x

Teluk Labuan Bajo. Foto: JB Kleden

Iklan

Indonesiana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 16 Februari 2022 15:02 WIB

Memandang Harlah ke-96 NU dari Puncak Waringin, Laut Punya Cerita

LAUT punya cerita. Tentu saja. Bagi ibu-ibu Dharma Wanita laut menjadi lanskap selfie, boomerang, juga tik tok. Tapi itu bukan alasan warga NU rame-rame menyambangi bumi Varanus Komodoensis. Bagi PBNU laut punya cerita tersendiri. Cerita mengenai masa depan peradaban NKRI. Karena itu ke Labuan Bajo mereka datang, untuk saling berbagi, merajut kepedulian, menyemai harapan bagi Indonesia masa depan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Catatan Lepas: JB Kleden*)

 

LABUAN BAJO, Sabtu, 05 Januari 2022 sepenggal adzan magrib. Senja belum benar-benar lenyap. Dari Puncak Waringin, teluk Labuan Bajo terlihat eksotik. Dilingkupi pulau-pulau kecil laksana perbukitan, diriasi dermaga berarsit ektur neo-vernakuler membuat kawasan sepanjang Bukit Pramuka, Kampung Air, Dermaga, Marina  dan Kampung Ujung terasa unik dan otentik. Anak-anak, remaja, orang dewasa asyik bercengkeraman dalam warna senja.  Musim hujan turut mempercantik alam dengan kehijauan yang menyegarkan. It was really beautiful.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sayapun jatuh hati. Bukan karena ia disulap begitu luar biasa untuk destinasi super premium. Ada sesuatu yang akhirnya bersuara dalam desir angin yang berhembus dari pulau membasuh jiwa.  Saya seperti merasakan sedang  mengalami sebuah kekuatan besar yang kukenal sejak dulu. Laut  yang terhampar   adalah bentuk  lain  dari   semesta  kemungkinan  yang mengambang di  hadapan  pilihanku, sedang  semburat kuning putih yang  membias di lazuardi senja seperti penjelmaan banyak berkat yang kurindukan tetapi sekejap  menghilang  dalam  arus kesibukan dan  rutinitas. Deus absconditus est Deus revelatus. DIA yang tersembunyi adalah DIA yang mewahyukan diriNYA. How great Thou Art.

Ada keakraban yang menyelinap diam-diam dan membisikkan pesan tanpa kata-kata. Adakah alam ini pengejawantahan dari hidup kita?  Bahwa lukisan yang kita rencanakan secara amat abstrak  seringkali menemukan versi lain yang amat bersahaja di batas cakrawala? Aku  pun tak tahu. Di langit  berlintasan beribu-ribu peristiwa, penampakan dan tanda harapan  tanpa  kita sendiri sanggup menangkapnya.

***

Meraup keindahan yang tak habis ibarat kedahagaan abadi akan mitos firdaus yang hilang dari genggangan manusia pertama yang menjadi riwayat dari pengembaraan setiap kita. Via pulchritudinis. Jalan keindahan itu akhirnya juga menjadi jalan enigmatik, kita musti luluh di dalamnya sampai lampus untuk sampai pada the truth content of art. Kebenaran yang tersembunyi di balik keindahan.

“Indah sekali Bapa,” saya berbisik kepada Kakanwil Kementerian Agama Provinsi NTT, Reginaldus SS Serang, S.Fil., M.Th. Kami telah bersahabat sejak lama sekali, jauh sebelum beliau menjadi Kakanwil. Ketika hanya berdua kami lebih suka baku panggil dengan nama. Saya menyapanya pak Naldy, dan beliau menyapa saya pak Jack. “Iya luar biasa pa Kakan,” ujarnya. Lalu kami seperti bernostalgia ketika berada di tempat ini long-long time ago.

“Itu dulu pasar,” beliau menunjuk lokasi di sisi kanan kami, “di sebelahnya kuliner yang biasa kita duduk bersama menikmati ikan bakar sembari memandang ikan-ikan yang berkeriapan di dalamnya. Tempat itu sekarang berdiri Hotel Meruorah. Tadi pagi saya menghadiri kegiatan Harlah ke-96 NU di sana,” lanjutnya menjelaskan.

Ah ya. Tiba-tiba intuisi jurnalistik saya bergerak. Maka ketika turun ke Kampung Air, saya diam-diam menyelinap sebentar ke Hotel Meruorah. Tentu saja amat singkat. Dalam perjalanan pulang ke Silvia Hotel tempat kami menginap, saya menemukan ide untuk untuk menulis. “Memandang Harlah NU ke-96 Dari Puncak Waringin - Laut Punya Cerita.”

II

LAUT punya cerita. Tentu saja. Bagi ibu-ibu Dharma Wanita laut menjadi lanskap selfie, boomerang, juga tik tok. Tapi itu bukan alasan warga NU rame-rame menyambangi bumi Varanus Komodoensis. Bagi PBNU laut punya cerita tersendiri. Cerita mengenai masa depan peradaban NKRI. Karena itu ke Labuan Bajo mereka datang, untuk saling berbagi, merajut kepedulian, menyemai harapan bagi Indonesia masa depan.

Harlah NU ke-96

Harlah NU ke-96 tahun 2022 memang dirayakan secara berbeda dari tanggal 31 Januari sampai 17 Februari 2022 di 4 (empat)  lokasi berbeda: Balikpapan Kalimantan Timur, Labuan Bajo Nusa Tenggara Timur, Palembang Sumatera Selatan dan Bangkalan Madura Jawa Timur. Tema yang diangkat “Menyongsong 100 Tahun NU, Merawat Bumi Membangun Peradaban.”

Gus Yahya (Yahya Cholil Staquf) Ketua Umum PBNU mengungkapkan, NU didirikan dengan visi untuk merintis peradaban baru. Keempat lokasi tersebut, dipilih karena mewakili modal-modal dasar yang diperlukan NU untuk mulai beranjak dalam perjuangan membangun peradaban. “Setelah di Balikpapan, Kalimantan Timur yang merupakan representasi ibu kota negara baru Nusantara sekaligus mewakili semangat NU untuk menjemput masa depan, kita kemudian beranjak ke Labuan Bajo NTT pada hari ini,” ujarnya saat memberikan sambutan pada Harlah ke-96 NU di Hotel Meruorah, Labuan Bajo, pada Sabtu, 5 Februari 2022.

NTT dipilih karena untuk memperjuangkan masa depan, pertama-tama kita harus tahu siapa diri kita dan apa watak kita. NTT adalah miniatur Indonesia dan daerah kepulauan. Ungkapan yang sangat tepat dan perwujudan dari watak peradaban Nusantara yaitu watak maritim dengan karakter masyarakat maritim. So Sweet.

***

SOAL menjadi miniatur Indonesia dari perspektif wilayah kepulauan, bukan hanya NTT. Kenapa NTT yang dipilih dan bukan NTB atau Maluku, tentu ada alasan spesifik yang tak mesti selalu dibahas. Tapi soal membangun masa depan dengan karakter maritim, menarik untuk ditelisik. Adakah NTT punya cerita mengenai laut dan kehidupan bahari?

Di masa lalu kita mengenal istilah negari bahari untuk kerajaan Sriwijaya misalnya, di mana laut punya peranan dominan sebagai pemersatu dan pusat kekuatan kehidupan negara. Masyarakat maritim selalu mempunyai perikehidupan yang berorientasi ke laut.  Aktivitas utama kehidupan mereka selalu berkaitan erat dengan unsur-unsur kelautan. Mereka menggerakkan tenaga dan pikiran mereka untuk memanfaatkan laut dalam memenuhi kepentingan hidup mereka. Laut punya nilai, budaya, tata krama, sistem kepemimpinan, juga peri kehidupan spiritual dengan mengacu kepada mitos dan konsepsi tentang unsur-unsur religius, serta kekramatan laut dan isinya. Mereka melaksanakan ritual religius dan upacara-upacara adat yang intinya mengharapkan perlindungan Tuhan dan makhluk-makhluk “Penguasa Laut”. 

NTT adalah sebuah provinsi kepulauan, namun berbeda dengan provinsi kepulauan lain yang dilingkupi laut, NTT mengayomi lautnya, Laut Sawu. Laut Sawu seperti danau besar dengan selat-selat sebagai pintu yang terbuka. Masyarakat NTT adalah “penguasa Laut Sawu”. Sebagian besar masyarakat NTT bermukim dan membangun desa-desa mereka di pesisir pantai-pantai bagian selatan Pulau Flores, di bagian timur dan timur laut Pulau Sumba, di pesisir barat dan barat laut Pulau Timor, di Pulau Sawu, Rote dan pulau-pulau kecil lainnya yang merangkum Laut Sawu.

Namun tidak semua masyarakat pesisir NTT dikategorikan sebagai masyarakat maritim, karena lebih banyak hidup dengan menggunakan sumber-sumber daya daratan daripada lautan. Bahkan Laut Sawu yang dulu pernah memainkan peran penting di bidang pelayaran dan perdagangan baik dalam jaringan Nusantara maupun dengan Erop dan Asia, data kebaharian wilayah ini dan sejarah peranan mereka sebagai pelaut tradisional dan pedagang antar pulau tidak diungkapkan secara detail. Kerafiran lokal mereka tentang sifat-sifat laut dan sumber-sumber daya kelautan perlu diteliti dalam rangka pengembangkan wilayah ini.

Dalam perspektif ini bukan suatu kebetulan Harlah NU ke-96 dengan tema besar ‘Merawat Bumi Membangun Peradaban’, di mulai dari kawasan laut NTT yang sedang gencar “dipermak” untuk destinasi pariwisata super premium. NU bukan partai politik, juga bukan birokrasi pemerintahan, namun sebagai organisasi Islam terbesar, jelas punya dampak terhadap pemerintah dan politisi. Maka harapan terbesar adalah agar dalam membangun masa depan, berkewajiban menjaga ideolo gi kerakyatan, bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang.

Ini penting untuk dikedepankan karena pengalaman memperlihatkan banyak pemimpin daerah terlanda demonstration effect dari subkultur kosmopolit borjuis, termakan oleh bias elitis, membangun mal, plaza, supermarket, hypermart menjadi preferensi dan mendominasi priority setting pembangunan daerah dengan alasan demi kemajuan. Cita-cita awal mulia,  empowerment, ditengah jalan berubah menjadi disempowerment, dan impoverishment, hasil akhir menggusur orang miskin dari kawasan super-premiun. Hanya orang kaya yang boleh datang ke  kawasan Super Premium ini. Kemiskinan tidak pernah tergusur hanya dipindahkan ke luar kawasan super premium. Masyarakat kemudian distigma bodoh oleh pemimpinnya sendiri agar mereka terlihat pintar dalam meminteri.

Empowerment kawasan maritim yang berhasil adalah bila masyarakat pesisir akhirnya mampu melakukan self-empowerment pemanfaatan laut dalam lingkup aquacultured. Pertanyaan yang menarik adalah, apakah kita cukup punya daya cipta, dedikasi dan keberanian untuk melakukan semacam direct attack on poverty and unemployement dan meningkatkan produktivitas masyarakat pesisir NTT melalui root empowerment sebagai aspirasi masyaralat luas yang perlu diakomodasi?

Fondasi ini perlu menjadi komitmen PBNU dalam khittahnya ‘Merawat Bumi, Membangun Peradaban’ agar laut tetap menjadi masa depan bersama bagi semua warganya dan bukan menjadi transit home para borjuis dan elitis untuk sekadar menaruh duit bersenang-senang menikmati marina luxesport lalu pergi. Memang tidak layak untuk terus naif, sesuatu yang super premium bukan dikuasai negara untuk masyarakat, tetapi juga terlampau gampangan untuk tidak merenungkannya.

“Orang miskin di jalan

yang tinggal di dalam selokan

yang kalah dalam pergulatan

janganlah mereka ditinggalkan

(Rendra, Potret Pembangunan dalam Puisi,

Sajak “Orang-Orang Miskin”)

Laut itu masa depan. Masa depan tak bisa dimonopoli. Maka tak seorangpun boleh diberi hak memiliki laut.

 

III

MINGGU 6 Februari 2022. Selepas Dhuzur kami lepas landas dari bandara Komodo menuju bandara El Tari Kupang. Langit sangat cerah. Dari jendela 7A Wings Air saya memandang kembali ke teluk Labuan Bajo yang eksotik. Laut mengirimkan buihnya ke pantai dengan warna putih bagai kapas. Laut selalu punya cerita.

Ia mengalir dengan irama alam yang abadi. Arus, ombak dan gelombang silih berganti. Setiap hari berjuta-juta tong sampah dan zat beracun dimuntahkan ke permukaannya, namun dari rahimnya ia melahirkan berjuta-juta biota untuk kehidupan manusia. Seperti kasih ibu, laut hanya memberi, tak harap kembali.

Amatlah wajar kalau Gus Yahya dalam sambutannya pada Harlah ke-96  NU di Labuan Bajo menyebut kearifan laut ini dalam ciri karakter dan manusia maritim yang selalu berbaik sangka kepada Tuhan saat mengarungi lautan; kepada manusia dengan berbagi kepada siapa saja. Kita tidak bisa bekerja sendiri, juga tidak pilih-pilih dalam  bekerja sama dan berbagi. Persaudaraan bukan hanya dengan sesama muslim, tetapi juga dengan sesama bangsa dan persaudaraan di antara sesama umat manusia. Kita saudara?

Saya melihat isi pesawat. Seluruh penumpang adalah rekan-rekan sekantor dan rekan-rekan NU yang barusan selesai melaksanakan hajatan di Labuan Bajo. Kami duduk bersebelahan namun tidak berkomunikasi, meski saling mengenal satu sama lain. Sungguhkah kita bersaudara? Sayangnya tak selamanya kita berhasil mengangguk. Lebih mudah bagi kita untuk mengatakan ya ketika ada tidak yang membara.

Mungkin benar, selama ini kita hanya bertentangga. Tapi belum bersaudara. Kini saatnya kita perlu menjadi saudara, yang mesti bertanggungjawab atas yang lain sebagai saudara. Kita semua adalah saudara. katong samua basodara.  

Inilah visi utama masa depan kita bersama  yang sebetulnya adalah visi tua bangsa-bangsa, kebudayaan-kebudayaan dan agama-agama, “Human Fraternity For World Peace And Living Together”, nama dokumen yang ditandatangani bersama antara Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Ahmad Al-Tayyeb. Persaudaraan tidak hanya untuk perdamaian dunia tetapi untuk keberlasungan kehidupan bersama. “/Whose buildings grope the sky:/ There is no such thing as the State/ And no one exists alone;/” tulis W.F.Auden dalam Sajaknya “September 1, 1939. “We must love one another or die.”

Tentu saja amat menggembirakan PBNU berkomitmen menghidupkan kembali visi ini, karena dunia sedang, seperti didemonstrasikan secara kasat mata selama masa pandemi, menghadapi godaan untuk isolasi diri. Isolasi diri untuk masa yang terbatas memang merupakan langkah yang perlu untuk menanggapi pandemi. Tetapi virus yang lebih berbahaya adalah isolasi diri yang permanen, egoisme, rasisme atau fundalisme religius yang menegasikan yang lain, yang akhir-akhir ini kembali mewarnai situasi politik di tanah air kita.

Ancaman yang paling melumpuhkan setiap orang dan setiap komunitas agama adalah ketika kita kehilangan perspektif dan semangat misioner, saat kita tidak lagi berani keluar dari diri: dari kepentingan diri, dari ketersinggungan atau rasa sakit hati kita. Hidup dalam kesombongan agama seperti itu tidak hanya membuat kita menjadi homo incurvatus, yang melengkung di dan ke dalam diri sendiri, tetapi juga membuat agama menjadi hati yang membatu, yang tidak mampu merasakan duka dan kecemasan, kegembiraan dan harapan umat manusia. Dalam tradisi maritime, mentalitas cari selamat sendiri adalah hal yang ditabukan. Laut pemisah tetapi ija juga perangkai.

***

Kita tidak menampik apa yang dikatakan Gus Yahya bahwa untuk perjuangan peradaban yang pastinya tidak mudah. Selalu saja ada kemungkinan ketika ulama NU bersepakat untuk memulai perjalanan menyongsong 100 Tahun di Balikpapan, Kalimantan Timur yang merupakan representasi ibu kota negara baru Nusantara sekaligus mewakili semangat NU untuk menjemput masa depan, selalu ada kiai seperti pendekar-pendekar tangguh yang mengundurkan diri dari dunia persialatan. Tetapi kita juga musti berbesar hati bahwa seperti laut yang selalu memiliki dua sisi yang bertentangan tapi juga bertaut, selalu ada kemungkinan beberapa kiai akan turun gunung.

Tidak ada masa lampau yang menjadi referensi karena segala sesuatu terbuka ke masa sekarang dan masa depan yang sedang terbentuk dengan kemungkinan baru namun juga ketidakpastian. Kebaharian mengangkat tugas menjaga tanah air. Masyarakat bahari mengemban posisi terhormat ini sebagai penjaga ibu pertiwi.  Dengan asas itu kita mampu menerobos ketertutupan kelompok dan boleh berharap Indonesia tetap menjadi Rumah Persaudaraan Bersama yang meriah dan tidak rumit dalam kebhinekaan.

“Ayo! Bung kasi tangan mari kita bikin janji/Aku sudah cukup lama dengar bicaramu/ dipanggang atas apimu/ digarami oleh lautmu/…../ Kau dan aku satu zat satu urat/ Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar/ Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak &/ berlabuh.” (Chairil Anwar, “Perjanjian Dengan Bung Karno” di tahun 1948)

Dari Puncak Waringin, Laut Punya Cerita. Tapi tentang yang tak dapat dikatakan, orang musti diam, kata Ludwig Witgenstein. Maka mari menari, mari beria, mari berpesta. Selamat Harlah Ke-96 NU.

 

Kupang, pada hari Pers Nasional, 09 Pebruari 2022

*) Penulis Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Kupang

Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler