x

Presiden Soekarno bersama Hamengkubuwana IX, April 1949. Foto: Wikipedia

Iklan

Mohammad Imam Farisi

Dosen FKIP Universitas Terbuka
Bergabung Sejak: 17 Februari 2022

Kamis, 17 Maret 2022 11:54 WIB

Empat Makna di Balik Keppres Hari Penegakan Kedaulatan Negara

Keppres tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara memperingati peristiwa bersejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 memberikan makna dan tafsir baru dalam historiografi Indonesia. Keprpres ini menafikan historiografi yang berbau kultus pribadi. Bahwa SU 1 Maret bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Juga merupakan simbol dari perang dan diplomasi, dan perjuangan bersama berbagai komponen bangsa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam sejumlah kanal media masa dan media sosial, publik heboh berpolemik terkait dengan Keppres Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara HPKN). Inti perdebatan sesungguhnya hanya tentang satu hal, yaitu nama Soeharto tidak disebutkan di dalam Keppres. Padahal selama ini Soeharto  dikenal publik sebagai tokoh utama dalam peristiwa tersebut. Keppres tersebut disorot sebagai tindakan bunuh diri pemerintah, sebagai keputusan politik yang sulit diterima akal sehat dan “a-historis”, karena menghapus nama Soeharto dan jasanya dalam peristiwa heroik tersebut, atau kata sejarawan Asvi Warman, “Memuat diktum yang kurang solid”. (Kompas.com, 05/03/2022).

Menarik untuk mencermati kembali naskah akademik yang menjadi sebagai bahan dasar bagi penyusunan Keppres tersebut. Di bagian Latar Belakang Naskah Akademik dinyatakan bahwa, “selama ini dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 ada pereduksian atas peran dari tokoh-tokoh besar seperti Soekarno, Mohammad Hatta, PB. Jenderal Soedirman, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, serta tokoh-tokoh penting lainnya, dan cenderung menonjolkan serta mengkultuskan perorangan sebagai tokoh sentral.”

Mencermati Naskah Akademik SU 1-Maret 1949, ada sebuah catatan penting yang bisa diungkap di balik penerbitan Keppres tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara HPKN). Yakni agar peristiwa besar dan penting seperti SU 1-Maret 1949 mendapatkan pengakuan yang layak oleh negara. Setidaknya ada empat makna di balik permohonan tersebut penetapan SU 1 Maret sebagai Hari Nasional melalui Keppres.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

SU 1-Maret sebagai Hari Nasional

Makna pertama adalah agar SU 1 Maret diakui dan diapresiasi oleh negara sebagai Hari Nasional. Menurut para penulis NA, kelayakan tersebut karena SU 1 Maret 1949 dalam historiografi Indonesia memiliki makna penting bagi nusa dan bangsa Indonesia, yaitu dalam rangka penegakan dan pengakuan kedaulatan negara baik dari dalam maupun dari luar. Walaupun, dalam catatan sejarah, gema SU 1 Maret 1949 sama sekali tidak pernah ditonjolkan, karena para pejuang waktu itu menilai, bahwa episode ini tidak melebihi episode-episode perjuangan lain, setidaknya sampai permulaan tahun 1970-an. Sesuai Keppres No.2/2022, SU 1 Maret dijadikan sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara (HPKN).

Pengakuan dan penetapan ini sama seperti yang diberikan oleh negara terhadap beberapa peristiwa penting dan bersejarah lainnya. Seperti penetapan tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional (Keppres No.67/1961); tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila (Keppres No.153/1967); tanggal 15 Desember sebagai Hari Juang TNI-AD (Keppres No.163/1999); tanggal 18 Agustus sebagai Hari Konstitusi (Keppres No.18/2008); tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri (Keppres No.22/2015); tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila (Keppres No.24/2016); dll.

Namun demikian, tampaknya belum semua peristiwa bersejarah yang dimohonkan untuk ditetapkan melalui Keppres sebagai Hari Nasional. Misalnya: peristiwa heroik di Ajang Medan (Oktober 1945); Bandung Lautan Api (24 Maret 1946); Puputan Margarana Bali (20 November 1946); pertempuran di Palembang (1—5 Januari 1947); dll. Karena itu, sangat penting bagi publik untuk lebih memahami dan mendalami bagaimana sebenarnya mekanisme dan persyaratan pengajuan suatu peristiwa bersejarah untuk ditetapkan sebagai Hari Nasional.

 

SU 1-Maret adalah Perjuangan Kolektif

Makna kedua adalah agar SU 1 Maret diakui, diapresiasi, dan dimaknai oleh negara sebagai hasil “perjuangan kolektif” dari berbagai komponen bangsa. BUKAN hasil perjuangan oleh “seorang tokoh”.

Jika kita mencermati latar belakang sejarah penetapan hari-hari nasional, ada peristiwa sejarah yang terjadi dan ditetapkan atas dasar perjuangan seseorang tokoh. Tetapi, ada juga yang merupakan hasil perjuangan bersama/kolektif. Salah satunya adalah SU 1-Maret. Dalam Naskah Akademik maupun konsiderans Keppres No.2/2022 dinyatakan bahwa peristiwa SU 1 Maret 1945 merupakan peristiwa nasional yang melibatkan berbagai komponen bangsa.

Mereka adalah Hamengku Buwono IX (Sultan Yogyakarta dan Menteri Pertahanan) sebagai penggagas. Panglima Besar Jenderal Soedirman sebagai pemberi perintah; para founding fathers Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai pemberi persetujuan dan penggerak. Didukung oleh Syafruddin Prawiranegara, dan tokoh-tokoh penting lainnya dari kalangan TNI, Kepolisian, Laskar Sabrang, pelajar, pejuang, keraton, ulama, santri hingga rakyat biasa. Mereka semua bahu-membahu menjadi satu kesatuan yang menyatu dalam rangka menyukseskan tujuan untuk merebut dan menegakkan kembali kedaulatan negara pasca proklamasi yang telah dikuasai oleh penjajah (Naskah Akademik, 2022).

Di dalam NA disebutkan bahwa ide atau gagasan awal SU 1 Maret 1949 berasal dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Beliau berpendapat bahwa dibutuhkan kejutan-kejutan dan upaya untuk memberitahukan dunia internasional bahwa Republik masih ada, dengan dukungan kekuatan militer dan aksi-aksi militer yang bisa ditunjukkan kepada dunia internasional. Atas seizin PB. Jenderal Soedirman dan koordinasi dengan Soeharto selaku komandan Wehrkreise III, terjadilah SU 1 Maret 1949 (berubah dari rencana awal 28 Februari 1949).

Dalam catatan lain, dijelaskan bahwa gagasan tersebut kemudian diejawantahkan dalam rencana serangan yang melibatkan pihak AURI (unruk siaran/pemberitaan); anggota penerangan Komisariat Pusat Pemerintah (Pejabat PDRI di Jawa); Pepolit (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan; dan Wakil Kepala Staf Tingkatan Perang (KSAP) Kolonel TB. Simatupang. Bahkan kendali seluruh operasi di wilayah Divisi III tetap berada di pucuk pimpinan Divisi III, yaitu Kolonel Bambang Sugeng.

 

SU 1-Maret dan Kultus Pribadi

Makna ketiga adalah agar SU 1-Maret diakui, diapresiasi, dan dimaknai oleh negara tanpa harus melahirkan “kultus pribadi”. Dalam Naskah Akademik SU 1 Maret 1949 tegas dinyatakan bahwa selama ini peristiwa SU 1-Maret “cenderung menonjolkan serta mengkultuskan perorangan sebagai tokoh sentral.”

Seperti dikatakan oleh Kuncoro Hadi, sejarawan dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) (Kompas.com, 05/03/2022), bahwa Keppres tersebut ingin membangun paradigma baru yang selama ini seolah hilang dalam historiografi Indonesia. Bahwa sejarah dan pahlawan sejatinya merupakan “peristiwa kolektif,” yang melibatkan peran banyak tokoh, bukan terpusat pada “seorang tokoh” saja.

Bahwa peristiwa SU 1 Maret tidak harus disertai dengan dramatisasi melalui film yang menjadikannya sebagai sebuah karya sinematografi, seperti “Janur Kuning” (1979) dan “Serangan Fajar” (1982), yang sangat kental dan mengesankan upaya glorifikasi peran seseorang, dan menafikan peran tokoh dan komponen-komponen lain yang juga tidak kalah penting . Seakan-akan tokoh inilah yang paling penting dalam keseluruhan peristiwa sejarah. Tanpa tokoh tersebut, tidak ada itu kedaulatan negara. Ibarat film-film superhero seperti the Avangers, Bathman, Superman, Spiderman, Ramboo, dll. yang bisa melawan para penjahat bahkan satu kompi/batalyon tantara hanya seorang diri atau dengan beberapa orang saja.

Menurut sumber lain (p2k.unkris.ac.id/), Letkol Suharto adalah salah seorang pelaksana lapangan untuk penyerangan, bukan penggagas, inisiator atau pemilik ide apalagi pemegang peran sentral. Perintah berperang diberikan oleh atasannya sejalan dengan Perintah Siasat 1 yang dikeluarkan oleh PB. Sudirman pada bulan Juni 1948.

 

SU 1-Maret sebagai Rangkaian Sejarah Pasca-Proklamasi

Makna keempat adalah agar SU 1-Maret diakui, diapresiasi, dan dimaknai oleh negara sebagai “tafsir baru,” yang menempatkan SU 1 Maret sebagai bagian dari rangkaian peristiwa sejarah yang panjang. Diawali prolog (gagasan, inisiatif, rencana, skenario, dll.) dan berakhir pada epilog (solusi akhir). Demikian pula dengan SU 1 Maret 1949, bukanlah sebuah peritiwa yang berdiri sendiri, terjadi hanya sehari saja.

SU 1 Maret 1949 merupakan rangkaian panjang dari peristiwa-peristiwa sejarah yang mendahului dan mengikutinya, sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia hingga pengakuan kedaulatan negara oleh Belanda, dan kembalinya tekad komponen bangsa untuk meninggalkan federalisme kembali ke NKRI. Dengan pemahaman seperti ini, peristiwa SU 1 Maret 1949 merupakan paduan antara “diplomasi” dan “perang”, yang niscaya melibatkan berbagai komponen bangsa, dan menjadi satu kesatuan yang menyatu dalam rangka menyukseskan tujuan untuk menunjukkan penegakan kedaulatan negara pasca proklamasi.

Jika mau jujur, dunia internasional juga tidak akan pernah tahu bahwa telah terjadi SU 1 Maret 1949, jika tidak ada peran dari stasiun-stasiun radio. Adalah Opsir Udara III, Budiardjo sebagai pimpinan stasiun Radio PC AURI di Kecamatan Playen Gunungkidul yang memberitakan perebutan kembali Ibu kota Yogyakarta tersebut ke seluruh dunia. Berita ini kemudian secara estafet dikirimkan oleh Sersan Basukihardjo, operator stasiun PHB AURI PC-2 kepada Sersan Udara Kusnadi untuk disiarkan di stasiun radio Bidar Alam, Sumbar.

Berita tersebut juga dilaporkan oleh Opsir Udara III Dick Tamimi dan Umar Said kepada Ketua PDRI Mr. Sjafruddin Prawiranegara di Bukit Tinggi. Selanjutnya, berita direlay AURI Takeungon Aceh, kemudian ke Rangoon-Birma, New Delhi, India, hingga akhirnya ke Washington, kantor pusat Dewan Keamanan PBB. Stasiun Radio PC AURI ini menjadi “saksi bisu sejarah” SU 1 Maret 1949, dan telah dijadikan museum dengan sebuah penanda berupa monemen stasiun Radio PHB AURI- PC-2 yang dibangun dan diresmikan oleh Sri Sultan HB IX tahun 1984.

 

Tafsir Baru SU 1 Maret 1949

Makna-makna di atas, adalah tafsir yang bisa direkonstruksi dari Naskah Akademik yang disusun dibawah koordinasi pemerintah DI Yogyakarta melalui Dinas Kebudayaan. Melibatkan para sejarawan profesional dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada yang telah memiliki reputasi yang luas dalam penelitian dan penulisan sejarah. Karena itu, agak sulit dan terlalu naif untuk menerima pendapat Hardjuno yang menyatakan bahwa “naskah akademik dari Keppres tersebut telah memutarbalikkan sejarah dan mencederai martabat sejarawan nasional, serta merupakan produk murahan yang jauh dari nuansa intelektual dan menjilat pemerintahan Jokowi” (suara.com, 08/03/2022).

Tafsir baru ini tentu akan ditentang keras oleh tafsir sebelumnya yang sudah menjadi mainstream yang telah dibangun sejak tahun akhir 1970an melalui dramatisasi film-film heroisme glorifikasi seperti “Janur Kuning” (1979) dan ”Serangan Fajar” (1982), yang menempatkan Letkol Suharto sebagai tokoh utama. Bahkan, film-film tersebut menjadi film wajib tonton bagi siswa. Efek dramatisasi seperti itu niscaya menimbulkan kesan mendalam yang sulit digantikan. Dalam konteks ini, apapun bukti, fakta dan pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis yang dihadirkan, ketika semua itu tak terjelaskan oleh paradigma lama yang sudah dianggap mapan, akan dianggap sebagai sebuah anomali, dan "bukan fakta sejarah". Demikian pula sebailknya.

Inilah yang menjadi motivasi utama mengapa para penulis Naskah Akademik merasa perlu untuk menulis ulang sejarah sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949, dengan menempatkan peran tokoh-tokoh utama dimaksud pada posisi yang semestinya. Di sisi lain, Keppres berupaya membangun paradigma baru tentang sejarah dan pahlawan sebagai “peristiwa kolektif,” yang melibatkan peran banyak tokoh, bukan hanya terpusat pada “seorang tokoh” saja. Atau seperti kata Adian Napitupulu (09/03/2022), Keppres HPKN selain berupaya meluruskan sejarah terkait gagasan, ide dan perintah tentang SU 1 Maret 1949, juga merupakan upaya "menjaga" nama Soeharto dengan membatasi agar tidak terjadi klaim berlebihan terhadap peristiwa sejarah tersebut.

Sejarah bangsa/nasional sesungguhnya bukanlah sejarah tentang orang-orang secara “individual/personal” yang pada akhirnya berujung pada “kultus pribadi”. Sejarah adalah bangsa/nasional sejatinya memuat perjuangan sebuah bangsa/negara secara kolektif, sebuah “sejarah kolektif”. Semoga Keppres HPKN ini menjadi momentum bagi kita untuk mengakhiri sejarah seperti ini, dan lebih pada perjuangan kolektif seluruh bangsa, walaupun tentu ada tokoh yang menjadi penggagas dan penggeraknya.

Namun yang pasti, historiografi akan selalu ditafsir dan ditulis ulang oleh setiap generasi dengan semangat zaman dan perspektif masing-masing. Karenanya, tak ada tafsir sejarah yang bersifat tunggal. Seperti sejarah Supersemar, peristiwa SU 1 Maret 1949 juga masih penuh kontrovesi, dan memiliki beberapa versi, yang masing-masing menganggap versinya yang paling benar  (p2k.unkris.ac.id/).

 

 Tangsel, 16 Maret 2022

Ikuti tulisan menarik Mohammad Imam Farisi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu