x

cover buku Wimpie - Beriman Dalam Badai

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 16 Februari 2022 12:07 WIB

Wimpie - Beriman Dalam Badai (Kisah Hidup Tjan Djing Gan)

Perjalanan iman seseorang tidak selalu mulus. Namun badai cobaan justru membuat iman menjadi kuat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Wimpie – Beriman Dalam Badai (Kisah Hidup Tjan Djing Gan)

Penulis: Arie Saptaji

Tahun Terbit: 2012

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit:

Tebal: 104 + Album kenangan berisi foto-foto

ISBN:

 

“Dalam kesulitan yang berat itulah kami melihat bahwa di hadapan Tuhan, kemampuan manusia itu tidak berarti.” Hanya orang-orang yang sudah mengalami penyertaan Tuhan dalam perjalanan hidupnya yang sampai kepada kesimpulan di atas. Wimpie Tjandra Wibisana aliasn Tjan Djing Gan adalah salah satunya. Ungkapan tersebut disampaikan Pdt. Anthon Karundeng S. Th, Pendeta GKI Coyudan Solo.

Perjalanan iman Wimpie memang luar biasa. Wimpie tumbuh di keluarga Tionghoa yang awalnya menolak kekristenan, tumbuh menjadi seorang percaya dan membawa seluruh keluarganya kepada Kristus. Meski sudah menjadi orang percaya, Wimpie tetap harus menghadapi berbagai badai hidup. Kemiskinan, kehilangan anak yang dicintainya dan berbagai penyakit yang dideritanya adalah badai yang menerpa kehidupannya. Namun Wimpie bisa bertahan karena iman. Sehingga ia sampai kepada kesimpulan bahwa kemampuan manusia tidak berarti di hadapan Tuhan.

Tjan Djing Gan lahir di Lasem pada tahun 1928 dari pasangan Tjan Thiam Kie dan Kwee Kiok Nio. Nama Wimpie didapatnya dari guru yang mengajarnya di Holland Chineesche School (HCS). Keluarganya bukan keluarga Kristen. Mereka menganggap bahwa Yesus adalah Tuhannya orang Belanda. Itulah sebabnya mereka menolak saat seseorang mengajaknya masuk Kristen.

Tetapi, melalui sebuah peristiwa mujizat, yaitu kesembuhan penyakit borok mamanya Wimpie melalui doa, maka Wimpie dan mamanya menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Keputusan keluarga ini tentulah tidak mulus. Sebab ada keluarga yang mengejeknya karena sekarang menjadi Kristen.

Wimpie tidaklah orang Kristen pasif. Ia terjun dalam pelayanan. Wimpie adalah seorang guru Sekolah Minggu yang piawai. Ia juga melayani di Paduan Suara dan selanjutnya menjadi Majelis GKI Coyudan 5 periode. Setelah tidak menjabat Majelis, Wimpie tetap setia melayani sampai akhir hidupnya.

Badai hidup yang dialami oleh Wimpie diawali dari kepindahan ayahnya dari Cepu ke Solo. Tergiur iming-iming untuk bekerja di Perusahaan Listrik di Solo, ayahnya meninggalkan pekerjaannya yang mapan sebagai kasir di perusahaan listrik di Cepu. Sayang sekali saat keluarga ini tiba di Solo – karena jaman malaise, ternyata pekerjaan yang diinginkan tersebut tidak tersedia. Keluarga yang tidak mempunyai pengalaman berdagang ini coba-coba mengadu nasip dengan memulai bisnis di Solo. Sayang sekali bisnisnya tidak ada yang berhasil. Maka ekonomi mereka semakin merosot. Karena ekonomi yang semakin buruk, Wimpie terpaksa harus putus sekolah saat kelas 4 HCS. Ia bekerja membantu orangtuanya untuk meringankan beban ekonomi.

Berbagai bisnis telah dicobanya. Sampai akhirnya Wimpie berhasil membangun bisnis di bidang alat olahraga dan alat musik. Namun bencana belum mau pergi darinya. Saat bisnisnya sudah mulai berkembang, Kota Solo diterjang banjir. Banjir tersebut merendam toko miliknya. Ia tidak menyerah. Ia bangkit dan memulai bisnisnya kembali dari nol. Keuletannya membuat ia berhasil membangun toko di Lapangan Pamedan Mangkunegaran. Toko tersebut adalah Toko Alat Olahraga dan Alat Musik dengan nama “KUDUS.” Wimpie menggunakan bisnisnya untuk melayani Tuhan.

Cobaan hidup belum berlalu. Pada tahun 1990, anak bungsunya yang bernama Benyamin dipanggil Tuhan melalui peristiwa tabrak lari. Kepergian anak bungsunya ini tentu membuat dia terpukul. Ia sempat tidak bersemangat lagi untuk berbisnis. Sebab sebenarnya Benyaminlah yang berminat meneruskan bisnisnya. Namun kemudian ia menyadari bahwa semua yang terjadi adalah rancangan yang baik dari Tuhan. Ia pun bangkit.

Cobaan lain yang dihadapi adalah kondisi kesehatan. Mata Wimpie terkena katarak. Ia bermasalah dengan jantung sehingga harus operasi. Ginjalnya juga bermasalah sehingga ia harus cuci darah. Namun dengan tetap mengandalkan Tuhan Wimpie berhasil mengatasi masalah kesehatannya. Wimpie menghadap Tuhan di umur 74 tahun. Ia tetap setia dalam iman sampai akhir hidupnya.

Sayang sekali buku ini tidak terbut untuk umum. Buku hanya dicetak untuk peringatan 10 tahun wafatnya Wimpie. Padahal kisah hidup Wimpie adalah sebuah teladan iman. Pasti banyak orang yang diberkati jika ikut membaca buku ini. Semoga ada niat dari keluarganya untuk menerbitkan ulang buku ini untuk konsumsi publik. 658

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler