x

Ilustrasi Cendekiawan. Ilustrasi dari Convegni Ancisa, Pixabay

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 15 Februari 2022 08:18 WIB

Tragedi Cendekiawan Abdi Kekuasaan

Saat ini cendekiawan kita berada di titik nadir dalam keberpihakannya kepada kebenaran, kejujuran, keadilan, serta kemanusiaan. Banyak cendekiawan dan akademisi memilih untuk jadi bagian dari lingkaran kekuasaan. Minimal, mereka banyak yang jadi sekedar pemberi legtimasi melalui argumentasi yang seolah-olah akademis. Tak pelka, tanggung jawab cendekiawan independen semakin besar dan berat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Saat ini, secara umum, cendekiawan kita sedang berada di titik nadir dalam keberpihakannya kepada kebenaran, kejujuran, keadilan, serta kemanusiaan. Banyak peristiwa penting di tanah air yang menuntut keberpihakan kaum cendekiawan manakala tidak ada kekuatan yang mampu bersikap kritis terhadap kekuasaan—kritis dalam pengertian mengingatkan untuk kebaikan.

Cendekiawan, termasuk akademisi di dalamnya, memiliki tanggung jawab moral atas perkembangan masyarakat. Cendekiawan tidak bisa tinggal diam dan membiarkan masyarakat berjalan tanpa arah yang jelas karena pemimpinnya tidak cukup memiliki visi dan lebih kerap bertindak instan. Kecerdasan yang diberikan kepada cendekiawan bukanlah tanpa tanggung jawab.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di saat Parlemen telah terkooptasi sehingga menjadi penyambung lidah yang fasih bagi elite kekuasaan, maka cendekiawan harus mengambil peran yang lebih konkret dalam masyarakat. Tidak lagi cukup bagi cendekiawan untuk berbicara di awang-awang bagai elang yang terbang sembari menatap bumi di bawahnya.

Dalam sejarah berbagai bangsa, juga di negeri kita sendiri, cendekiawan selalu tergerak untuk memimpin masyarakatnya, terlebih ketika masyarakatnya berjalan tanpa arah yang jelas. Ini sejenis tanggung jawab historis yang akan selalu ada, dan kaum cendekiawan tak layak menghindarinya dengan alasan apapun.

Cendekiawan, termasuk akademisi, yang belum direkrut kekuasaan semestinya mampu bersikap independen sesuai dengan nilai-nilai kecendekiaan dan nilai-nilai akademis yang selama ini mereka pegang. Di saat sebagian cendekiawan dan akademisi memilih untuk jadi bagian dari lingkaran kekuasaan atau sekedar pemberi legtimasi melalui argumentasi yang seolah-olah akademis, tanggung jawab cendekiawan independen semakin besar dan, juga, semakin berat.

Godaan kekuasaan memang besar dan memikat, sehingga sebagian cendekiawan dan akademisi terpesona dan tergoda untuk bergabung. Ini adalah ujian. Sebagian cendekiawan mungkin merasa terjebak setelah masuk ke dalam lingkaran kekuasaan, tapi tidak mampu untuk keluar dari lingkaran. Sebagian lainnya menjadi kian menyukai berada dalam lingkaran kekuasaan karena satu dan lain alasan.

Kita dapat menyaksikan betapa sebagian cendekiawan kemudian membangun argumentasi yang mengingkari nilai-nilai yang sebelumnya mereka junjung, seperti kejujuran, kebenaran, keadilan, serta kemanusiaan. Silaunya kekuasaan telah mengikis jatidiri kencendekiaan mereka, sehingga mereka sanggup melontarkan pernyataan yang sukar diterima nalar sehat.

Ketika godaan kuasa begitu memikat, cendekiawan dapat tergelincir dan melupakan nilai-nilai luhur kecendekiaan, seperti menyatakan kebenaran dan berpihak kepadanya, membela keadilan dan menegakkannya, berempati pada persoalan kemanusiaan dan memperjuangkannya.

Kekuasaan memang sanggup mengubah cendekiawan yang masuk ke dalamnya menjadi manusia berbeda—manusia yang meninggalkan nilai-nilai kecendekiaan. Pesona kekuasaan mampu membuat betah cendekiawan yang sudah berada di dalamnya. Dengan wewenang di genggaman tangan, cendekiawan merasa memiliki kekuatan untuk melakukan apa yang ia inginkan.

Ini berbeda dengan perannya sebagai cendekiawan; ia harus berusaha meyakinkan orang lain bila argumentasinya ingin diterima. Sebagai bagian dari kekuasaan, cendekiawan tidak lagi memerlukan penerimaan orang lain, sebab ia memegang wewenang koersif—memberlakukan aturan yang bersifat memaksa. Semakin lama berada dalam lingkaran kekuasaan, semakin ia menyadari bahwa kekuasaan jauh lebih efektif untuk memaksa orang mengakui dan mengikuti kemauannya dibandingkan dengan pendekatan akademis.

Namun, mereka melupakan satu hal bahwa kekuasaan itu juga penuntut. Kekuasaan akan meminta cendekiawan menunjukkan kesetiaannya—mula-mula dengan cara yang mudah, hingga kemudian sampai pada pengingkaran cendekiawan terhadap nilai-nilai yang pernah ia yakini: kebenaran, kejujuran, keadilan, dan kemanusiaan. Hingga tiba waktunya cendekiawan diminta memilih antara kebenaran kemanusiaan atau kebenaran menurut kekuasaan.

Di persimpangan jalan itulah mereka harus memilih dan pilihan itu akan menentukan apakah ia masih layak menyebut diri atau disebut cendekiawan, atau sesungguhnya ia telah menjadi abdi kekuasaan karena telah menanggalkan nilai-nilai kecendekiaannya. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu