x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 26 Januari 2022 17:38 WIB

Darurat Partisipasi Masyarakat

Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tampaknya sedang dalam keadaan darurat. Dalam jagat perpolitikan kita saat ini, hak politik rakyat hanya terlihat pada saat pemungutan suara dalam pemilihan umum. Begitu pemilu usai, suara rakyat perlahan mulai tidak diperhatikan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Hak politik rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tampaknya sedang dalam keadaan darurat. Dalam jagat perpolitikan kita saat ini, hak politik rakyat hanya terlihat pada saat pemungutan suara dalam pemilihan umum: pemilihan presiden, anggota legislatif, kepala daerah. Mereka semua calon-calon yang sudah disortir terlebih dulu oleh partai politik dan elitenya.

Begitu presiden, anggota DPR dan DPD, gubernur, walikota maupun bupati, serta anggota DPRD terpilih, mulailah mereka sibuk sendiri dan jarang mendatangi rakyat untuk mengetahui langsung kondisi hidup rakyat. Mereka mulai sibuk rapat sendiri dan tidak lagi memperhatikan keinginan, pikiran, maupun harapan rakyat. Bahkan, mereka mulai lupa pada janji-janji sendiri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam berbagai pengambilan keputusan penting dan strategis yang memengaruhi kehidupan rakyat banyak, presiden dan jajaran pemerintahannya hanya sibuk berbicara dengan elite politik beserta kepanjangan tangannya di parlemen. Anggota parlemen lebih terlihat sebagai penyambung lidah elite partai ketimbang sebagai pelantang aspirasi rakyat. Suara rakyat dalam pemilihan umum dianggap sebagai cek kosong yang isinya mereka tentukan sendiri.

Apakah karena kita memiliki lembaga perwakilan bernama DPR dan DPD, apakah hak berpendapat rakyat tidak perlu diperhatikan oleh anggota parlemen itu? Apakah karena kita sudah memiliki presiden, gubernur, bupati, dan walikota, yang dipilih oleh rakyat, lantas hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan isu-isu penting, strategis, serta memengaruhi hidup rakyat banyak boleh diabaikan?

Sudah banyak contoh diperlihatkan, di antaranya dalam penyusunan undang-undang. Keinginan rakyat untuk berpartisipasi dalam penyusunan aturan hukum yang berdampak pada nasib dan kehidupan mereka menghadapi rintangan dari cara pemerintah dan parlemen menyusun undang-undang. Bagai tidak ada hari esok, pemerintah dan parlemen superngebut menyelesaikan berbagai undang-undang, sebutlah revisi UU KPK, omnibus law UU Cipta Kerja, UU Minerba, revisi UU MK, hingga yang terbaru UU Ibukota Negara Baru.

Sebelum RUU dibuat, rakyat tidak pernah ditanya apakah setuju ibukota dipindahkan atau tidak; bila setuju, mau dipindahkan kemana dan kapan, dst. Tahu-tahu saja rakyat diberitahu ibukota negara akan pindah ke wilayah Penajam Paser Utara, desainnya sudah ada, dengan anggaran sekian ratus trilyun—namun hingga kini belum pasti dari mana sumber anggaran itu. Ketika rencana investasi asing belum jelas kepastiannya, dana Pemulihan Ekonomi Nasional mau dipakai, tapi kemudian dinyatakan tidak jadi. Lalu?

Atas semua kesibukan demi mewujudkan rencana besar itu, mayoritas rakyat hanya berlaku sebagai penonton belaka. Dalam penyusunan undang-undangnya pun demikian, juga dalam sejumlah undang-undang lain yang dikerjakan super-ekspres. Masyarakat sulit mengikuti perkembangan karena perubahan-perubahan pada pasal dan ayat maupun lainnya berlangsung begitu cepat. Rakyat sulit mengakses perubahan-perubahan ini, karena sidang-sidang yang cenderung tertutup serta publikasi materi yang sangat terbatas. Media massa juga tidak cukup memperoleh informasi untuk dipublikasikan.

Hak rakyat atas informasi mengenai materi undang-undang serta perubahannya dari waktu ke waktu tidak terpenuhi. Hak rakyat untuk memberi tanggapan atas proses dan substansi undang-undang juga tidak dipenuhi. Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam penyusunan juga diabaikan karena pemerintah dan DPR mengejar waktu pengesahan yang sudah ditargetkan.

Bila pemerintah dan DPR enggan menampung aspirasi rakyat karena barangkali menganggap perdebatan di ruang publik mengenai substansi dan proses penyusunan undang-undang serta keputusan strategis lain akan membuang-buang waktu, bukankah sikap dan tindakan ini merupakan   bentuk pengingkaran terhadap amanah rakyat? Bila kemudian pemerintah dan DPR sibuk menyelesaikan agenda mereka sendiri dengan mengabaikan pendapat rakyat, masih dapatkah semua ini disebut sebagai demokrasi?

Dalam berbagai pengambilan keputusan penting dan strategis yang memengaruhi kehidupan masyarakat banyak, rakyat tidak dilibatkan dan tidak diajak serta untuk membahasnya. Pemerintah dan DPR tidak pernah bertanya, tidak mengajak berbicara kecuali kepada sedikit orang yang sepikiran dengan mereka, dengan tingkat keterbukaan informasi yang rendah.

Elite politik tidak memiliki kepekaan terhadap persoalan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan penting dan strategis. Mereka merasa lebih tahu serta paling tahu mengenai apa yang dibutuhkan negeri ini. Kita tengah berada dalam keadaan darurat partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan penting bagi masa depan bangsa ini. >>  

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler