x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 23 Februari 2022 12:27 WIB

Partai Bagi-bagi Cokelat dan Sembako, Political Gimmick?

Aksi para politisi membagi-bagikan sesuatu kepada masyarakat bukan hal baru. Beberapa waktu lalu Partai Gerindra bag0bagi coklat. PDI-P menggencarkan aksi bagi-bagi sembako bergambar Puan Maharani, dan lain-lain. Apakah ini dapat disebut politik uang? Mungkin bukan. Walaupun jika gimmick ini rutin dilakukan warga calon pemilih kelak akan kepincut. Mungkin akan lebih baik jika aksi bagi-bagi ini dilakukan dengan materi yang lebih produktif. Misalnya berbagai berbagi bibit tanaman.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Netizen ramai membicarakan kader Partai Gerindra membagikan cokelat.  Ada yang menuding aksi bagi-bagi cokelat ini sejenis politik uang. Memang banyak cara bisa dilakukan oleh partai politik untuk menarik perhatian masyarakat. Meskipun masih dapat diperdebatkan apakah bagi-bagi cokelat ini tergolong politik uang atau bukan, sebab bukan dilakukan di masa minggu tenang menjelang pemungutan suara dalam pemilu, tapi setidaknya sudah cukup mampu menjadikannya obrolan netizen.

Barangkali, aksi bagi-bagi cokelat ini dikaitkan dengan momen 14 Februari. Karena itu, boleh jadi ini sekedar political gimmick, ya agar anak muda ingat ke Gerindra. Bahwa itu nanti ada pengaruhnya di saat pemilu, ya kita belum tahu. Prabowo memang didorong-dorong oleh kader Gerindra untuk mencalonkan diri kembali sebagai capres. Apakah aksi bagi-bagi cokelat ini gimmick untuk mendekatkan Prabowo dengan pemilih muda—netizen?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aksi bagi-bagi sesuatu memang bukan hal baru. Barang yang sering dibagikan biasanya kaos dan sembako. Beberapa waktu lalu, PDI-P menggencarkan aksi bagi-bagi sembako bergambar Puan Maharani. Anggota DPR dari partai ini yang jadi kepanjangan tangan untuk membagikan sembako di daerah pemilihan masing-masing. Apakah ini dapat disebut politik uang? Jika politik uang diartikan sebagai upaya memengaruhi pemilih di hari tenang, jelas bukan. Walaupun, seandainya rutin dilakukan, boleh jadi warga calon pemilih dapat terpengaruh lantaran teringat akan ‘kebaikan hati’ politisi.

Apapun tujuannya, sekalipun ada motif politik yang bersifat jangka panjang, aksi bagi-bagi semacam selayaknya dilakukan dengan materi yang lebih produktif. Misalnya saja, berbagi bibit tanaman cabe, tomat, timun, dan lainnya, yang dapat ditanam di tempat terbatas, di rumah, dapat cepat dipanen, dibutuhkan sehari-hari, dan berkelanjutan asalkan tanamannya tidak mati.

Aksi semacam itu memang membikan sebagian masyarakat merasa senang, siapa sih yang tidak senang diberi kado cokelat atau sembako? Tapi manfaatnya hanya sebentar. Ada kado-kado lain yang lebih substantif materinya dibanding cokelat dan sembako. Misalnya, mendirikan pusat latihan kerja untuk mendidik anak-anak kampung maupun urban, dengan materi latihan disesuaikan dengan lingkungan hidup masing-masing. Memperbaiki kehidupan rakyat bukanlah dengan berbagi sembako, melainkan mendorong pembangunan ekosistem kehidupan bermasyarakat yang adil dan bermartabat agar warga mampu mencari penghidupan yang layak--baik cara maupun hasilnya.

Pilihannya: memberi ikan atau memberi kail? Diberi ikan memang enak, apa lagi kalau sudah digoreng atau dipepes dan tinggal menyantap. Tapi, begitu ikan goreng atau pepes habis, habis pula kelezatan itu, tak bisa diulang kecuali ada lagi politisi yang mau bagi-bagi. Jika yang dibagikan alat pancing dan cara jitu mengail ikan, hasilnya bakal berkesinambungan.

Politik adalah perkara menanam citra jangka panjang melalui kegiatan yang teratur, bukan mengandalkan aksi-aksi instan. Sekalipun menyolok, aksi instan akan cepat pula dilupakan dan tidak membereskan akar persoalan yang dihadapi konstituen. Sembako memang dibutuhkan rakyat, tapi menyediakan sembako secara berkelanjutan dan mandiri akan jauh lebih bermanfaat. Rakyat mesti didorong agar mampu mandiri, bukan malah disuapi dengan hidangan instan yang lekas habis.

Tak cukup politisi hanya menyuapi warga konstituen atau calon pemilih dengan gimmick, sebab kesannya memang dermawan atau penolong, tapi sebenarnya malah menciptakan ketergantungan pada pihak luar. Sungguh tidak elok bila para politisi kemudian memanfaatkan situasi psikologis sebagian warga yang senang diberi bantuan instan. Cara-cara kreatif untuk mengajak masyarakat bangun dan mandiri memang memerlukan kerja keras dan cerdas. Dan memang itulah sejatinya tujuan asali berpolitik, bukan memanjakan warga masyarakat agar mengenang kebaikan politisi lalu memberikan pilihannya di hari pemungutan suara. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler