x

Cover buku Tambera

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 16 Maret 2022 07:20 WIB

Tambera - Pergumulan Cinta dan Kolonialisme yang Menindas

Tambera adalah novel karya Utuy Tatang Sontani yang terbit pertama kali tahun 1949. Dalam novel ini digambarkan betapa kejamnya orang Eropa terhadap penduduk Banda. Namun demikian ada juga cinta yang terselip dalam masa kolonialisme yang mengakibatkan kekalahan lahir batin orang lokal.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Tambera

Penulis: Utuy Tatang Sontani

Tahun Terbit: 2011 (cetakan kelima)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Balai Pustaka

Tebal: iv + 298

ISBN:979-690-066-1

Salah satu sastrawan yang saya kagumi adalah Utuy Tatang Sontani. Saya pertama mengenal nama ini dari guru Bahasa Indonesia saat SMA. Saya menyukai Utuy Tatang Sontani karena kisah-kisah yang dibangunnya begitu nyata dan mudah dicerna. Alurnya tidak rumit. Novel-novelnya penuh dengan pertentangan batin yang disajikan secara mendalam tetapi tidak rumit. Sayang sekali karya-karya beliau sempat dilarang oleh Pemerintah Orde Baru karena beliau menjadi anggota Lekra, sebuah komunitas kebudayan yang menjadi underbow PKI. Utuy Tatang Sontani tak pernah bisa pulang ke Indonesia dari kepergiannya ke Uni Soviet. Ia meninggal di Moscow pada tahun 1979.

Seperti novel-novelnya yang lain yang sudah saya baca, Tambera juga menyajikan kisah dengan alur yang tidak rumit. Alurnya kronologis dari awal sampai akhir. Penyajian konflik batin juga muncul dalam novel ini.

Berbeda dengan novel-novel lainnya yang menggunakan bumbu percintaan, novel ini justru memilih bumbu kehidupan seorang anak kecil menjelang remaja. Utuy Tatang Sontani memilih cara bercerita yang tidak mudah. Sebab membangun konflik dengan tokoh anak kecil menjelang remaja tentu lebih sulit daripada kalau memilih tokoh orang dewasa yang terbelit konflik percintaan. Namun Utuy Tatang Sontani begitu berhasil membangun kisah yang sangat menarik melalui tokoh “Tambera.”

Kisahnya sendiri mengambil tempat di Pulau Lontor, sebuah pulau di wilayah Maluku. Pulau Lontor adalah pulau yang terkenal menghasilkan rempah-rempah, khususnya pala. Waktu yang dipilih adalah adab 16, disaat orang-orang Eropa memburu rempah sampai ke Maluku. Spanyol, Inggir, Belanda dan Portugis berlomba-lomba untuk mendapatkan rempah-rempah langsung dari pusatnya. Maluku.

Kedatangan orang-orang Eropa yang penuh muslihat ini digambarkan dengan sangat baik oleh Utuy Tatang Sontani dalam Tambera. Portugis yang abai digambarkan dengan seorang anak bernama Visano. Visano adalah anak seorang lelaki Portugis dengan perempuan lokal. Visano sangat bangga mempunyai darah Barat, walaupun ayahnya tak pernah lagi muncul memperhatikannya.

Kelicikan Inggris dinyatakan dengan hadirnya Tuan Willington, seorang pedagang yang selalu menipu penduduk lokal dalam jual beli pala.

Sementara kedatangan Belanda yang licik dan kejam digambarkan lebih panjang dalam novel ini. Kedatangan Belanda diawali dengan datangnya Van Speult. Awalnya van Speult berperan sebagai penolong penduduk lokal Pulau Lontor. Van Speult begitu royal memberi uang melalui Kepala Kampung (Imbata) untuk membangun benteng yang konon tujuannya adalah untuk melindungi orang Lontor dari serangan Portugis. Namun kenyataannya setelah benteng selesai dibangun, justru penindasan yang dilakukan oleh Belanda kepada penduduk lokal.

Utuy Tatang Sontani tidak hanya memposisikan penduduk setempat sebagai penduduk yang bodoh dan penurut. Tetapi dalam novel ini Utuy Tatang Sontani juga memunculkan tokoh-tokoh yang berani, seperti tokoh Kawista. Tokoh yang menentang kehadiran Belanda ini memang akhirnya kalah dalam melawan Belanda, namun hadirnya tokoh yang berani melawan ini sangat menarik untuk menunjukkan bahwa masyarakat tidak begitu saja menyerah kepada penjajah yang secara persenjataan lebih kuat.

Yang paling menarik dari novel ini adalah pergumulan Tambera sebagai seorang anak asli Pulau Lontor tetapi terombang-ambing dengan pilihannya untuk tetap tinggal di dalam Benteng bersama dengan Clara, seorang gadis Belanda keponakan van Spuilt.

Tambera adalah anak Kepala Kampung (anak Imbata dengan Wabuni) yang disiapkan untuk mengganti posisi ayahnya. Namun kesedihan karena dipisahkan pertemannya dengan sepupunya (Wadela) menyebabkan ia menjadi pemurung. Ia seperti tidak peduli lagi dengan segala yang terjadi dikampungnya. Ia tidak berminat untuk bekerja, tidak lagi berminat untuk menggantikan posisi ayahnya sebagai kepala kampung.

Pertemuannya dengan Clara membuat Tambera merasa mempunyai tujuan hidup lagi. Ia senang bertemu Clara karena dia bisa belajar membaca. Dan ia jatuh cinta. Tambera memilih untuk tinggal di dalam benteng. Ia berperilaku layaknya seorang Belanda. Ia berpikir layaknya seorang Belanda.

Kekejaman Belanda semakin meningkat. Pemberontakan Kawista gagal total. Mereka yang kalah dibuang keluar dari Pulau Lontar. Ayahnya kehilangan posisi sebagai Kepala Kampung. Ibunya meninggal karena sedih atas perilaku Tambera yang lebih suka tinggal di Benteng dekat dengan Clara daripada tinggal di kampung.

Meski telah kehilangan semuanya, tetapi Tambera tetap tidak merasa bersalah. Sebab ia menganggap kekalahan orang-orang di kapungnya karena mereka bertindak tidak dengan berpikir.  “Ah, salah sendiri tidak menggunakan pikiran,” demikian Tambere merespon segala kemalangan yang dihadapi oleh orang-orang di kampungnya.

Di sini Utuy Tatang Sontani menunjukkan betapa mempelajari kemajuan Barat tanpa cinta tanah air bisa sangat berbahaya. Menyerap ilmu barat, yaitu bisa membaca, menulis dan berpikir adakah sesuatu yang penting. Tetapi tanpa cinta tanah air, maka semuanya menjadi sia-sia. Namun Utuy Tatang Sontani juga berpendapat bahwa cinta mungkin bisa menjadi jembatan segala pertentangan.

Untuk mempertegas pendapatnya itu, Utuy Tatang Sontani menutup novelnya dengan Tambera yang terhina. Saat para serdadu Belanda merayakan kemenangan atas orang kampung, ia dihukum untuk mencuci pakaian kotor. Ia tak bisa memandang Clara. Tambera merasa dihina. “Akan pergi saja aku ke tempat jauh; jauh meninggalkan benteng dan meninggalkan kampung, sebab apa guna tinggal di Banda, bila di sini dihina, di sana dibenci.” Namun demikian Tambera masih merasa bahwa suatu saat, setelah dia bisa pergi jauh, ia akan bersatu kembali dengan Clara. Gadis yang dicintainya. “Biarlah! Pada suatu hari nanti! Aku dan dia: Akan pergi jauh, jauh sekali. Senyuman kami akan menyilaukan orang Belanda, bahagia kami akan membisukan orang kampung, pertalian kami akan menyatukan mereka dalam upacara yang gembira.”

Apakah cinta akan menyatukan dua kutub yang berbeda? Apakah cinta akan menjembatani penindas dengan yang tertindas? Entahlah. Novel ini ditulis tahun 1949, dimana belum semua orang merasa sudah merdeka. 664

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

2 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB