x

Iklan

Syarifudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Sabtu, 12 Februari 2022 08:22 WIB

Saat Marak Kekerasan di Sekolah, Jadikan Taman Bacaan Basis Pendidikan Karakter

Maraknya kekerasan di sekolah, saatnya pemerintah jadikan taman bacaan sebagai basis pendidikan karakter anak. Pendidikan partisipatif yang konkret

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kemarin di Surabaya, ada guru memukul siswa di kelas. Sebelumnya, ada siswa yang memukul guru karena ditegur main gawai di kelas. Itu bukti pendidikan sudah kehilangan karakter. Pendidikan yang kian jauh dari adab dan akhlak. Karena selama ini, pendidikan terlalu bertumpu pada logika, pada otak manusia.

 

Sangat salah bila pendidikan dipersepsi untuk membentuk siswa jadi pintar. Pendidikan, hampir lupa bahwa belajar bukan untuk meraih nilai yang tinggi. Bukan pula agar mampu menjawab pertanyaan yang sulit. Tapi pendidikan atau belajar adalah untuk “mempertahankan semangat berprestasi, semangat kebaikan pada setiap orang” agar mampu bertahan hidup dalam beragam tantangan. Karena itu, karakter menjadi kata kunci dalam pendidikan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Maka sangat salah, bila belajar atau sekolah targetnya jadi pintar. Apalagi ditambah embel-embel menyerahkan tanggung jawab rumah kepada sekolah. Di zaman begini, orang pintar itu sudah banyak. Tapi orang-orang berkarakter itulah yang makin langka. Jadi pendidikan harusnya untuk membangun karakter siswa, sekaligus guru. Belajar itu pijakannya adalah “kebaikan dan kelembutan”. Itu berarti, tidak boleh terjadi di sekolah apa yang disebut “kekerasan, kemarahan atau kebencian”. Belajar harus terbebas dari akhlak dan perilaku buruk.

 

Sayangnya, zaman makin maju makin canggih. Justru pendidikan karakter makin diabaikan. Sekolah hanya mengejar kurikulum dan target pembelajaran. Sementara karakter siswa kian diabaikan. Anehnya, negara dan dunia pendidikan terlalu percaya pada pendidikan formal. Ruang kelas dianggap segalanya. Padahal di masa pandemi Covid-19 begini, sekolah sendiri kebingungan mengurus dirinya sendiri. Sementara ruang belajar di masyarakat, seperti taman bacaan sudah terlalu lama dibiarkan tidak berkembang. Pendidikan nonformal dianggap “marjinal”. Sehingga tidak diurus dengan serius. Negara lupa, bahwa pendidikan yang partisipatif itu ada di pendidikan nonformal.

 

Sebagai contoh saja, apa yang dilakukan di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak. Sekalipun bersifat nonformal, setelah berjalan 5 tahun ini, kini TBM Lentera Pustaka mampu menjalankan 12 program literasi, seperti: 1) TAman BAcaan (TABA) dengan 130 anak usia sekolah dari 3 desa (Sukaluyu, Tamansari, Sukajaya) yang terbiasa membaca 3-8 buku per minggu per anak, 2) GEBERBURA (GErakan BERantas BUta aksaRA) dengan 9 warga belajar, 3) KEPRA (Kelas PRAsekolah) dengan 26 anak, 4) YABI (YAtim BInaan) dengan 14 anak yatim yang disantuni dan 4 diantaranya dibeasiswai, 5) JOMBI (JOMpo BInaan) dengan 8 jompo usia lanjut, 6) TBM Ramah Difabel dengan 3 anak difabel, 7) KOPERASI LENTERA dengan 33 ibu-ibu anggota, 8) DonBuk (Donasi Buku), 9) RABU (RAjin menaBUng), 10) LITDIG (LITerasi DIGital), 11) LITFIN (LITerasi FINansial), dan 12) LIDAB (LIterasi ADAb). Tidak kurang dari 250 orang menjadi penerima layanan literasi TBM Lentera Pustaka setiap minggunya.

 

Berbekal model “TBM Edutainment”, TBM Lentera Pustaka pun mengembangkan kegiatan literasi berbasis edukasi dan entertainment. Sebuah cara untuk menjadikan taman bacaan sebagai sentra pemberdayaan masyarakat yang menyenangkan, bukan hanya tempat membaca buku semata. Bersamaan dengan itu, berbagi program literasi yang dijalankan pun menekankan pada pembentukan karakter anak-anak. Mulai dari memberi salam, cium tangan, antre, nilai kearifan local dan membaca bersuara. Ada pula salam literasi, doa literasi, dan senam literasi. Taman bacaan yang mengembalikan peran karakter dalam pendidikan.

 

Maraknya kekerasan di sekolah, sudah sepatutnya dunia Pendidikan “kembali ke khitah” untuk memprioritaskan pendidikan karakter. Proses belajar yang mengharamkan: 1) adanya perilaku kekerasan dalam belajar, apapun bentuknya dan dari siapapun, 2) tumbuhnya paham radikalisme dan intoleransi sekecil apapun, dan 3) pelanggaran terhadap etika dan sopan santun dalam praktik kehidupan sehari-hari. Karena itu, sangat penting untuk pendidikan hari ini. Tidak boleh ada sama sekali pengaruh politik terhadap dunia pendidikan. Tidak boleh ada “permainan kotor” politik masuk ke sekolah atau kampus.

 

Maka ke depan, pendidikan harusnya fokus pada pendidikan karakter. Membangun adab dan akhlak semua insan pendidikan. Bukan hanya guru dan siswa, tapi orang tua dan masyarakat. Pendidikan sebagai inkubator kebaikan, kebajikan dan kematangan moral. Untuk lebih berkepribadian dan berwatak dalam kehidupan. Pendidikan yang memberdayakan akhlak baik dalam kegiatan belajar. Bukan kekerasan atau caci maki atas kebencian atau ketidak-senangan.

 

Sungguh, pendidikan bukan proses membagikan kepusingan, apalagi menjelaskan kerumitan. Tapi Pendidikan adalah cara sederhana menebar kemudahan yang ber-akhlak. Maka kembalikan belajar ke pendidikan karakter. Agar tidak ada lagi guru atau siswa yang melakukan kekerasan.

 

Terkadang, kasihan dunia pendidikan di negeri ini. Sudah terlalu banyak diskusi dan seminar tentang teori-teori untuk memajukan pendidikan. Tapi di saat yang sama, mereka sendiri yang mengabaikan arti penting pendidikan karakter. Salam literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka

 

Ikuti tulisan menarik Syarifudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu