x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 17 Februari 2022 07:22 WIB

Darurat Etika Politik di DPR?

Ada persoalan serius dalam etika politik para anggota dan pimpinan DPR dalam menjalankan fungsi dan peran yang seharusnya sebagai wakil rakyat. Ini bukan perkara ketidaktahuan anggota DPR, melainkan soal pilihan keberpihakan, soal pengingkaran terhadap amanah rakyat, dan soal fatsun atau etika politik yang diremehkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Penyusunan undang-undang di parlemen bukanlah sekedar persoalan prosedur, teknis—seperti kuorum kehadiran anggota ataupun salah ketik atau typo, bukan pula hanya substansi materi maupun partisipasi masyarakat. Ada yang lebih fundamental di bawah semua itu yang menjadikan substansi, prosedur, partisipasi, maupun hal-hal teknis jadi persoalan krusial. Hal yang lebih mendasar ini ialah perkara moralitas dan etika politik.

Dari sudut parlemen—sebab masih ada sudut lain dari pemerintah, moralitas ini terkait dengan sejumlah hal. Pertama, para politisi di DPR seakan melupakan tugas sejatinya untuk mewakili rakyat sebagai wujud dari tanggungjawab karena memperoleh amanah atau kepercayaan dari rakyat pemilih. Mereka dipilih dengan maksud dan tujuan untuk mewakili rakyat banyak dalam relasi kekuasaan dengan eksekutif atau pemerintah, yudikatif atau peradilan, maupun institusi lain. Tugas anggota parlemen bukan hanya mengurus legislasi atau penyusunan perundangan, tapi juga mengawasi jalannya pemerintahan sebagai wujud perwakilan rakyat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam relasi kekuasaan, telah diatur secara kelembagaan bahwa DPR adalah himpunan orang-orang yang mewakili rakyat. Namanya saja sudah mencerminkan hal itu: perwakilan rakyat. Sayangnya, dalam praktik dan realitasnya, penamaan ini terkesan berlebihan, karena para politisi bersikap kurang terbuka—untuk tidak menyebut cenderung tertutup—kepada rakyat yang memberi amanah. Dengan berbagai alasan, mereka kurang atau tidak transparan dalam mengungkapkan gagasan dan pikiran yang berkembang di parlemen.

Penyusunan undang-undang dikebut tanpa tersedia informasi yang memadai mengenai materi dan perubahannya agar dapat dicermati oleh masyarakat, tahu-tahu undang-undang jadi dan disetujui dalam sidang paripurna yang mirip koor yang sangat kompak. Masyarakat umum juga menangkap kesan bahwa para politisi yang duduk di DPR cenderung mewakili kepentingan elite politik dan ekonomi.

Kedua, para politisi membatasi partisipasi rakyat dalam menyusun perundangan. Kalaupun ada sebagian kelompok masyarakat yang diajak berbicara, mereka umumnya warga—termasuk akademisi—yang mengikut saja kemauan para politisi di DPR maupun pemerintah. Namun, kehadiran mereka dianggap telah mewakili masyarakat, padahal kehadiran mereka hanyalah formalitas sebagai upaya DPR memenuhi prosedur penyusunan perundangan. Laporan Koran Tempo edisi 8 Februari 2022 menyingkapkan praktik ini dalam revisi UU Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (PPP) dengan mengundang sejumlah akademisi dari kampus tertentu, dan mereka tidak terbuka terhadap masyarakat mengenai apa yang dibicarakan dan apa hasilnya.

Ketiga, para politisi kerap mengabaikan pandangan berbeda yang disampaikan oleh berbagai unsur masyarakat  yang berada di luar institusi negara, sebutlah akademisi, peneliti, cendekiawan, organisasi masyarakat, mahasiswa, pers, hingga rakyat pada umumnya. Ada kecenderungan di kalangan politisi untuk memandang suara-suara yang berbeda itu sebagai penghalang yang memperlambat kerja mereka. Politisi enggan mendengarkan pikiran alternatif yang sebenarnya berpotensi memperkaya aturan yang sedang disusun. Para politisi bersama wakil pemerintah bekerja superkilat untuk menyelesaikan undang-undang yang penting menurut sudut pandang mereka. Contoh: UU Cipta Kerja dan UU Ibukota Negara. Suara pekerja, mahasiswa, akademisi dan guru besar hanya dianggap angin lalu; sementara, aspirasi pengusaha besar ditampung seluas-luasnya.

