x

Soewarsih Djojopuspito. Dok: Peperpustakaan Nasional

Iklan

Reszky Fajarmahendra Riadi

Guru Sekolah Dasar & Pecandu Belajar
Bergabung Sejak: 4 September 2020

Minggu, 13 Maret 2022 09:15 WIB

Guru Perempuan dan Kerelaan Hati Soewarsih Djojopuspito

Jumlah Guru Wanita di Indonesia dua kali lipat lebih dari jumlah guru pria, hal ini dapat berdampak baik apabila guru wanita dapat menerapkan pikiran dan mentalitas dari Soewarsih Djojopuspito mengenai cita-cita besar untuk bangsanya demi percepatan kualitas pendidikan di Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kampus saya merupakan Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) dibilangan Jakarta. Di Kampus banyak sekali saya menjumpai perempuan, untuk rasio laki-laki berada di dalam kelas bisa dibilang rata-rata 1:4. Asumsi saya ketika itu, profesi guru bisa jadi top five pilihan bagi perempuan untuk mengambil jalan karirnya.

 Dari fenomena itu saya mencoba melihat data mengenai guru di website dapo.kemdikbud.go.id, ternyata dari seluruh provinsi di Indonesia serta sekolah Indonesia di luar negeri (SILN), guru perempuan lebih banyak dibanding guru laki-laki. Data tersebut diambil dari dapodik guru tahun ajaran 2021/2022. Jumlah guru Indonesia untuk perempuan sebanyak 2.321.631 dan untuk laki-laki 967.645. Jumlah guru perempuan selalu unggul secara jumlah baik ditiap provinsi, secara nasional dan internasional (SILN). Dengan data ini kesimpulan yang bisa didapat adalah banyak perempuan yang mengambil jurusan pendidikan guru. Asumsi saya profesi guru dianggap fleksibel sehinga dapat membagi peran sebagai wanita karir, orang tua, serta istri secara seimbang

Perempuan terkenal lebih sabar, dan mempunyai metode pangasuhan anak secara otodidak karena kelembutan hatinya. Minimal untuk mengajar, kedua hal tersebut adalah pondasi ketika ingin mengembangkan keilmuaan lainnya, terutama ilmu dalam mengajar (pendagogik). Sehingga perempuan memilih jalan karir menjadi guru, menurut hemat saya adalah pilihan yang tepat. Pada tulisan ini saya akan mencoba mengenalkan seorang tokoh perempuan, yang juga berprofesi sebagai guru

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kali ini kita akan mengenal Soewarsih Djojopuspito, siapa dia? Dia adalah Istri dari Soegondo Joyo Puspito, yang memimpin Kongres Pemuda pada tahun 1928. Soewarsih masuk ke sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) pada 1918, MULO bisa disebut Sekolah Menengah Pertama. Setelah lulus, Soewarsih melajutkan ke sekolah pendidikan guru untuk bangsa Eropa (Europeesche Kweekschool). Setelah selesai dia tidak memilih mengajar sekolah kolonial. Ia memilih menjadi guru dengan gaji pas-pasan di "sekolah liar"(Perguruan Taman Siswa) yang didirikan oleh kaum nasionalis tanpa subsidi dari gubernemen.Latar belakang pilihan mengajar Soewarsih, dikarenakan ketika ia sedang sekolah, gurunya membacakan sesuatu dari Max Havelaar, ia merasakan kembali menemukan hidup yang bermakna dan tahu ke mana ia harus mengarahkan masa depannya. Bagi yang belum membaca Max Havelaar, sederhananya buku tersebut menceritakan tentang ketidakadilan kekuasaan kolonial.

Soewarsih memilih mengajar di Taman Siswa setelah lulus pada tahun 1932 dengan gaji pas-pasan, padahal dia mempunyai kapabilitas untuk mengajar sekolah untuk bangsa Eropa yang bisa menaikan penghasilannya berlipat-lipat. Namun dia menemukan hasrat untuk mengabdikan dirinya demi cita-cita yang diinginkan dirinya yaitu memimpin bangsanya yang 95% buta huruf.

Di sekolah itu ia bertemu dengan Soegondo Joyo Puspito yang menjadi Kepala Sekolahnya. Menurut Gerard Termorshizen sejarawan dari Universitas Leiden, Soegondo dan Soewarsih menikah dengan keadaan politik yang represif karena adanya pemberontakan komunis di Banten pada tahun 1926. Pemerintah dan masyarakat Belanda menjadi beringas selama bertahun-tahun, sehingga para kaum pergerakan dan guru-guru "sekolah liar" harus siap di datangi polisi dan dilarang mengajar. Karena situasi tersebut akhirnya Soegondo dan Soewarsih harus hidup dengan nafkah yang berat berlarat-larat. Soewarsih beralih pekerjaan dari guru dan menjadi penulis dan penerjemah buku. Dari situasi tersebut saya mengingat Nietzsche, Amor fati fatum brutum (Cintailah takdirmu walaupun itu kejam). Sepertinya Soewarsih sangat mencintai takdirnya, walaupun dengan keterbatasannya masa itu .

Dari Soewarsih saya beranggapan bahwa jumlah guru perempuan di Indonesia bisa menjadi salah satu percepatan untuk kualitas pendidikan di Indonesia, jika mentalitas Soewarsih tertanam dalam benak guru tersebut, yaitu bekerja untuk bercita-cita mulia demi bangsanya. Karena dua pondasi yang guru perempuan punya yaitu kesabaran dan kasih sayang dalam mengasuh peserta didik.

Cita-cita apa yang harus di perjuangkan untuk percepatan kualitas pendidikan di Indonesia? jika Soewarsih tergerak karena sebuah buku, saya dapat menyarankan buku bertema pendidikan yang sangat baik sekali untuk dibaca yaitu Pendidikan yang berkebudayaan, Histori, Konsepsi, dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif karangan Yudi Latif. Buku tersebut hasil kontemplasi yang sangat mendalam mengenai pendidikan di Indonesia, dimulai dari uraian sejarah pendidikan di Indonesia, dan langkah-langkah yang harus dilakukan agar percepatan pendidikan bukan gagasan yang utopia.

Sebelum gagasan ini dilakukan, guru perempuan era kini harus selesai dengan dua hal terlebih dahulu. Pertama carilah laki-laki yang mapan karena tidak selamanya kita dapat mencintai takdir, kita bukan Nietzsche. Kedua, laki-laki tersebut dapat mendukung karir sebagai guru. Di akhir tulisan ini saya ingin mengingatkan bahwa guru perempuan bukan guru biasa-biasa saja, namun guru agen percepatan kualitas pendidikan di Indonesia.

 

Ikuti tulisan menarik Reszky Fajarmahendra Riadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB