x

foto ilustrasi si Kemis dari internet

Iklan

Hafid Maulana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 Maret 2022

Sabtu, 19 Maret 2022 09:32 WIB

Namanya Kemis Namanya Minggu Namaku Sabtu

“Aku ini raja semata wayang! Dewamu yang terakhir giginya bogang!”

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

NAMANYA KEMIS NAMANYA MINGGU NAMAKU SABTU

Kemis adalah raja. Raja segala raja tapi tak di sini, melainkan kerajaannya di atas awan yang paling tinggi. Sebab jaman dewa-dewa telah lama dikubur orang, maka dapatlah Kemis sesumbar.

“Aku ini raja semata wayang! Dewamu yang terakhir giginya bogang!”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Mana panglimamu, Mis? Mana tentaramu? Siapa permaisurimu? Mana kudamu? Kau perlu pedang bergagang berlian, atau tongkat kepala naga, atau istana wangi melati, Mis. Dan mana mahkotamu, Mis? Ahh, mana semua itu!” kataku.

“Baiklah kalau itu maumu. Maka, kau panglimaku dari sekarang. Jadi sana siapkan bala tentara dan jangan kau lupa panji-panji serta genderang, wahai panglima! Permaisuri urusan belakangan; raja yang bijak tak akrab dengan kurungan. Kuda, aku tak perlu kuda! Lihat ini, aku punya kaki sekuat baja Hanil. Tanah dunia sudah kujajaki tak peduli tahun, tak peduli hari. Pedangku disimpan butho, siap kutarik sewaktu-waktu kalau ada pemberontak kacangan yang sembrono. Tongkat, apa matamu slendro, heh! Bukankah ini tongkat berkepala binatang purba. Gajahsaurus, Babiodon, Kadaleseratop.”

“Apa itu, Mis! Tyrannosaurus, Smilodon, Triceratops! Dan itu apa, itu payung bobrok, Mis!”

“Mungkin ini payung bobrok, tapi tadi ini mengkilap seperti matahari, kokoh sekuat gunung Kawi, berkepala tiga binatang purba yang kau sebut itu! Jadi ingatlah, wahai panglimaku, waktu jelas-jelas adalah guyonan yang sama sekali tidak lucu, yang mampu membuat perut membuncit dan jalanmu kaku! Ya, ini payung bobrok, tongkatku payung bobrok! Dan Istana omong kosong! Apa itu yang di langit kalau bukan punyaku dengan benteng-bentengnya mendung hitam. Lihat tiang-tiangnya yang kususun dari tumpukan elang Jawa, juga atapnya yang adalah marmer biru yang kudongkel dari halaman Balai Pemuda. Lihat meja-meja emas upeti Kumpeni itu, lihat karpet-karpet bulu domba Idul Adha itu, juga selambu-selambu sutera yang diserahkan langsung oleh daokeh-daokeh pasar Kapasan! Lalu apa hidungmu buntu, heh! Apa tak sampai itu harum tamanku, taman impian Risma yang suka taman. Sudahlah. Pergi sana, buatkan aku kopi, panglima!”

Ya, aku suka Kemis. Kami orang kampung merasa dia tidak merepotkan, hanya sedikit susah diatur. Lihat dia sekarang, seenak bermain-main di tong sampah.

“Mana kopiahku, mana dia!” katanya.

Sudah setengah jam ini aku menyaksikannya. Ada bungkus supermi yang diangkatnya lalu dia pakai di kepala. Ah, ternyata tidak cocok jadi kopiah, terlalu plastik, dan saat dia menggoyang-goyangkan rambutnya yang tak karuan, si bungkus supermi mengeluarkan suara gesekan jahil, atau selalu lepas kalau disenggol angin. Lalu dia berhasil menemukan secuil tempe: nyam, nyam. Lalu ada sebungkus misteri, apa ini? Dia menoleh kanan-kiri: ini rahasia, jangan ada mata-mata! Kemis melangkah dua kali ke celah gang buntu di belakang tong sampah dan duduk menekuni sebungkus harta karunnya. Aku memanjangkan leherku, telingaku sampai pada bunyi kresek, kresek, kresek. Dan begitu saja Kemis berdiri, membuang pandang selebar-lebarnya sampai jauh ke langit dan mencegat si emprit yang tampak celingukan di atas kabel listrik.