Keempat, politisi di DPR tidak memiliki keberanian untuk berbeda pandangan dengan partai asalnya, yang umumnya didominasi oleh elite partai atau malah ketua umumnya. Politisi yang jadi anggota parlemen lebih suka bermain aman dengan mengikuti kehendak elite partai ketimbang menyampaikan pandangan rakyat banyak, sebab terdapat risiko mereka ditarik keluar dari parlemen. Penarikan dari parlemen berpotensi membuat mereka kehilangan banyak hal, selain fasilitas dan hak khusus seperti imunitas yang belum ini dipertontonkan kepada khalayak, yang lebih penting ialah akses terhadap sumber-sumber informasi penting maupun pengambilan keputusan, termasuk dalam konteks ekonomi. Bagi mereka, akses ini sangat berarti untuk menjalankan tugas partai sekaligus juga untuk kepentingan pribadi.

Kelima, semakin trendy bahwa pimpinan dan anggota DPR menjalankan praktik legislasi yang kurang layak dilakukan. Seperti diberitakan Koran Tempo, 8 Februari 2022, setelah UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi, maka UU Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (PPP) pun direvisi dengan tujuan agar UU Cipta Kerja tidak dianggap melanggar UU PPP. Bayangkan, bukan UU Cipta Kerja yang diperbaiki, melainkan UU PPP yang direvisi agar kemudian UU Cipta Kerja dinyatakan tidak menyalahi UU PPP.

Situasi tersebut tidak ubahnya permainan sepakbola. Ketika sebuah gol dicetak oleh pemain yang berada dalam posisi off-side, bukan golnya yang dianulir, melainkan aturan off-side-nya yang diubah. Aturan tersebut diubah sedemikian rupa setelah pertandingan usai, sehingga pemain tadi tidak lagi dianggap off-side menurut aturan baru yang ditetapkan oleh komisi sepakbola, dan gol tersebut dinyatakan sah. Mengapa itu terjadi? Karena komisi berkepentingan atas kemenangan tim yang golnya semula dianggap off-side.

Keenam, para politisi yang duduk di DPR terlihat seperti kehilangan kesadaran diri  (self-awareness) mengenai fungsi dan peran sejati sebagai wakil rakyat; tentang mengapa mereka duduk di Gedung Senayan nan megah itu; tentang sumpah mereka ketika dilantik menjadi anggota parlemen. Mereka beranggapan bahwa dengan hadir di rapat-rapat dan berbicara seperlunya berarti sudah menjalankan fungsi dan peran sebagai wakil rakyat. Katakanlah, hanya karena sudah memarahi wakil pemerintah hingga mengusir pejabat instansi tertentu, mereka merasa telah menjalankan fungsi pengawasan.

Padahal, mewakili rakyat berarti memperjuangkan dan berhasil memasukkan aspirasi rakyat ke dalam aturan-aturan yang mereka susun bersama pemerintah, dikarenakan mereka sadar bahwa aturan itu akan berdampak pada kehidupan rakyat banyak. Sebaliknya, para anggota Dewan malah cenderung menjadi legitimator atas apapun aturan yang diinginkan pemerintah. Ironisnya, mereka umumnya tidak menyadari hal ini atau menyadari dan dengan senang hati melakukannya karena alasan tertentu yang rakyat tidak tahu hingga sekarang.

Dengan mengacu pada lima butir isu ini, setidaknya kita dapat memperoleh gambaran bahwa ada persoalan serius dalam etika politik para anggota dan pimpinan DPR dalam menjalankan fungsi dan peran yang seharusnya sebagai wakil rakyat. Ini bukan perkara ketidaktahuan para politisi yang jadi anggota DPR, melainkan soal pilihan keberpihakan, soal pengingkaran terhadap amanah rakyat, dan soal fatsun atau etika politik yang diremehkan. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB