‘Ngabdi’ – ‘Ngayomi’, Sinergi Ala Tanah Jawi
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB'Ngabdi' atau mengabdi dan 'ngayomi' atau memberi perlindungan adalah dua nilai Jawa yang mulai langka. Keduanya menuntunkan keluhuran sekaligus berupa sinergi dalam hubungan manusia di kehidupan.
Perempuan itu bersama keluarga saya, sejak saya TK sampai dua tahun sebelum saya menikah. Sehari sebelum ia meninggal, kebetulan saya, yang waktu itu menuntut ilmu di lain kota, sedang berada di rumah. Selepas Isya’, ia pamit pulang. Meski sehari-hari tinggal di rumah kami, Ibu saya memberinya kebebasan pulang sewaktu-waktu karena masih ada tiga anggota keluarga, yaitu ibu, anak perempuan, dan seorang cucu (anak dari anak perempuannya) di rumahnya, tidak jauh dari tempat kami tinggal.
Esoknya, pagi masih buta ketika saya dan Ibu mendapat kabar ia meninggal mendadak, kepleset di kamar mandi rumahnya. Ibu saya langsung nangis. Kami sekeluarga sangat kehilangan. Ketika melayat ke rumah duka, saya lihat Ibu mencium kening jenazah lalu berbisik, “Wis ya Yu, isitirahata sing tenang, matur nuwun banget wis ewang-ewang Ibu rong puluh tahun (Sudah Yu, istirahatlah yang tenang. Terima kasih banyak sudah membantu Ibu dua puluh tahun)”. Saya mbrebes mili (berlinang air mata), baru sadar, ternyata cukup lama perempuan itu bersama kami.
Hari ini, yang tertinggal, adalah kangen sangat pada sosok Mbak Ayu keluarga kami tadi. Saya dan adik perempuan saya terutama. Kami berdua sudah menjadi Ibu sekarang dan jujur kami akui, setengah mati mencari pekerja rumah tangga seperti Mbak Ayu atau Yu kami. Ketika ada pekerjaan rumah tidak terkerjakan beres, atau salah satu kami kelelahan dengan itu, saya dan adik perempuan saya sering bercanda di tengah curhat-curhatan, “Kita ‘bangunkan’ saja Yu,” kami berandai-andai suatu mustahil.
Dari awal nderek (bekerja pada keluarga kami), Yu tidak pernah neka-neka (aneh-aneh, Bhs. Jawa). Maksud saya neka-neka seperti punya tuntutan macem-macem. Malah sepertinya tidak pernah menuntut. Istilah Jawanya utun, mendekati pengertian ‘tekun’ dalam kosakata Indonesia, maksud saya tekun bekerja. Yu itu orangnya nriman atau menerima apa yang diberikan kepadanya, yang menjadi bagiannya. Yu tidak pernah mengeluh, seingat saya. Selalu, “Inggih (iya),” pada tiap permohonan kami untuk membantu ini dan itu. Tugas-tugasnya dilakukan sangat baik dan sepenuh hati.
Posisi janda dengan ibu beranjak tua lagi sering sakit dan seorang anak, yang masih sekolah waktu itu, mungkin menjadikannya serius mengusahakan nafkah. Apapun latar, Yu bekerja pada kami sunguh-sungguh, tidak itung-itungan, lebih sebagai pengabdi. Sikap mengabdi yang total, sebenarnya, justru menjatuhkan hormat kami pada Si Yu sekaligus, akhirnya, kami menyayanginya sangat. Satu lagi sikap luhurnya, yang sering dipuji Ibu, jujur.
Awal bekerja pada keluarga saya, saya ingat jelas justru saya yang dimarahi Ibu karena mencurigai Yu. Ceritanya, Ibu saya, yang pegawai negeri, mendapat tugas rapat keluar kota sehingga meninggalkan rumah beberapa hari. Saya, yang anak perempuan tertua, meski baru SD, diminta Ibu menjalankan beberapa hal, salah satunya mengawasi pengeluaran. Pesan Ibu, “Saben dina, blanjane dicateti, Nduk (setiap hari tolong catat belanjaan, Nduk).”
Saya, yang polos, ketambahan munculnya rasa sok kuasa setelah mendapat peran baru dengan wewenang lebih, mencurigai Yu menghamburkan uang belanja selama Ibu pergi. Saya langsung merinci belanjaan setiap hari. Saya menanya Si Yu daftar belanja per barang lengkap dengan harga masing-masing. Sudah tentu total pengeluaran saya sertakan dalam laporan, didapat dari menjumlah harga-harga. Bukan pujian, Ibu saya malah marah gara-gara itu.
Ibu menasehati saya, panjang, tentang tugas, yang ternyata bukan untuk ngontrol Yu karena Ibu sangat percaya pada kejujurannya. Itu justru demi melatih saya menjalankan tanggung jawab rumah tangga, salah satunya nyateti (mencatat) pengeluaran agar terdata besaran kebutuhan waktu ke waktu. Di akhir nasehat, kata Ibu saya, “Jajal piye perasaane Yu kuwi nek mbok urus nganti blanjan cilik-cilik ngono? Apa ora mesakne to, Nduk? Kan malih rumangsa ora dipercaya (Coba, bagaimana perasaan Yu ketika kamu tanyakan soal belanjaan sampai sekecil-kecilnya/tiap-tiap barang seperti itu? Apa tidak kasihan? Dia jadi merasa tidak dipercaya).” Benar kata Ibu. Saya salah.
Sama dengan Ibu, Bapak andil menjaga Yu. Bapak selalu manti-manti (berpesan) kami, anak-anak, menjunjung tepa slira (toleransi) setinggi-tingginya dalam bersikap pada Yu. Hal kecil misalnya, Bapak mengingatkan kami untuk selalu nambah kata, “Tulung, Yu (tolong, Yu),” setiap meminta bantuan Yu. Permohonan kami, dalam meminta tolong, juga dibatasi. Porsi tanggung jawab Yu berkisar urusan rumah tangga seperti masak, membersihkan rumah, mencuci, menyetrika sehingga permohonan kami hanya boleh seputar itu dengan batasan-batasan, salah satunya, tidak boleh melanggar jam istirahat.
Jam 8 malam adalah waktu Yu istirahat. Mendekati jam itu, kami tidak boleh lagi meminta Yu melakukan pekerjaan. Seandainya ingin mie rebus, atau nasi goreng, atau minuman hangat, misalnya, silahkan masak sendiri, dan harus nunggu Yu masuk kamar, karena kalau tidak Yu akan mengambil alih pekerjaan kami. Yu tidak akan membiarkan kami uwet (sibuk) di dapur, kalau ia tahu. Selalu bergegas, “Pundi Mbak/Mas, kersanipun kula masakaken (Mana Mbak/Mas, biar saya yang buatin).” Karena begitu adanya, kami harus tahu diri untuk menunda masak ketika pingin sesuatu di sekitar jam istirahat Yu, sampai Yu bener-bener meninggalkan dapur, menuju kamarnya, beristirahat.
Tidak saja kami, anak-anak, ini berlaku juga bagi Ibu, yang sering memberi contoh langsung. Ibu saya seneng ngemil terutama emping dan kacang. Malam, selepas tutup warung, kurang lebih jam 8, kalau toples kosong, Ibu akan sabar nunggu sampai Yu sudah di kamarnya, benar-benar tidur, baru Ibu ke dapur goreng-goreng. Meski sudah pasti lelah selepas kerja, itu pilihan Ibu demi menjaga perasaan Yu, sekaligus biar Yu tidak terlalu lelah.
Jujur, utun (tekun), nriman (tanpa banyak tuntutan) adalah kombinasi sikap mengabdi, yang hari ini, sepertinya langka dalam laku seseorang. Pengabdian identik dengan mengerjakan segala sepenuh jiwa, ikhlas, bukan hitung-hitungan, tidak tentang untung rugi materi. Mengabdi berarti keluhuran, menurut saya, karena ada kesanggupan melakukan sebaik-baiknya demi sebesar-besarnya kebaikan, tidak saja untuk kebaikan diri-sendiri, tetapi sebanyak-banyaknya manusia.
Nah, pasangan ‘ngabdi’ atau mengabdi adalaha ‘ngayomi’ atau memberi perlindungan baik jiwa maupun raga. Ngayomi tidak saja berarti mencukupi segala kebutuhan fisik, tapi termasuk menjaga perasaan atau memastikan orang dalam ayoman (asuhan/perlindungan) tidak terlukai hatinya. Ngayomi bisa diartikan membahagiakan lahir batin dalam konteks Bahasa Indonesia. Setahu saya, dalam nilai Jawa, ngabdi dan ngayomi adalah pasangan. Keduanya adalah tuntunan sikap menjunjung tinggi tanggung jawab tergantung porsi peran dan wewenang.
Kesimpulan mudah dari contoh tadi, meski Yu pekerja berdedikasi tinggi, bukan berarti kami bisa sewenang-wenang. Ada keharusan ‘saling’ dalam hubungan ini. Yu bekerja sepenuhnya, kami sekeluarga, tempat Yu bekerja, wajib memberi naungan, memberi perlindungan, menjaga ketenteraman, jiwanya dan raganya. Yu sebagai pekerja ngabdi (mengabdi), kami ngayomi (memberi perlindungan).
Tanggung jawab masing-masing komponen dalam hubungan manusia bukan bisa dituntutkan pihak-sepihak. Harmoni atau sinergi adalah usaha bersama semua, yang terlibat proses, menurut saya, lebih pada kewajiban-kewajiban, yang ditempatkan utama dan dijunjung tinggi, bukan tuntutan-tuntutan hak di depan. Berbeda, mungkin, dengan paham lain memaknai hubungan manusia dan tempat bekerja, namun demikianlah kekhasan ajaran Jawa, yang saya pahami ala kami, keluarga saya. Manusia-manusia membentuk koloni sehingga irama serasinya dituntutkan pada kesadaran masing-masing memainkan bagian, yang mengutamakan tanggung jawab bukan mengedepankan tuntutan hak.
Yu, dengan keluhuran-keluhuran tadi yaitu mengutamakan tanggung jawab, akhirnya menjadi abdi kinasih (pekerja kesayangan) kami, yang bahkan bertahun setelah Yu meninggal, kami akui etos kerjanya. Hari ini, susah mencari tandingan. Tulisan ini juga persembahan saya pada perempuan indah yang mengajarkan keutamaan pekerti penuh keluhuran itu, Mbak Ayu atau Yu keluarga saya. ....Apa kabarmu, Yu? Muga-muga tentrem (semoga damai). Woalah Yu, aku kangen masakanmu...
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Andai Saya Jurnalis, Kemarin
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBTentang Kebenaran (Bagian 2 The Help)
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler