x

uang koin

Iklan

Janwan S R Tarigan (Penggembala Kerbau)

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Agustus 2020

Minggu, 13 Maret 2022 09:01 WIB

Segelintir Orang Kaya Kuasai Aset Nasional; Dimanakah Ekonomi Kerakyatan?

Keterkaitan antara ekonomi dan hukum tampak dalam aktivitas perekonomian yang membutuhkan ketentuan hukum. Tujuannya menciptakan keserasian, keadilan dan hal-hal yang tidak diinginkan. Dinamika ekonomi pasar perlu diatur sebagai rujukan bersama antar pemangku kepentingan sebagai jaminan ketertiban, keamanan, dan keadilan. Tapi ketika 1 persen orang terkaya negeri ini menguasai 50 persen total aset nasional, dimakah keadilan ekonomi itu?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Cita-cita negara demokrasi yakni untuk menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat atas dasar keadilan sosial. Spirit demokrasi berorientasi pada kepentingan rakyat. Sebagaimana filosofinya bahwa kekuasaan atau kedaulatan tertinggi ada pada rakyat dan untuk rakyat. Tujuan tersebut tertuang dalam UUD 1945 sebagai hukum tertinggi dan dasar kebijakan bernegara paling fundamental, termasuk dalam sektor perekonomian.

Guna tercipta keadilan ekonomi, ditegaskan dalam Pasal 33 UUD 1945, bahwa nilai-nilai, cara serta tujuan dari peran negara dalam pengaturan perekonomian nasional dan pengelolaan sumber daya alam yang harus diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi. Perekonomian dibangun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Oleh karenanya UUD 1945 bukan hanya sebagai konstitusi politik, akan tetapi juga konstitusi ekonomi.

Keterkaitan antara ekonomi dan hukum jelas tampak dalam aktivitas perekonomian yang membutuhkan ketentuan hukum guna tercipta suatu keserasian, keadilan dan hal-hal yang tidak diinginkan. Dinamika ekonomi pasar perlu diatur sebagai rujukan bersama antar pemangku kepentingan sebagai jaminan ketertiban, keamanan, dan keadilan. Untuk itu aktor perekonomian diantaranya pemerintah, masyarakat, dan swasta mesti mematuhi norma-norma hukum yang berlaku. Aturan yang ditetapkan berisi keadilan yang pasti, kepastian yang adil, dan kebergunaan untuk menjamin kebebasan yang teratur dalam perjalanan perekonomian. Ketiga elemen tersebut pada akhirnya membawa kesejahteraan dan kedamaian kehidupan bersama.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun realitas menampakkan kesenjangan perekonomian nasional di Indonesia terus meningkat. Data menunjukkan bahwa 1 persen orang terkaya nasional menguasai 50 persen dari total aset nasional. Hal ini bertolak belakang dengan cita-cita demokrasi ekonomi yang menghendaki kesejahteraan yang merata. Oleh karenanya diperlukan ketegasan tafsir oleh Mahkamah Konstitusi atas Pasal 33 UUD 1945 yang mengutamakan ekonomi kerakyatan. Sehingga konsepi demokrasi ekonomi tetap pada rel nilai-nilainya melalui dinamika zaman. Itulah gagasan besar yang disampaikan M. Wildan Humaidi dalam bukunya bertajuk Konstitulitas Demokrasi Ekonomi: Tafsir Ekonomi Kerakyatan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Karya tulis ini merupakan tindaklanjut hasil penelitian tesis beliau yang membuat gagasannya terukur dan komprehensif.

Pesan moral sekaligus pesan budaya di bidang kehidupan perekonomian Indonesia tampak dari keberadaan Pasal 33 UUD 1945. Di dalamnya tidak hanya terkandung susunan perekonomian, lebih dari itu mencerminkan cita-cita dan keyakinan yang dipegang teguh serta senantiasa diperjuangkan untuk mewujudkannya. Amanat konstitusionalnya mengarahkan pada sistem ekonomi yang berdasar atas kebersamaan yang berasaskan kekeluargaan, bukan sistem ekonomi kapitalistik atau pasar bebas.

Konsep perekonomian koperasi yang termuat dalam perjelasan Pasal 33 UUD 1945 telah mengintepretasi filosofi demokrasi ekonomi. Sekalipun penjelasannya sudah dihapuskan akan tetapi pengertian demokrasi ekonomi secara historis tetap harus diacukan pada Penjelasan Pasal 33 UUD 1945. Maka dari itu, pelaksanaan perekonomian melalui instrumen peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam UUD 1945. Konstitusi sebagai hukum tertinggi tak lain adalah “bintang petunjuk” melahirkan berbagai undang-undang di bidang ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam.

Asas kekeluargaan, sebagaimana dikemukakan Tom Gunadi dalam Elli Ruslina, memandang masyarakat bukan sebagai kolektivitas homogen yang terdiri atas individu-individu terlepas satu sama lain, melainkan sebagai organisme moral yang heterogen dengan ciri-ciri wajar berupa kesatuan dan persatuan, variasi dan diferensiasi. Kekeluargaan menekankan nilai-nilai kegotongroyongan, tolong menolong, kewajiban timbal balik, tanggungan bersama, tanggung jawab timbal balik, dan nilai lainnya yang bermakna asasi dan kesetiakawanan bagi manusia. Artinya orang lain dalam kesatuan masyarakat Indonesia adalah sesama, anggota sekawan, dan anggota keluarga sehingga senantiasa harus maju dan sejahtera bersama. Asas kekeluargaan menolak konsep liberal atas perekonomian dan kehidupan ekonomi.

Hal ini secara gamblang disampaikan oleh founding fathers Negara Indonesia dalam merumuskan cita-cita keadilan sosial dalam bidang ekonomi dan kemakmuran yang merata. Oleh karenanya saat menyusun UUD 1945, rumusan Pasal 33 mulanya termuat dalam Bab XIII diberi judul tentang “Kesejahteraan Sosial”. Setelah adanya amandemen Pasal 33 berubah menjadi Bab XIV dengan judl Bab “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial”. Namun demikian penulis berasumsi bahwa pemaknaan ketentuan ayat-ayat di dalam Pasal 33 UUD 1945 harus dipahami secara holistik kaitanya dengan ayat lain dalam pasal tersebut. Tidak dapat digunakan secara pasial dan terpisah-pisah. Pasal 33 UUD 1945 merupakan satu kesatuan jiwa. Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pelaksanaan permohonan judicial review undang-undang yang menggunakan Pasal 33 UUD 1945, memberikan interpretasi yang identik berpangkal pada penafsiran frasa “dikuasai oleh negara” pada Ayat (2) dan frasa “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” yang tertuang dalam ayat (3).

Kajian dalam tulisan ini fokus mengelaborasi putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang di bidang ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam. Tujuannya untuk mendalami artikulasi pemaknaan dan perkembangan Pasal 33 UUD 1945 dalam putusan Mahkamah Konstitusi sebagai pemilik kewenangan menguji undang-undang agar senapas dengan nilai-nilai yang terkandung dalam UUD 1945. Keseluruhan ulasan dalam buku kaya substansi ini disusun menjadi 5 Bab bahasan. Penulis secara tajam melihat fenomena yang dikaji dengan mengungkap celah interpretasi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang atas Pasal 33 UUD 1945. Tidak hanya mengkritik, tulisan ini juga disertai saran konstruktif. Jika disimpulkan ke dalam beberapa kata, maka frasa penting, analisis tajam, kaya ide, serta enak dibaca; patut disematkan pada karya tulis ini. 

Buku terbitan Intrans Publishing Malang ini layak dibaca oleh siapapun sebagai sarana menambah pengetahuan. Utamanya pengajar dan mahasiswa hukum, ekonomi dan ilmu sosial lainnya. Turut pula disarankan dibaca oleh pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tak pandang basis isunya. Gagasanya penting dan menarik untuk dipraktikkan oleh praktisi hukum dan pembuat kebijakan, khususnya Mahkamah Konstitusi, Badan Pembinaan Hukum Nasional, dan Pemerintah; Presiden dan DPR. Melalui tulisan hasil penelitian ini menambah referensi dalam memperbaiki sistem perekonomian Indonesia menuju ekonomi kerakyatan substansial, bukan sekadar bungkus. Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi rakyat secara merata dan adil.

Ikuti tulisan menarik Janwan S R Tarigan (Penggembala Kerbau) lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler