Ini adalah kata yang berdarah-darah
untuk tubuh yang lapar dan haus
untuk tangan dan kaki yang hilang
sampai patung-patung penghias kota berubah
dari putih ke hitam
dari gemuruh musim hingga doa pertobatan.
Di tanah yang terjanjikan ini—tak ada tubuh yang ditampilkan utuh
kebohongan diagungkan
dengan menyembunyikan anak-anak menangis di jalanan berdebu.
Aku teringat tempo itu, seorang ibu dengan anaknya berpakaian kuning kusut
berjalan di atas padang gersang, membentang selendang merah kecil
lalu duduk berhadapan—saling menatap wajah pilu
sedikit tertawa sambil mengelus ubun-ubun si anak
“inilah jalan sesungguhnya, di mana engkau sendiri yang akan merenungkannya
dengan segenap jiwa dalam nama ayah dan ibu.”
Di bawah langit awan dari kali dan sungai mengumpul
dekat taman air pemali yang hening dan sakral
di mana batu memiliki cerita
kayu memiliki napas
untuk menciptakan api kejernihan di mata anak-anak
yang tak diperbolehkan untuk mengubahnya menjadi benci suatu hari nanti.
Darah tanah yang menghidupkan
berilah penghayatan; di mana kami tidak cukup mencintai,
di mana mereka tidak cukup mencintai
—terlebih lidah-lidah karang.
Kami tak membutuhkan kemuliaan dengan nama apapun
kami juga tak perlu berlutut untuk menutupi diri
memasuki rumah penuh rahmat
kami hanya perlu mengingat apa yang telah dilakukan satu sama lain
dengan segalanya yang dilakukan ayah terhadap anaknya
yang saudara-saudari lakukan terhadap orang-orang yang tak percaya
“bagaimana kami mencoba menemukan siapa yang bersalah, dan menjadi bersalah?”
sebab matahari terus berlanjut—membuka urat nadi setiap orang dalam peta pencariannya
untuk sesuatu yang menjadi emas di musim yang akan datang.
Atambua, 18 Februari 2022
Ikuti tulisan menarik Silivester Kiik lainnya di sini.