“Ahaa! Kau mau?” tanya Kemis yang kujawab dengan gelengan.

Tak seberapa jauh kuingat, saat itu aku dibalut demam. Ibu menggendongku sambil menggumamkan ayat Kursi, dan aku tenggelam dalam ketiaknya yang hangat serta kenangan pada kebergantungan suci. Nanti pada waktunya surga itu akan kembali dirindukan seseorang. Buah cobaan itu untuk sekali lagi, atau selamanya, akan menggodanya pada pengetahuan yang paling berguna, yaitu surga berada di balik ketiak hangat semua perempuan! Jadi, panasnya udara malam itu tak ada apa-apanya dibandingkan derajat yang mengepul dari ubun-ubunku yang sampai menguap menjadi air di mata Ibu. Sudah 2 malam aku berhasil membuatnya tak tidur. Semua yang dimasukkannya ke mulutku kutelan bulat-bulat lalu kumuntahkan sebagai cairan encer berwarna hitam, yang terkadang sambil membuang angin, itu juga ikut terselip keluar. Aku anak satu-satunya yang laki-laki di antara adik-adik perempuanku yang akhirnya nanti kuketahui jumlahnya tujuh, jadi aku harus hidup! Karena siapa yang dapat diimpi kelak membantu Bapak jika tiba waktunya Bapak bungkuk, semper, mengguk, hancur organ dalamnya sebab remuk dipakai seumur hidup menjadi kuli bangunan! Dan Bapak bercita-cita menjadikanku tukang! Maka malam ke 3 itu, saat demam dan muntaberku memuncak: jam 12 pas Ibu selesai membaca ayat Kursi yang ke tiga belas dan aku belum tidur juga, dan Kemis lewat di depan rumah seng pinggir stasiun Wonokromo kami. Bubuk ya, le. Nanti kalau ndak bubuk dibawa Kemis, lho, bisik manis Ibuku. Nah, paginya aku sembuh.

Sebungkus misteri yang tadi ditawarkan Kemis padaku dibawanya dan digelar di bawah matahari. Terkuak satu per satu: bedak, gincu, pensil alis, minyak wangi, pemerah pipi. Pasti milik salah satu lonte yang kemarin malam tunggang langgang saat ada obrakan. Pada saat menegangkan itu mereka akan sekenanya melempar apa saja yang ditentengnya agar larinya ringan. Kami di kampung suka keluar rumah atau menyemangati mereka dari dalam jendela ketika pertunjukkan ‘kejarlah daku-kau kutangkap’ itu. Hidung belangnya terkadang hanya bercelana dalam, tak bersandal, sedang si penghibur masih ber-BH, atau hanya berkemul sarung, mengepit tikar: wuss, gedebak-gedebuk, gedebak-gedebuk. Semua orang riang, saling menebar senyum girang dan kami para penduduk kampung bersorak karena mendapat hiburan. Hanya para satpol pp yang selalu membuatku heran atau sedikit takut. Sebab ada semacam kepuasan malu-malu yang bergairah di muka mereka saat kejar-kejaran dengan apa yang mereka sebut sebagai ‘sampah masyarakat’, yang jelas-jelas bukan sampah seperti yang sedang dibuat mainan oleh Kemis ini, juga bukan sampah kering atau sampah basah, juga bukan sampah organik seperti yang dijelaskan Bu Guru di sekolah. Lalu sampah apa? Apanya yang sampah? Setahuku, yang mengejar itu orang, yang dikejar juga orang. Bukankah seharusnya para satpol pp itu kebingungan dengan pekerjaan kejar mengejar itu? Karena seperti si Mince, lonte yang jadi tetanggaku, yang pernah suatu malam terjerat operasi, lalu 3 hari kemudian sudah ngobrol pagi lagi dengan Ibu, malah hutang uang lima ribu untuk membeli sayur bening, tempe-tahu. Dan lalu ditawari kreditan daster oleh Bu Joni, dan malamnya Mince kerja lagi, juga malam-malam berikutnya sampai hari ini. Jadi, ahh, suatu hari aku juga akan tahu. Seperti bunyi pepatah lama: Itu semua cuma permainan, yang kalah pantang menyerah, yang menang tak mau bosan.

“Aku ndak mau, Mis. Nanti aku dikira banci. Aku kan laki-laki!” kataku.

“Hah, banci? Dasar gendeng! Ini senjata buat ke masjid, tahu! Kata pak Ustad, ‘Kalau kalian mau ketemu Gusti Alloh, ya harus wangi! Harus mandi, rapi!’ Yang lanang ganteng koyok klenteng, yang wedok ayu seperti yuyu! Jangan waktu malam mingguan saja kalian dandan klimis, necis, mbelgedes! Alloh suka yang wangi-wangi, tahu!” katanya dengan bangga menunjukkan isi bungkusannya yang tak lagi menawarkan rahasia itu.

“Aku ndak mau, Mis. Nanti dimarahi Ibu.”

“Ahh, kau memang kentir! Sana, minta kopi! Minta kopi!”        

Saat aku kembali dengan membawa sebungkus wedang kopi, Kemis sudah selesai berdandan. Gincunya dipakai sebagai penebal alis mata, minyak wangi menyeruak dari rambutnya, pemerah pipi dia laburkan ke muka, pensil alisnya untuk penegas garis bibir dan ada satu titik kehitaman digoreskannya di dagu sebelah kiri.

“Apa itu, Mis? Tahi lalat, ya?” tanyaku,

“Pintar! Ini, Rano Karno!” katanya. Lalu aku diberinya bedak dengan pesan, buat Ibumu. Bagaimanapun, Kemis ini tahu juga terima kasih. Dia bebas meminta apa saja kepada kami penduduk kampung. Tak pernah banyak rupa apa yang dimintanya, selain kopi atau nasi memang ada juga apa-apa kemauannya yang kami bantah, sebab jika selalu menuruti orang gila berarti kau sama saja. Dan tentu bagi yang sebangsa Kemis urusan waras atau gila itu sangatlah membosankan, sebab hal itu adalah mengenai siapa yang pintar main hitungan. Sedang golongan Kemis sudah lama bebas dan tak tertarik dengannya. Perhitungan adalah mimpi siang bolong bagi mereka. Seperti juga kami yang menempel di pinggiran rel ini, kami sangat tahu dengan itu. Karena apa yang tersisa untuk dihitung dari kemelaratan kami, dan siang bolong kami bukan tempatnya untuk bermimpi? Maka kami cukup cerdik untuk menghidarinya dengan menghaluskan persetujuan kami kepada Kemis, dan menganggap kegilaan hanyalah nasib buruk yang tak lebih dari 5 senti jaraknya dari tengkuk kami semua, atau katakanlah kewarasan adalah sejenis apes-apesan. Dan jika tiba saatnya aku akan siap dengan semua itu.

Begitulah kami terlarang untuk memberinya baju. Karena Kemis adalah raja, kami tak berani menyinggungnya, atau sampai membuat Kemis merasa harga dirinya terbeli, jangan sampai, nanti bisa dibuatnya kampung ini ramai. Sendirinya, Kemis sudah punya 13 lapis baju di badan, juga ada mungkin 10 lapis celana. Jadi dia terlihat gemuk meski aku tak percaya. Walau sekecil ini aku sudah tahu mana mungkin orang bisa gemuk dari memakan sampah.

“Mis, bapak pesan, besok nomornya berapa?” kataku berjongkok melihatnya mengaduk-aduk isi tas plastik merah besar: koper bawaan si Kemis yang anti air. Dan, bim salabim! Seperti sulap di TV, dari dalamnya keluar sebuah tongkat berkepala tengkorak kecil yang bopeng dan teyeng.

“Ini tongkatnya Nabi Musa!”

“Mis, besok nomornya berapa?” ulangku tak tertarik. Toh, aku sudah tahu tentang tongkat itu minggu lalu.

“Aku mau kopiah. Minta ibumu kopiah, kopiah!”

“Buat apa, Mis?”

“Buat apa? Dasar kau gendeng! Kentir! Ya buat sembahyang! Besok aku mau Jemuahan di Masjid Agung.”

Ibu cuma cekikikan sambil menggoreng pindang saat mendengar ceritaku kalau Kemis minta kopiah buat Jumatan. Kata ibu, “Ambilkan kardus itu aja. Mana boleh Kemis masuk masjid Agung, wong baunya seperti comberan. Sana, tanyakan apa dia mau makan!”

Aneh! Saat aku keluar Kemis sudah menghilang. Kopernya ditinggal begitu saja, mencurigakan! Bungkusan wedang kopinya bahkan masih utuh, di samping tongkat Nabi Musanya yang patah jadi tujuh. Dan di ujung gang kudengar deru, lalu selayang pandang melaju truk berisi para gelandangan, pengemis, preman, dan tak mungkin kulupa itu teriak kegirangan Kemis sebelum disurukkan satpol pp, “Kopiah! Mana kopiah, Jon! Aku besok mau Jemuahan!”

Selanjutnya sampai aku besar, tak ada lagi cerita tentang Kemis. Kabarnya, dia melawan habis-habisan saat diminta para petugas untuk melepaskan baju-bajunya dan disuruh mandi. Tentu, mana ada raja yang mau disuruh-suruh! Jadi Kemis perlu dipukul, yang entah bagaimana mengena pada kepalanya. Kepala itu bocor. Hingga berminggu-minggu Kemis jadi ling-lung, menolak makan, tak mau berpakaian, dan mati.

Tapi juga ada penggantinya bagi kami, yaitu Minggu. Anak-anak yang rewel makan, demam, atau yang suka minta mainan yang aneh-aneh pada ibunya akan dengan begitu saja berhenti tangisnya, mengkerut berontaknya, jika sudah, “Heh, diam! Ibu panggilkan Minggu, lho ya. Nggu, Minggu. Anak ini gowoen, Nggu!” Beberapa kali aku diminta bapak minta nomor pada si Minggu, tapi setelah tak pernah tokcer, bapak bilang, “Minggu itu kurang lama gilanya. Masih belum pengalaman.” Memang, Minggu jauh lebih muda dari Kemis, bajunya masih tiga lapis. Masih genit suka mengganggu gadis-gadis kampung kami, yang lari terbirit-birit ke belakang rombong bakso setelah Minggu minta cium, yang lalu tambah kami soraki saat kami sore-sore menikmati matahari dan semilir bau pesing di selasar rel sepor Wonokromo kami.

Dan suatu saat bapakku mati sebab ditendang Satpol pp. Bapak berhenti jadi kuli mengingat umur dan tubuhnya yang sudah terasa remuk, dan berganti jadi penjual lem tikus kapur barus. Bapak menggelar meja dagangannya di jembatan penyeberangan Gudang Garam pasar Wonokromo, yang jika ada obrakan mau lari kemana, mau melompat? Ya bisa hancur sampai di bawah, dilindas kendaraan aneka rupa. Mau menyerah? Bapak tak pernah punya tabungan untuk menebus dirinya sendiri apalagi barang dagangannya yang pasti juga ikut hancur diinjak-injak mereka para ‘penegak kebersihan kota dari sampah masyarakat’ itu. Dan jika harus menambah hutang lagi ibu sudah malu. Ya, jadi bapak melawan. Jadi bapak perlu ditendang yang entah bagaimana sampai telak ke bagian dadanya. Bapak muntah darah. Mati. Ibu sedih bukan kepalang. Kalau aku tak bertindak dan menyerah pada hati yang patah, adik perempuanku yang ada 7 bisa hancur tak karuan!

Maka, datanglah hari itu, yang aku sudah siap sedari dulu! Ya, jadilah aku pergi jauh, berputar-putar mencari tongkatku, menelisik jejak kudaku, membawa serta mahkota dan baju kebesaranku yang sudah lapis tujuh, dan selalu pulang pada hari Sabtu untuk memberi ibu nomor yang jitu.

Ikuti tulisan menarik Hafid Maulana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler