x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 25 Februari 2022 16:02 WIB

Muhaimin Iskandar dan Agenda Penundaan Pemilu yang Tidak Sehat

Muhaimin Iskandar hendak mengusulkan agar pemilu ditunda 1-2 tahun lagi dengan alasan pemilu berpotensi merusak momentum kebangkitan ekonomi. Di samping usulan itu tidak sesuai dengan Konstitusi, apakah Muhaimin mampu menjamin bahwa pada 2026 keadaan yang ia cemaskan itu tidak akan terjadi, sehingga ada alasan untuk menunda kembali pemilu hingga 2029? Lalu ditunda lagi hingga 2034?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Entah imajinasi apa yang terlintas di benak Muhaimin Iskandar ketika ia mengusulkan agar Pemilu 2024 ditunda. Muhaimin mengaku bahwa ia mendapat masukan dari pengusaha dan analis ekonomi yang menemuinya—entah siapa pengusaha yang ia maksud dan entah siapa analis ekonomi yang ia maksud. Intinya, berkat masukan itu, kata Muhaimin ia mendapat ide agar pemilu yang direncakan bakal digelar pada 2024 ditunda hingga satu atau dua tahun kemudian.

Alasan penundaan itu, kata Muhaimin, agar momentum kebangkitan kembali perekonomian dapat dilanjutkan dan tidak terganggu oleh perhelatan politik besar seperti pilpres, pilkada, maupun pileg pada 2024 nanti. Seperti dikutip media massa, menurut Muhaimin, pemilu biasanya disertai tiga kondisi. Pertama, pelaku ekonomi akan bersikap menunggu dan melihat bagaimana pemilu berjalan serta kira-kira siapa yang menang dan kemana arahnya. Kedua, transisi kekuasaan dan pemerintahan mengakibatkan ketidakpastian ekonomi. Ketiga, dikhawatirkan [entah oleh siapa, Muhaimin tidak mengatakan] pemilu menjadi ancaman konflik walau tak diharapkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lha, kalau tiga kondisi itu dijadikan alasan untuk menunda pemilu, sampai kapanpun pemilu tidak akan terlaksana, mau tahun 2026 atau mau tahun 2030. Sebab, kondisi-kondisi yang disebut Muhaimin itu tetap berpotensi ada, namun belum tentu pasti terjadi. Ketiga situasi yang disebut Muhaimin itu masih hipotetik. Andaikan kemudian pemilu 2024 ditunda karena alasan-alasan tadi, apakah ada jaminan pemilu 2026 akan digelar? Bukankah alasan yang sama juga bisa dipakai lagi atau digunakan alasan lain ‘wah tanggung, tambah tiga tahun lagi biar sekalian satu periode’.

Setelah itu pemilu ditunda lagi lima tahun kemudian dengan alasan apapun—sebab, politisi pintar menyusun alasan. Menjelang lima tahun alasan yang sama atau alasan yang berbeda dikemukakan untuk menunda pemilu lima tahun lagi. Tanpa terasa, tahu-tahu penundaan pemilu berlangsung 15 tahun. Bayangkan, konstitusi membatasi masa jabatan presiden dua periode kali lima tahun, tapi bonusnya 15 tahun.

Pernyataan Muhaimin itu juga tidak cukup punya dasar. Selama ini, manakala pemilu berlangsung, kegiatan ekonomi berjalan terus. Bahkan di banyak sektor aktivitas ekonomi meningkat karena partai dan politisi, serta pengusaha pendukungnya, mengerahkan banyak sumberdaya agar mereka atau calon mereka terpilih.

Mobilitas manusia meningkat, sarana transportasi banyak digunakan, konsumsi bahan bakar bertambah, hotel banyak dikunjungi, bisnis terkait kuliner juga meningkat karena konsumsi makanan dan minuman bertambah, belum lagi cetak-mencetak banner, spanduk, bendera, kaos, hingga bisnis relawan dan buzzer. Industri besar juga tidak bisa mengambil jeda atau malah berhenti dulu operasinya hanya untuk menunggu pemilu selesai dan keluar pemenangnya; lalu setelah ada pemenang, pelaku usaha menunggu apa aturan yang akan dikeluarkan. Masa iya begitu? Berapa besar uang yang harus mereka bakar karena menunda operasional?

Sampai kapanpun, transisi pemerintahan selalu menimbulkan ketidakpastian, tetapi sebesar apa pemerintahan akan berubah pada rezim baru dari rezim sebelumnya? Lihat saja dari waktu ke waktu sejak rezim Orde Baru tumbang, perubahan fundamental apa yang terjadi? Kenyataannya, tetap elite juga yang berkuasa, bahkan orangnya ya itu-itu juga. Muhaimin juga melupakan kemampuan adaptif pelaku ekonomi yang membuat mereka mampu tetap berkembang dalam berbagai kondisi perubahan yang menantang. Pandemi juga telah melatih pengusaha untuk survive dan adaptif terhadap situasi yang berubah cepat.

Lalu potensi konflik. Sesungguhnya, bila kita mau jujur, konflik di tingkat bawah terjadi karena eksploitasi emosi rakyat oleh kaum elite politik dan para penopang sumber dayanya. Apabila elite politik dan ekonomi serius mengadakan pemilu yang terbuka, jujur, dan adil, konflik dapat dihindari. Pemilu yang terbuka akan mengakomodasi lebih banyak calon presiden, bukan hanya dua yang cenderung menimbulkan pengelompokan yang dikotomis. Mereka juga tidak perlu mengerahkan buzzer bayaran yang mengabaikan fatsun dan dampaknya atas masyarakat.

Lagi pula, coba lihat saja pemilu yang baru lalu, siapa yang memetik keuntungan dari konflik di tingkat bawah? Elite juga, buktinya paling kompetitor dalam pilpres yang paling sengit itu akhirnya bergabung sembari menyisakan konflik di tingkat bawah. Elite yang sudah berkompromi kemudian tidak peduli dengan apa yang terjadi di bawah. Mereka sibuk dengan mainan baru kekuasaan.

Jadi, seandainya pun pemilu ditunda, apakah Muhaimin mampu menjamin bahwa ekonomi tidak akan stagnan bila itu yang ia khawatirkan, bahwa transisi tidak akan melahirkan ketidakpastian ekonomi bila itu yang ia cemaskan, dan bahwa potensi konflik itu tidak akan terjadi bila itu yang ia harapkan? Semua itu imajinasi Muhaimin yang dibuat agar terlihat logis dan rasional. Katakanlah, jika hipotesanya itu berpotensi kuat terwujud, apakah ia mampu menjamin bahwa pada 2026 keadaan yang ia cemaskan itu tidak akan terjadi, sehingga ada alasan untuk menunda kembali pemilu hingga 2029? Lalu ditunda lagi hingga 2034, 2039?

Banyak ahli hukum tata negara yang mengatakan bahwa tidak ada landasan konstitusional yang dapat dijadikan pegangan untuk menunda pemilu, kecuali jika diamendemen. Namun, bila amendemen dilakukan untuk membuka jalan penundaan pemilu, ini sama saja tidak menghargai konstitusi karena begitu mudah diubah-ubah hanya sekedar untuk memenuhi hasrat kuasa dan kepentingan pragmatis kelompok elite.

Konstitusi tegas menyebutkan bahwa masa jabatan presiden itu hanya lima tahun dan dapat diperpanjang satu kali lima tahun. Tidak boleh ada perpanjangan. Pembatasan kekuasaan diperlukan untuk melindungi rakyat dari penyalahgunaan kekuasaan. Pengalaman historis yang traumatis di masa sebelum 1998 tidak akan pernah terlupakan. Dengan agenda penundaan pemilu, apakah kita hendak dibawa kembali ke masa lampau yang suram itu? >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB