu, dalam perannya sebagai badan perwakilan, DPRD menempatkan diri selaku kekuasaan penyeimbang (balanced power) yang mengimbangi dan melakukan kontrol efektif terhadap kepala daerah dan seluruh jajaran pemerintah daerah. Peran ini diwujudkan dalam fungsi-fungsi berikut yaitu: 1) Representation. Mengartikulasikan keprihatinan, tuntutan, harapan dan melindungi kepentingan rakyat ketika kebijakan dibuat, sehingga DPRD senantiasa berbicara “atas nama rakyat”; 2) Advocacy. jika terjadi permasalahan di daerah, dan masyarakat menuntut kehadiran pemerintah eksekutif daerah untuk melakukan penyelesaian, maka DPRD dalam fungsi advokasi harus melakukan pendampingan terhadap tuntutan masyarakat agar sampai kepada kepala daerah dan mendorongnya untuk melakukan penyelesaian; 3) Administrative oversight.

Berkaitan dengan fungsi ini, DPRD berhak menilai atau menguji dan bila perlu berusaha mengubah tindakan-tindakan dari badan eksekutif yang dinilai merugikan rakyat. selain itu, berangkat dari penekanan fungsi ini juga, sangat tidak dibenarkan apabila DPRD bersikap “lepas tangan” terhadap kebijakan pemerintah daerah yang bermasalah atau dipersoalkan oleh masyarakat. Apalagi dengan kalimat naif, “Itu bukan wewenang kami”, seperti yang kerap terjadi dalam praktek. Dalam kasus seperti ini, DPRD dapat memanggil dan meminta keterangan, melakukan angket dan interpelasi, bahkan pada akhirnya dapat meminta pertanggung jawaban Kepala Daerah.

Hemat penulis, Inilah esensi (Das Sollen) kehadiran DPRD dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Ketentuan fungsi diatas tentulah harus dilaksanakan secara kumulatif. Dalam artian, jika di antara salah satu peran dan fungsi DPRD tidak dilaksanakan dengan baik, maka sudah barang pasti seluruh harapan dan kepentingan daerah tidak akan terakomodir dengan sebagaimana mestinya.

Fakta Empiris (Das Sein)

Lalu bagaimana dengan eksistensi DPRD saat ini? sudahkah menjalankan fungsinya dengan baik seperti yang telah di jabarkan diatas? Jika ditilik dari fakta yang ada (Das Sein), menurut penulis keindahahan seluruh fungsi DPRD hanyalah ketentuan dan menjadi sampul semata. Hal ini dapat di lihat dari banyaknya catatan merah penyimpangan serta ketidakseriusan DPRD di berbagai daerah dalam menjalankan fungsinya dengan baik. selain itu, keterlibatan DPRD dalam praktek korupsi yang cukup signifikan, menjadi problem khusus yang kian sulit di selesaikan dan membawa dampak buruk terhadap pemenuhan hak-hak masyarakat di daerah.

Pertama, dari aspek fungsi legislasi, kinerja DPRD masih terbilang sangat buruk. Stetment ini dapat di buktikan dengan rendahnya kuantitas inisiatif peraturan daerah yang di usung oleh DPRD di bandingkan eksekutif. Padahal, jika ditinjau dari segi fungsi, menurut penulis sudah sepatutnya DPRD memiliki sumbangsih lebih dalam pengusungan perda di bandingkan eksekutif sebagai konsekuensi logis dari fungsi pokok legislasinya dan peranannya sebagai perwakilan rakyat daerah.

Pernyataan ini diperkuat oleh pendapat pakar hukum tata negara Saldi Isra (Hakim MK), yang menyatakan bahwa telah terjadi pergeseran fungsi legislasi dari pemegang kekuasaan eksekutif bergeser kepada pemegang kekuasaan legislatif. Dasar lahirnya fungsi legislasi adalah dengan mengikuti kelaziman teori-teori ketatanegaraan pada umumnya, dimana fungsi utama lembaga perwakilan rakyat/parlemen adalah dibidang legislasi (Saldi Isra,2013). Sehingganya, adalah sebuah ketidakwajaran atau telah terjadi disfungsi legislasi dikalangan DPRD jika dalam pengusungan perda lebih di dominasi oleh kepala daerah (eksekutif), karena fungsi utama DPRD di daerah ialah fungsi legislasi.

Potret lemahnya fungsi legislasi DPRD ini akan sangat mudah ditemukan di berbagai daerah seperti halnya di Kota Malang, yang telah menyepakati sebanyak 44 Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Tahun 2022, yang mana 34 perda berasal dari inisiatif Pemerintah Kota (Pemkot) Malang dan 10 diantaranya merupakan inisatif DPRD. 

Selain dari segi kuntitas yang menunjukkan minimya inisiatif DPRD dalam mengusung perda, kualitas dan substansi perda yang dihasilkan bersama kepala daerah pun seringkali banyak menuai permasalahan. kurangnya sosialisasi Ranperda oleh DPRD dan Pemda yang berdampak pada ketidaktahuan masyarakat, tidak jarang membawa berbagai macam penderitaan dan kesengsaraan masyarakat dari peraturan daerah yang hasilkan.

Padahal jika ditinjau berdasarkan tujuan fungsi legislasi sebagaimana yang telah dijabarkan sebelumnya, tentulah perda yang dihasilkan harus selaras dengan seluruh aspirasi rakyat yang ada dalam rumpun rumah tangganya dan tidak terfokus pada kepentingan serta kebutuhan segelintir golongan. Penegasan akan buruknya pelaksanaan dan proses legislasi oleh DPRD dan Eksekutif di daerah juga dapat dilihat dari banyaknya perda-perda diskala Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang dihasilkan bertentangan dengan UU di atasnya (Lex Superior) maupun cacat secara formil dalam proses pembentukannya. 

Kedua, Dalam aspek Anggaran, kinerja DPRD dibanyak Provinsi maupun Kabupaten/Kota juga masih terbilang lemah. Dasar pendapat penulis berangkat dari banyaknya alokasi anggaran yang tebang pilih, dalam artian sering terjadi permasalahan dalam penyesuaian antara besaran anggaran yang dialokasikan dan substansi program yang di usung akibat adanya kongkalikong dan monopolisasi kepentingan yang dilakukan bersama eksekutif. Dampaknya, banyak sektor-sektor pelayanan publik dasar yang membutuhkan alokasi anggaran lebih yang tidak dapat diakomodir.

Salah satu contoh kasus yang menjadi penguat argumentasi ini dapat dibuktikan dengan hasil evaluasi Komisi X DPR RI di Tahun 2020 yang menunjukkan mayoritas kabupaten/kota di Indonesia belum mampu mengalokasikan minimal 20% Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)-nya untuk anggaran fungsi pendidikan sebagaimana yang diamanahkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013/PUU-VI/2008.  Rata-rata daerah hanya mengalokasikan 8-9 persen APBD-nya untuk fungsi tersebut.

Ketiga, lemahnya optimalisasi fingsi DPRD juga datang dari aspek pengawasan, khususnya dalam aspek kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan APBD oleh kepala daerah (eksekutif). DPRD yang seharusnya mampu mengawal seluruh kebijakan kepala daerah agar tetap sesuai dengan koridor yang telah ditetapkan dalam APBD, malah dimanfaatkan untuk meraup banyak keuntungan dengan membangun relasi perampas uang rakyat bersama eksekutif. Prosesi pengawasan pun dilaksanakan dengan turun lapangan saja, aspirasi masyarakat dibungkam dan tidak ada tindak lanjut yang dilakukan jika terjadi penyelewengan yang dilakukan oleh eksekutif.

Potret buruknya fungsi pengawasan DPRD di berbagai daerah di Indonesia baik di skala provinsi maupun Kab/Kota dapat dibuktikan dengan maraknya kebijakan anggaran yang di distribusikan kepala daerah tidak selaras dengan besaran alokasi yang tertuang dalam APBD (lemah penyerapan). Akibatnya, banyak program-program penunjang kesejahteraan masyarakat yang di usung tidak terlaksanakan dengan baik seperti apa yang diharapkan. Selain itu, lemahnya pengawasan DPRD juga dapat dibuktikan dengan maraknya kasus korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah. Meminjam laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak tahun 2015 hingga 2021 total kepala daerah yang tersandung kasus korupsi mencapai angka 429.

Sebagai penegasan, buruknya keberadaan dan kinerja DPRD di daerah saat ini juga dapat diperjelas dengan maraknya praktek korupsi yang dipelopori oleh DPRD. Berdalih hadir untuk kepentingan rakyat, untuk kesejahteraan rakyat, namun pada pelaksanaan fungsinya, yang dihadirkan ialah penderitaan dan kesengsaraan dengan membangun relasi kekuasaan bersama eksekutif untuk mengeruk keuntungan dari uang rakyat yang dititipkan. Sebagai pembenaran, maraknya praktek korupsi dikalangan dewan daerah tertuang dalam laporan KPK ditahun 2020 yang menempatkan DPRD sebagai salah satu instansi penyumbang tersangka tindak pidana korupsi yang mencapai angka 184 tersangka.

Dengan ini, sebagai penutup penulis berkesimpulan bahwa hingga hari ini tidak ada legitimasi yang dapat membenarkan bahwa pelaksanaan fungsi DPRD didaerah sudah berjalan dengan baik sesuai dengan amanat rakyat yang dituangkan dalam kebijakan desentralisasi.

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Fajrianto Rahardjo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler