Para pengusaha tempe di banyak daerah sepakat mogok produksi gegara harga kedelai, bahan baku tempe dan tahu, naik. Mogok produksi ini terjadi ketika minyak goreng susah didapat dengan harga terjangkau. Entah ini kebetulan atau bukan; atau tempe dan tahu memang lagi kompakan dengan minyak goreng: sama-sama susah didapat.
Warga masyarakat antri di tempat tertentu untuk membeli minyak sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET), yang merupakan hasil operasi pasar, jadi tersedia di tempat tertentu dan waktu tertentu. Tapi, di minimarket, minyak sesuai HET tidak tersedia, entah menghilang kemana. Di pasar tradisional, harga minyak goreng yang berlaku ya harga pasar alias lebih tinggi ketimbang HET. Jurus ini ternyata tidak mempan mengatasi persoalan.
Belum selesai urusan minyak goreng, tahu-tahu tersiar kabar harga kedelai naiktinggi, sehingga para produsen tahu dan tempe—yang umumnya bukan pengusaha besar—memilih berhenti berproduksi.
Hingga kemarin, penjual keliling tahu dan tempe memang masih berjualan, dan warga masih sempat membelinya. Tapi, meskipun masih punya tahu dan tempe, tetap bingung juga, bagaimana menggorengnya? Minyak goreng yang tersedia mesti dihemat pemakaiannya. Lantas bagaimana, masak disangrai? Atau disayur dengan cabe hijau? Atau dibuat sate tempe. Banyak pilihan mengolah tempe dan tahu tanpa minyak goreng. Tapi bukan ini pokok soalnya.
Sepanjang harga minyak goreng masih tinggi, pemakaian minyak goreng di rumah tangga memang mesti dihemat. Jika tetap ingin menikmati tempe atau tahu goreng, terpaksa minyak dipakai beberapa kali. Nilai nutrisi yang ada dalam tempe tahu jelas menurun bila digoreng dengan minyak bekas pakai lebih dari dua kali. Bukankah itu tidak sehat? Tentu saja rakyat banyak sudah mengerti bahwa itu tidak sehat, tapi mau apa lagi?
Bahan minyak goreng diekspor karena harga internasional jauh lebih tinggi. Kedelai diimpor walaupun harga tinggi, tapi ketika sudah mencapai harga tertentu yang tidak lagi ekonomis, para produsen tahu dan tempe pun menyerah. Mereka seakan disodori buah simalakama. Harga tahu dan tempe dinaikkan, penjualannya seret. Dijual dengan harga tetap, produksi terancam terhenti juga, sebab harga kedelai sudah naik. Berhenti produksi pilihannya, walaupun pahit karena pemasukan harian nol.
Inilah ironi negeri yang tanahnya subur, yang tanaman apapun akan tumbuh di atasnya, yang nyiurnya melambai-lambai, yang pesonanya mampu menarik hasrat VOC untuk berlayar ribuan kilometer agar bisa mengusung rempah-rempah ke Eropa. Apakah itu hanya nyanyian, apakah itu hanya sejarah masa lampau?
Kabar beredar, satgas minyak goreng—atau apapun namanya—menemukan lebih dari sejuta kg minyak goreng disimpan di tiga gudang. Waktu si penyimpan ditanya, itu akan segera distribusikan, lalu muncul jawaban berbeda bahwa minyak itu untuk pasokan pabrik mie. Di sisi lain, Komisi Pengawas Persaingan Usaha juga dikabarkan sudah memanggil para pemain minyak goreng. Hasil akhirnya, belum ada. Di saat yang sama dikabarkan oleh media, harga cabai-cabaian merangkak naik. Mau kompakan juga dengan tahu, tempe, dan minyak goreng?
Cerita seperti ini mungkin akan sering kita jumpai di masa-masa mendatang: minyak goreng susah didapat, produksi tahu dan tempe terhenti, komoditas lain merangkak naik—apa lagi sebentar lagi masuk bulan Ramadhan. Jurus yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi soal seperti ini terkesan tambal sulam. Operasi pasar, subsidi harga, pemberlakuan harga eceran tertinggi, inspeksi mendadak, dan entah apa lagi.
Semua itu terkesan seperti memberikan obat penurun panas, katakanlah paracetamol, agar suhu badan turun. Tapi, itu kan obat untuk mengatasi gejala alias simptom, bukan mengatasi sumber penyakitnya. Jadi, sewaktu-waktu tubuh bisa demam kembali misalnya karena cuaca tidak sedang bersahabat atau sebab lain yang lebih mendasar. Lha, sampai kapan kita disuruh minum paracetamol, sedangkan sumber penyakitnya tidak diatasi sampai akarnya? >>
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.