x

Ilustrasi Kepemimpinan. Pixabay.com

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 14 Februari 2022 06:32 WIB

Lunturnya Kearifan dari Kepemimpinan

Pemimpin yang adil lagi bijaksana akan berpegang pada adagium: menguatkan yang lemah dan melemahkan yang kuat, agar yang lemah tidak terus-menerus menderita dan yang kuat tidak semakin semena-mena.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Saat mengurus diri sendiri, gunakan kepalamu
Saat mengurus orang lain, gunakan hatimu
--Eleanor Roosevelt

 

Eleanor Roosevelt pernah berujar: “Saat menangani diri sendiri, gunakan kepalamu; saat menangani orang lain, gunakan hatimu.” Ucapan Eleanor itu mungkin bermula dari pengalamannya mendampingi suaminya, Franklin D. Roosevelt, yang menjabat presiden AS selama kurun yang panjang dan sukar, 1932-1945. Sebagai ibu negara AS, Eleanor sangat mungkin memetik hikmah perihal kepemimpinan dan kekuasaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hatilah yang membuat seorang pemimpin mampu bersikap bijak dan arif dalam mengurus rakyatnya. Bila pemimpin lebih banyak mengandalkan kalkulasi politik dan relasi kekuasaan, ia akan bertumpu pada otaknya, dan ia akan kehilangan sentuhan nuraninya tatkala mengurus rakyat. Ia akan memandang rakyat sebagai orang-orang yang seharusnya mengikuti apa saja yang jadi kemauannya.

Banyak orang jadi pemimpin karena jabatan, tapi tidak cukup memiliki kesadaran tentang bagaimana menempatkan diri di tengah rakyatnya. Pangkalnya sederhana saja, karena ia bukanlah pemimpin otentik; ia bukan pemimpin yang tanpa jabatan pun, ia tetap seorang pemimpin karena karakter yang melekat pada dirinya.

Kepemimpinan bukanlah perihal kekuasaan semata, termasuk wewenang untuk mengatur kehidupan orang-orang yang dipimpin. Juga bukan sekedar menegakkan aturan, membuat diskresi untuk urusan tertentu yang bahkan dilakukan menurut ukuran sendiri, melarang ini dan itu atas dasar pertimbangan subjektif.

Watak kearifan dan kebijaksaan inilah yang menjaga agar kekuasaan dan wewenang tidak dijalankan semena-mena, terutama dan khususnya kepada rakyat kecil. Kearifanlah yang membuat pemimpin mampu bersikap adil, berani menguatkan yang lemah dan melemahkan yang kuat demi keadilan.

Terlalu sering, pemimpin—dalam kategori sebagai penguasa—malah menguatkan yang sudah kuat dan tidak mengangkat yang lemah. Ia gagal menjadikan kekuasaan di tangannya sebagai alat untuk mewujudkan kebijaksanaannya dalam praktik. Boleh jadi karena ia tidak mengerti perannya sebagai pemimpin dan ia bertindak lebih sebagai manajer, yang menargetkan tercapainya sasaran apapun caranya.

Kearifan itu melekat pada watak yang menempatkan integritas sebagai nilai tertinggi—jujur, tidak ingkar janji, perkataannya dapat dipegang, dan adil. Jujur, amanah, dan adil adalah karakter yang paling dituntut dari seorang pemimpin; sebab semua karakter ini yang akan merintanginya dari menggunakan kekuasaan sesuka hati. Karakter inilah yang membuat ia mampu menimbang apa yang baik bagi rakyat dan mana yang tidak. Karakter inilah yang membuatnya mampu mengukur apakah tindakannya hanya menguntungkan diri dan keluarganya atau tidak.

Pemimpin yang adil lagi bijaksana akan berpegang pada adagium: menguatkan yang lemah dan melemahkan yang kuat, agar yang lemah tidak terus-menerus menderita dan yang kuat tidak semakin semena-mena. Peristiwa Wadas, sebagai contoh, memperlihatkan bagaimana pemimpin secara kategoris karena jabatan berpikir secara kalkulatif serta tidak memberi tempat yang layak bagi hati nuraninya sendiri untuk berbicara tentang apa yang sebaiknya dilakukan bersama rakyat. Pemimpin yang arif memahami benar bahwa kebenaran itu bisa saja terdapat pada kata-kata, sikap, maupun tindakan rakyat yang tidak setuju atas keputusannya. Bila ia menggunakan hati nuraninya untuk mendengar suara rakyat, ia akan mampu bertindak benar.

Contoh lain, ketika harga minyak goreng melambung, pemimpin yang arif akan mengerti benar bahwa tidaklah cukup hanya memaksa pengusaha untuk memasok sejumlah minimal ke pasar atau menetapkan harga eceran tertinggi, sebab keputusan ini tidak ubahnya memberi paracetamol agar suhu tubuh turun. Gejala demamnya yang ditangani, tapi sumber penyakitnya tak disentuh. Tanpa kearifan, pemimpin—secara kategoris karena jabatan—tidak akan mampu menyelesaikan akar persoalan, melainkan hanya meringankan gejala sakitnya. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler