x

Iklan

Janwan S R Tarigan (Penggembala Kerbau)

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Agustus 2020

Minggu, 6 Maret 2022 19:35 WIB

Kekurangan Penerimaan Keuangan Negara Jarang Disentuh Penegak Hukum

Fenomena kerugian Keuangan Negara telah menjadi korupsi gaya baru. Praktik itu hingga kini terus berlangsung tapi tidak ditindak sama layaknya kasus korupsi lain. Data BPK menunjukkan ketidakpatuhan pada aturan menyebabkan kerugian paling besar pada sektor kekurangan penerimaan, yakni 5,55 triliun dari total kerugian 8,37 triliun. Sektor penerimaan Negara paling rentan mengalami potensi kerugian.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ada yang tampak, tapi lebih banyak yang tidak tampak. Korupsi yang terendus, terungkap, lalu diberitakan sampai kepada publik diyakini hanyalah sedikit dari banyak praktik korupsi. Hanya sebagian kecil yang muncul ke permukaan. Kondisi ini seperti fenomena gunung es yang tampak kecil di permukaan laut, tapi puluhan kali lipat lebih besar di bagian bawah permukaan. Dampaknya tentu saja sama, tapi dalam penindakannya ada yang berhasil dikenakan sanksi dan ada yang santai menikmati hasil korupsi. Maka pekerjaan rumah ke depan yang menjadi tantangan adalah mengungkap tuntas korupsi laten.

Namun sebelum lebih jauh membahas korupsi laten, perlu kiranya ada langkah serius pemberantasan korupsi yang jelas tampak tapi jarang sekali tersentuh. Sebagai gambaran dapat dilihat pada Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP BPK) yang setiap tahunnya merilis temuan kerugian keuangan Negara. Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksa an Semester (IHPS) I Tahun 2021 terhadap keuangan Negara/daerah, ada 8.483 temuan, dengan nilai total Rp8,37 triliun.

Dari jumlah temuan terdapat permasalahan sebanyak 14.501, di antaranya disebabkan kelemahan Sistem Pengendali Internal (SPI) berjumlah 6.617, sebab ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan berjumlah 7.512, dan sebab ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan sebanyak 372 (Rp113,13 miliar). Lebih lanjut dijelaskan ketidakpatuhan dibagi dua, yaitu pertama ketidakpatuhan karena penyimpangan administrasi sebanyak 2.738 temuan, dan kedua ketidakputuhan sebanyak 4.774 temuan (Rp8,26 triliun) yang dapat mengakibatkan: a. kerugian senilai Rp1,94 triliun (3.104 temuan), b. potensi kerugian Rp776,45 miliar (612 temuan), dan b. kekurangan penerimaan senilai Rp5,55 triliun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Data BPK di atas menunjukkan bahwa sebagian besar temuan disebabkan ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan. Selain itu ketidakpatuhan yang paling banyak menyebabkan kerugian paling besar pada sektor kekurangan penerimaan yakni 5,55 triliun dari total kerugian 8,37 triliun. Data ini menjelaskan bahwa sektor penerimaan Negara adalah yang paling rentan mengalami potensi kerugian. Di sisi lain, kerugian Keuangan Negara pada sektor penerimaan ini masih jarang diungkap oleh penegak hukum yang membuatnya menjadi ladang basah korupsi.

Selanjutnya proses pengembalian kerugian Keuangan Negara juga belum optimal. Dari sejumlah permasalahan tersebut, BPK memberi 23.356 rekomendasi kepada entitas terkait. Beberapa entitas saat laporan IHPS Semester I pada bulan Juni 2021 sudah menyerahkan aset atau menyetor ke kas Negara/daerah/perusahaan selama proses pemeriksaan sebesar Rp967,08 miliar atau (11,7%) dari nilai permasalahan ketidakpatuhan yang berdampak finansial sebesar R8,26 triliun.

Mengacu Pasal 1 ayat 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun Tahun 2006 tentang BPK menegaskan bahwa “kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi tegas mengamanatkan bahwa “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana”. Berdasarkan kedua penjelasan peraturan tersebut maka jelas bahwa pemberantasan korupsi melalui pendekatan penindakan pada kasus kerugian keuangan negara harus dilakukan. Akan tetapi faktanya tidaklah demikian. Pelaku yang menimbulkan kerugian Keuangan Negara dengan mudahnya lolos dan mengulangi perbuatannya.

Meski kerugian Keuangan Negara sudah terlihat jelas, tapi sangat jarang temuan hasil audit BPK ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum yang kemudian membuat pelaku enggan mengembalikan kerugian keuangan Negara. Selain itu kelonggaran hukum ini memberi rasa nyaman tersendiri bagi pelaku, tampak dari kecenderungan adanya temuan berulang kerugian Keuangan Negara pada LHP BPK dari tahun ke tahun.

Upaya preventif pun pada tahun tahun berikutnya juga semakin lemah, sebaliknya justru menciptakan iklim baik bagi pemburu rente untuk mengulangi perbuatannya. Fenomena kerugian Keuangan Negara telah menjadi korupsi gaya baru yang hingga kini terus berlangsung tapi tidak ditindak sama layaknya kasus korupsi lain.

Penindakkan tidak semata dapat dikalkulasi berbanding lurus dengan pembiayaan-pengeluaran negara saat penindakan maupun setelahnya. Jika dikalkulasi tentu sekilas upaya penindakan seluruh kasus korupsi akan dianggap membebani keuangan negara, maka hanya dibatasi pada upaya pengembalian kerugian keuangan negara tanpa disertai sanksi kepada pelakunya.

Kerja-kerja penindakan perlu dilihat dalam jangka panjang akan memperbaiki kerja-kerja pencegahan dan secara keseluruhan pemberantasan korupsi. Maka penegak hukum yang berwenang dalam pemberantasan korupsi (kejaksaan, kepolisian, dan KPK) harus melakukan penindakan secara tuntas setiap kasus korupsi, baik korupsi besar pun kecil, bahkan perlu mendalami kasus yang selama ini tidak tampak tapi nyata merugikan keuangan negara. Langkah serius ke depan harus dimulai dari aparat hukum pemberantas korupsi yang seimbang menjalankan penindakan, pencegahan, dan pengembalian kerugian keuangan negara. Kemudian secara perlahan mengubah mental korup menjadi mental berintegritas.

Ikuti tulisan menarik Janwan S R Tarigan (Penggembala Kerbau) lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB