x

Iklan

Dhien Favian

Mahasiswa Sosial-Politik
Bergabung Sejak: 19 November 2021

Kamis, 27 Januari 2022 08:04 WIB

Preseden Buruk Kebebasan Sipil dari Pemanggilan Paksa Haris-Fatia

Pemanggilan paksa kedua aktivis HAM, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, oleh polisi menjadi preseden buruk bagi kebebasan sipil di Indonesia. Kalangan aktivis menilai penjemputan paksa itu melanggar komitmen pemerintah untuk melindungi kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagaimana termaktub dalam UUD. Hal itu juga menunjukkan pergerakan organisasi sipil dalam mengawasi kinerja pemerintah mengalami represivitas kuat dari aparat negara.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemanggilan paksa kedua aktivis HAM yaitu Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti oleh anggota Polda Metro Jaya kembali menjadi preseden buruk bagi kebebasan sipil di Indonesia. Ini sekaligus mengewanjatahkan arus balik otoritarianisme di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo periode ke-2.

Kedua aktivis yang menempati jabatan masing-masing selaku Direktur Lokataru Foundation dan Koordinator Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) didatangi kepolisian pada 18 Januari 2022 pukul 07.45 WIB di masing-masing kediamannya. Hal itu terjadi sebagai buntut dari laporan kasus pencemaran nama baik oleh Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Padjaitan yang belum menemukan titik temu sampai saat ini. Penjemputan tersebut dilakukan untuk meminta keterangan kepada kedua aktivis yang berstatus sebagai saksi.

Keduanya menolak dijemput paksa Polda Metro Jaya untuk dimintai keterangan, dan mereka bersepakat mendatangi kantor Polda Metro Jaya secara mandiri pada pukul 11.00 WIB, khususnya dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus. Setelah pemeriksaan yang berlangsung selama kurang lebih 6 jam dengan dicecar 37 pertanyaan, Haris dan Fatia meninggalkan Polda Metro Jaya pada pukul 17.55 WIB.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pemeriksaan tersebut mendapatkan sorotan media dan publik nasional. Pemaparan kronologi mengenai penjemputan paksa yang dilakukan kepada Haris dan Fatia telah menyebar luas pada jagat pemberitaan nasional. Kejadian tersebut menuai respons dan kritik dari berbagai kalangan, termasuk aktivis.

Salah satu responsnya adalaj dari Ketua Relawan Jokowi Mania Immanuel Ebenezer, dimana ia menyatakan penjemputan paksa Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti telah memperburuk citra demokrasi di Indonesia. Penangkapan aktivis tersebut dinulai telah melanggar komitmen pemerintah dalam melindungi kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagaimana termaktub dalam UUD Pasal 28. Penangkapan tersebut juga menunjukkan pergerakan organisasi sipil dalam mengawasi kinerja pemerintah kini mengalami represivitas yang kuat dari aparat negara.

Selain relawan Jokowi Mania, Wakil Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra mengkritik keras penjemputan paksa tersebut sebagai intimidasi terhadap pergerakan aktivis di Indonesia. Tindakan polisi dinilai mencoreng nama baik institusi yang sejatinya didirikan untuk melindungi masyarakat.

Respon negatif dari beberapa pihak tersebut menunjukkan bahwa sekali lagi polisi telah melakukan manuver yang merugikan pendewasaan masyarakat sipil di Indonesia. Berkaca dari pihak kepolisian sebagai aparatur di bawah naungan negara maka penjemputan kepada aktivis tersebut sekali lagi menunjukkan bahwa tesis Althusser mengenai “ideological state apparatus” kembali menemukan relevansinya dalam konteks sosial-politik Indonesia, terutama di era Jokowi periode ke-2.

Sebagaimana pernyataan Althusser mengenai tesis tersebut, aparat keamanan ditempatkan sebagai kelompok sipil yang berada dibawah naungan negara dan sebagaimana negara yang merupakan kelas penguasa di masyarakat maka aparat tersebut dapat dengan mudah dimobilisasi oleh negara untuk mengamankan kepentingannya, baik dalam politik, hukum, dan lain sebagainya.

Mobilisasi aparat oleh negara sebagian besar ditujukan untuk menjangkarkan dominasi ideologinya kepada masyarakat yang mana mobilisasi tersebut dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk, seperti sosialisasi nilai hingga penekanan terhadap oposisi, dan mobilisasi aparat negara disatu sisi kerap menjadi “batu sandungan” dari pembangunan demokrasi di seluruh negara. Seiring dengan corak pemerintahan Jokowi periode ke-2 yang berorientasikan pada rezim developmentalisme, maka corak mobilisasi aparat keamanan di Indonesia saat ini tertuju pada upaya pemeliharaan ideologi pembangunan sekaligus mengamankan posisi pemerintah dari gangguan keamanan sepanjang proses tersebut.

Berkaca dari pembangunan ekonomi yang memerlukan stabilitas politik dan keamanan, maka penggunaan aparat keamanan oleh negara menjadi dua sisi mata uang, dimana pada satu sisi penggunaan aparat mampu menjamin terjaganya pertumbuhan ekonomi namun di sisi yang lain mobilisasi ini menjadi sinyal negatif bagi pembangunan demokrasi, terutama pada penekanan terhadap kebebasan sipil yang sudah berlangsung secara brutal sejak tahun 2019 lalu.

Kasus penjemputan paksa Haris Azhar dan Fatia dapat ditelusuri balik melalui kasus pelaporan Luhut kepada kedua aktivis tersebut pada tahun 2021 lalu, yang mana diskusi kedua aktivis di kanal YouTube bertajuk Ada Lord Luhut dibalik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya telah membuka tabir kepada publik mengenai keterlibatan elite pemerintah termasuk Luhut dalam bisnis pertambangan emas di Intan Jaya Papua dan sekaligus membuktikan relasi antara keterlibatan elite dalam bisnis tambang dengan pegelaran pasukan keamanan di Papua yang berdampak pada pelanggaran HAM di wilayah tersebut.

Namun alih-alih mendapatkan klarifikasi yang jelas dari elite pemerintah yang terlibat dalam bisnis tersebut, Luhut justru menanggapinya secara frontal yang disatu sisi mencerminkan siakpnya yang koersif terhadap kebebasan sipil. Pemberian tuduhan pencemaran nama baik sekaligus menjatuhkan somasi kepada Haris-Fatia kembali menjadi preseden buruk terhadap demokrasi di Indonesia, yang mana tindakan Luhut dalam menekan kedua aktivis ini termasuk penyalahgunaan kekuasaan untuk membungkam pihak yang kritis dengan dalih pencemaran nama baik dan fenomena ini seolah menjadi justifikasi terhadap laporan The Economist dan Freedom House terkait penurunan indeks kebebasan sipil di Indonesia.

Selain itu, pejabat publik seperti Luhut sejatinya ditempatkan sebagai aktor yang harus menjalankan tugasnya secara transparan dan akuntabel dan setiap tugasnya tentu harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai bentuk pelaksanaan terhadap demokrasi. Oleh karenanya, kehadiran masyarakat sipil tentu menjadi jantung masyarakat dalam mengawasi kinerja pemerintah – termasuk pejabat secara partikular – dan keberadaan mereka dijamin dalam ICCPR sebagai representasi hak-hak sosial dan politik masyarakat untuk mewujudkan pembangunan demokrasi dan good governance secara substansial.

Namun demikian, kebebasan sipil di Indonesia kembali mengalami penurunan yang drastis pada era Jokowi yang mana Wibowo (2020) turut menyebutkan karakter rezim saat ini cenderung mengabaikan penghormatan atas demokrasi dan hak sipil-politik, yang mana fenomena kriminalisasi terhadap demonstrasi dan aktivis kembali mencuat pasca Pilpres 2019 dan fenomena tersebut berjalan seiring dengan pengesahan kebijakan pemerintah yang kontroversial dan tidak partisipatif, seperti pengesahan UU Cipta Kerja dan UU Minerba yang merugikan masyarakat adat dan kaum buruh secara keseluruhan.

Kriminalisasi terhadap perbedaan politik oleh LSM maupun aktivis dapat dipahami sebagai upaya pemerintah dalam menjamin sirkulasi kapital kedalam kantong para elite di pemerintah – baik di kabinet maupun di parlemen – dan sebagaimana pernyataan Muhtadi (2019) tentang sistem politik Indonesia yang berorientasikan pada money-driven political system seperti klientelisme, perburuan rente, dan lain sebagainya, tak ayal jika penguasaan aparat keamanan oleh elite kerap digunakan secara sporadis untuk mengamankan kepentingan politik-bisnis mereka di berbagai sektor.

Hingga saat ini, Kepolisian Republik Indonesia tercatat sebagai institusi publik yang paling sering melakukan kriminalisasi terhadap pihak sipil dan penjemputan paksa Haris-Fatia kembali menjadi fenomena berulang dari kriminalisasi sebelumnya, yang sejatinya justru menurunkan kredibilitas kepolisian sebagai “aparat keamanan rakyat”. Selain menurunkan kredibilitas lembaganya di hadapan publik, tindakan kepolisian tentu menjadi rapor merah bagi perlindungan kebebasan sipil di Indonesia dimana kebebasan untuk berekspresi sebagaimana yang sudah dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 hingga peraturan turunannya tetap menghadapi dilema dalam implementasinya sebagai akibat dari melemahnya konsolidasi demokrasi di level pemerintahan pusat hingga daerah – berkaca dari maraknya klientelisme dan politik oligarki didalamnya – dan pelibatan aparat dalam kriminalisasi kebebasan sipil kerap disangkut pautan dengan upaya mempertahankan kekuasaan para elite politik dari kritik masyarakat.

Selain itu, dengan kriminalisasi yang semakin tajam terhadap aktivis pro-demokrasi dan masyarakat sipil oleh kepolisian pada umumnya, maka pembangunan demokrasi Indonesia masih “jauh panggang dari api” dan sekaligus dihadapkan pada tantangan besar untuk mempertahankan amanat Reformasi, terutama dari segi kebebasan sipil-politik, yang mana tujuan akhirnya ialah untuk membentuk demokrasi Indonesia yang berkelanjutan sekaligus mencapai tata kelola pemerintahan yang demokratis, partisipatif, transparan dan akuntabel.

Oleh karenanya, masyarakat sipil perlu bekerja lebih ekstra dan bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan dalam menjalankan tugasnya sebagai pengawal demokrasi dan pesan khusus juga harus disampaikan sebagai pemerintah sebagai otoritas politik untuk sekali lagi meneguhkan prinsip “siap kritik, transparan, akuntabel, dan demokratis” dalam setiap pengambilan keputusannya, supaya masyarakat dan pemerintah sama-sama mampu mewujudkan Indonesia yang demokratis sesuai amanat UUD 1945.

Ikuti tulisan menarik Dhien Favian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB