x

gambar ini diambil digoogle model muslimah

Iklan

Miri pariyas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 November 2021

Selasa, 8 Maret 2022 19:23 WIB

Jangan Pulang, Ketika “Kamu” Perempuan

Sebuah cerita yang mengambarkan bahwa perempuan masih dalam dibayang-bayang sistem patriarkal. Tak menemukan kebebasan utama dalam memaknai tubuhnya. Namun, dalam artikel ini dibingkai engan cerita fiksi (cerpen) Kisah amel seorang perempuan berumur 23 tahun, ketika pulang merantau dicerca berbagai pertanyaan yang sinsitif yang ternormalisasi oleh budaya patriarkal

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Menjadi perempuan tak selamanya indah layaknya dongeng di berbagai siaran televisi. Ihwal, selalu berakhir kebahagian padahal tak semua begitu. Barang kali strata sosial kadang kala menjadi kunci kebahagaian tersebut. Itulah yang terjadi  pada Amelia Imanda.

Ia adalah seorang perempuan yang berumur sekitar 23 tahun. Ia memiliki kepribadian yang amat mandiri. Tentu saja, begitu! Sebab, sejak berumur 10 tahun orang tuanya memilih untuk bercerai. Sejak itu, ia hanya memilih untuk tinggal bersama neneknya. Baginya apabila tinggal bersama kedua orang tuanya hanya meninggalkan kesedihan yang tak pernah usai.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Sejak itu aku memang tidak lagi mengharapkan apapun dari keluargaku. Bahkan sejak itu, aku tak mengenal begitu detail seorang yang dulu kusayang dan kupanggil ayah itu. Ia memilih meninggalkanku, adiku yang berumur 3 tahun, serta ibu yang kulihat setiap harinya hanya menangis untuk menunggu kedatangan ayah. Ia memilih perempuan itu yang dia anggap lebih baik dari pada ibu. Ah, sial mengapa aku menangis?” singkat cerita amelia itu.

Dia menceritakan semua yang terjadi padaku. Aku tak bisa menimpali apapun. Aku hanya terdiam dan mengelus bahunya agar hatinya tetap kuat. Ia melanjutkan kembali ceritanya

“Sebenarnya, aku takut untuk pulang ke kampung dengan usaiku yang tak lagi muda. Sedangkan, adikku mengharapkan kepulanganku.”

Kebinggungan itu amat terbalut di wajahnya. Ia Aku tau, Amelia sudah lama kehilangan cinta, kasih sayang, bahkan impiannya. Sedangkan, apabila pulang, belum tentu mendapat keinginan yang lama yang telah hilang di dalam dirinya.

Namun, bulat tekadnya untuk menemani adiknya yang lama telah berpisah.

Sesampainya, di kampung yang masih asri itu. Ia jumpai rumah yang berwarna merah bata yang arsiteknya seperti rumah tempo dulu. Tentu, rumah itu adalah peninggalan si kakek yang sudah tiga tahun meninggalkannya.

“Mbakkkkkkkk!!!!!!!!” suara yang tidak terdengar asing dan selalu merindu apabila mendengar suara itu. Tentu suara itu tidak lain dan tidak bukan suara “adik Anggun” yang berumur 10 tahun lebih muda dibanding Amelia.

Amelia memeluk adikknya untuk melepas semua kerinduan yang begitu mendalam. Seperti kata pepatah orang, hutang yang tak pernah bisa terbalas di tiap waktu adalah kerinduan. Terobati hanya dengan bersua dengan orang yang dirindu.

“Akhirnya, mbak pulang aku sangat rindu.”

Dibalik kaca yang berwarna hitam, ternyata terdapat perempuan rentan juga menunggu Amelia. Wajahnya ingin menitipkan pesan begitu banyak, namun iya tak kuasa dan amat rapuh. Ia meneteskan air mata, dan amelia mengambil tangan sebagai penghormatan sebagaimana tradisi orang terdahulu.

“Kamu sudah sampai,” dengan suara yang begitu lirih dan mata yang terlihat memerah. Dan dia mengelus kepala si Amelia. Pesan orang dulu jika orang tua mengelus kepala si anak, katanya ada pesan, nasehat, ataupun kerinduan yang ingin dipesankan, namun hanya dapat dikomunikasikan dengan gerak gerik tumbuhnya.

“Lekaslah merapikan pakaian, setelah itu makan agar tubuh tak kelelahan,” tambahnya pula.

Ah sial, rumah ini memang peninggalan kakek, tapi ada sejarah yang begitu mendalam tentang amelia dan keluarga kecilnya. Tak sadar air matanya keluar di peluk matanya. Ternyata pepatah kenangan kuburlah sedalam-dalam itu hanya ilusi. Kenangan itu memanag tak pernah dapat dilupakan walaupun sekuat tenaga melupakan hal itu. Barangkali, kita dapat belajar dari sebuah kata yang bernama “iklas”. Setidaknya mengubah kenangan menjadi sebuah pembelajaran. Bukankan, pengalaman adalah guru yang terbaik untuk kita?

Tradisi ketika sampai di rumah dari perantau, wajiblah bersalaman kepada tetangga dan sanak famili, sebagai kabar bahwa yang telah datang dari perantauan, selain itu sebagai wujud memperkuat silaturhami.

Setelah, membaringkan tubuh yang amat letih, amelia bergegas bersiap untuk melakukan tradisi tersebut. Mendatangi dari satu pintu ke pintu selanjutnya, hanya untuk merajut silaturhami. Namun, na’as yang terjadi beberpa pintu yang didatangi, menanyakan sesuatu yang sensitf bagi Amelia, akan tetapi Amelia menyadari hal itu menjadi lumrah di halaman kampungnya.

“Mel, kapan datang?”sehatu tetangga.

“Tadi, ibu sekitar jam 12.00 WIB,”

“Kamu kapan nikah? Kamu udah kerja? Cepat nikah nanti kamu jadi perauan tua, dan gak laku. Toh, kodrat perempua tetap melahirkan dan di dapur,”

Mendengar itu tidak ada jawaban apapun dari Amelia. Hanya sekedar menimpali dengan senyumana. Ia melajutkan kembali.

“Nanti, kamu kalau nikah jangan cari lelaki yang keluarganya cerai. Biar nanti tidak cerai juga!” tegasnya.

Dalam hatinya tak henti berbicara “Tak mungkin aku menuai nasib yang sama, bukankah setiap orang, baik aku dan keluarga memliki nasib yang berbeda. Mengapa orang lebih cukup lincah untuk mengatur masa depan dibanding pemilik alam ini, tidak jangan tumpah disini, kuat amel , kuat amel. Tuhan tidak memberikan masalah ataupun takdir yang melampaui batas manusia itu sendiri”

Enggeh buk, terima kasih saya pamit enggeh.”

Begitulah pemikiran publik tentang otoritas tubuh seorang perempuan ditambah stigma pada anak broken home. Pemikiran semacam itu ternormalisasi untuk hari ini, utamanya di kampung yang jauh dari segala hirup piruk keadilan gender. Padalah, tidak ada orang yang ingin diperlakukan semacam itu, menyudutkan satu pihak, sebagai “umat yang minoritas” kita sangat mempercayai akan takdir sudah ada yang mengatur. Mengapa, manusia malah lebih lihai menjustifikasi skrenario ketimbang pembuat skrenario yang sesungguhnya.

Tidak hanya dikeluarga amelia juga dihadang pertayaan semacam itu di keluarganya. Dipaksa menikah dengan dalih takut menjadi perawan tua padahal sanak saudara yang lelaki yang umur lebih tua tak pernah dipaksa untuk menikah. Katanya, “Biarkan saja berproses, dan dia akan jadi calon pemimpin”.

Rasa sakit yang menyengat yang dirasa oleh Amelia, apakah perempuan tidak bisa menjadi pemimpin? Bukankah mengarungi rumah tangga tak hanya cukup dengan satu pikiran si suami saja? Bukankah butuh pemikiran dua belah pihak yang sama agar perahu terus berlabuh. 

“Sudah, Amel nanti kamu tak kembali lagi. Dia disini menikah kodratmu hanya di dapur nanti Setinggi apapun pendidikanmu kamu tetap menjadi perempuan yang melayani suami dan membesarkan anak”.

Amelia yang berucap dalam hati, “Sudah ku pahami bahwa pulang mengobati rindu memang ada, namun juga menelan obat pahit karena aku perempuan yang tak kunjung menikah. Sudahlah aku tak ingin membahas itu menyakitkan biarkan aku menjadi perempuan yang bebas atas diriku sendiri”.

Simpulnya Amelia mengatakan, menjadi perempuan seperti badai yang mendatangkan kehinaan. Tapi, ia sadar itu hanya opini publik. Disisi lain, menjadi perempuan adalah anugrah yang patut disyukuri yang memiliki “hak keistimewaan” yang patut dijaga dengan sekuat mungkin.

Tapi, jangan pulang kalau kamu perempuan. Pergilah sejauh mungkin dan kembali apabila kamu telah memiliki kekuatan dan pembuktian untuk mematahkan opini tersebut.

 

Ikuti tulisan menarik Miri pariyas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler