x

Pasar Wonokromo jaman dulu dari internet.

Iklan

Hafid Maulana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 Maret 2022

Sabtu, 19 Maret 2022 09:34 WIB

Aku Lupa Sampai Tak Menanyakan Namanya

O, cinta, hidup dan manusia kau sepuh menjadi baru dan mengkilap.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

AKU LUPA SAMPAI TAK MENANYAKAN NAMANYA

Mendengar semua yang dikatakan laki-laki itu, aku lupa sampai tak menanyakan namanya. Dan yang lebih parah, karena perjumpaan kami tadi, aku jadi telat bertemu kekasihku yang cemburuan. O, sabarlah, sayangku sayang.

Sebut saja ini adalah sore yang menyenangkan di selasar Ahmad Yani, yang sejuk dan matahari pamit diiringi barisan angin kecil periang. Ada cecuit peking kaji di kejauhan, entah di mana di langit genit kekuning-kuningan. Debu dan asap knalpot yang bertebaran di udara begitu sedap ditelan hidung kita, lalu mata ini akan terharu biru oleh semarak karnaval harian para pekerja yang rindu pulang. Di mana rumah adalah stasiun pengisian tenaga agar lecutan-lecutan di esok hari tak seberapa terasa, untuk diulang, berulang-ulang. Suatu saat kita akan menjumpai sore seperti ini, atau sore memang selalu seperti ini. Namun jika begitu, maka pada yang dulu tentu ia juga pernah terjadi, seperti sore yang diingatnya dengan mesra, waktu dia masih muda.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kenapa dia bisa sampai di Surabaya, dia sudah lama tak peduli tentang itu. Melamun adalah pekerjaan pemalas, kata bapaknya, dan dia memegang itu sebagai pelumas otot-otot mudanya yang sedang mengeras. Kira-kira awal 80-an waktu itu, dan dia datang dengan dua setel pakaian. Dengan bangga dia menyebut dirinya sebagai perantauan! Gagah sekali nasibnya, yang tak lama setelah dia menetap di petak-petak Lumumba, maka segeralah dia menjadi kuli angkut pasar Wonokromo yang megah. Jika diuangkan dengan uang sekarang tentu yang didapatkannya adalah omong kosong. Kira-kira tak sampai 1000 penghasilannya setiap hari dulu dari hasil mengangkut ini-itu, dari depan kios dagangan siapa saja menuju parkiran. Terkadang tentu ada orang yang murah hati yang melepas uang kembalian 25 atau bahkan 50 rupiah, dan malam tentu lebih indah jika bisa digenggamnya ceperan sampai sekeping 100. Asik! Tapi jangan lupa menabung, le. Dia ingat itu sebagai jimat untuk mengenang ibunya, karena tak ada itu foto keluarga atau orang tersayang yang ikut dibawa-bawa di dalam dompet seorang perantauan gagah perkasa. Ini bukan suguhan film-film atau buku-buku pembohong! Katanya, bahkan dia baru punya dompet saat pasar Wonokromo terbakar yang kedua kalinya. Saat itu banyak dompet, jam tangan, sepatu, topi, pita-pita plastik, banyak beterbangan bersama api yang menari-nari girang. Orang-orang berebutan, untung dia cepat keluar dengan cara membuang satu sak tepung terigu yang dipanggulnya dari toko Mbung Sin yang ada di tengah-tengah pasar, lalu berlari menabrak apa saja dan bertemu dompet, hingga tak khawatir lagi dia menyimpan uangnya di saku celananya yang bolong.

O, cinta, hidup dan manusia kau sepuh menjadi baru dan mengkilap.

Semua tidak sama dengan gedung yang sekarang ada di situ itu, namanya saja lain. Karena dulu namanya jelas: di seberang stasiun Wonokromo, di daerah yang kampung-kampung sekelilingnya berbau nama Wonokromo, berdiri pasar Wonokromo. Dua lantai, lantai dasar tempat kebutuhan pangan atau barang-barang dapur atau barang basah, dan lantai atas tempat pakaian-pakaian, kain, atau kebutuhan untuk bergaya yang cantik-cantik. Mukanya ada empat: yang menghadap stasiun adalah parkiran dan lapak-lapak bongkar pasang, yang mengarah ke masjid atau jembatan layang adalah tempat jagal daging dan ayam, yang lurus dengan jalan raya dan jembatan penyeberangan Gudang Garamnya adalah toko-toko emas, sedang yang bertemu dengan gang kampung Jagir adalah kios barang rongsokan. Yang di pusat semua itu ada deretan penjual dawet ketan hitam, segala macam lupis, kelanting, bubur, lumpiya, kue sus, kue lumpur dan semua jajan yang ala pasar, yang selalu berbau manis di bagian ini meski tak kalah gurih tumpukan sampah singgasana Wak Jupri si pengemis semper buta.

Betapa meriahnya pasar Wonokromonya dulu, katanya. Penuh ruang-ruang rahasia dan misterius tempat para tukang copet, tukang gendam, atau pengepul SDSB bersarang. Tapi karena semua serba harus diganti, maka sekarang pindah rupalah pasar itu menjadi Darmo Trade Center, yang dari jauh sudah kelihatan menjulang, dan begitu didekati tampak berlantai-lantai meninggi hampir ke awan. Dan yang tembok-temboknya liat padat, tak ada pengemis yang bisa lewat; yang diselimuti kaca-kaca tembus pandang, lantainya selicin cermin, dan lampu-lampunya tajam mengawasi, di mana tukang gendam-copet-penjahat yang nekat berkarir di dalamnya pasti tidak fokus. Tapi bau asli pasar Wonokromo lama tetap ada di bagian terbawahnya, tempat bebumbuan palawija, krupuk-krupuk dan pernak-pernik dapur lainnya, atau segalanya yang masih melibatkan tawar-menawar, dan masih memanusia. Sementara seluruh kota ingin meniru komplek besi yang dingin, gagah, dan berjarak, maka siapa yang gagal menjadi sedingin, segagah, dan semenjaga jaraknya dengan kota diberi bagian kenangan terbawahnya, tempat kehidupan masih mempunyai bau.

O, cinta, hidup dan manusia kau sepuh menjadi baru dan mengkilap. O, cinta, jangan sekali-kali kau kurang ajar dan minggat.

Dan dia juga sama dengan semua pemuda normal lainnya, katanya. Dengan otot yang panas, mata yang berbinar siap melahap semua gemerlap tenaga kota, sebab malam di sini adalah tantangan untuk bersuka ria selamanya. Klimis sudah rambutnya, pakaian yang dia sahut begitu saja saat pasar terbakar sudah dicuci wangi dan dia siap mengadu kasih di rel sepor dengan entah siapa malam selepas Isya ini. Sebagai pemanasan bolehlah 5 rupiah buat cap ji ki, siapa tahu ada untung di badan, jadi sampai sebelum Subuh dapat pula dia berganti tiga kekasih berurutan. Hebat, asik! Hantu-hantu yang menawan! Cekikikan setan yang menjerat semangat! Topi Miring yang lezat! Gelora, gejolak hasrat, betapa semua itu berisik, dan asik. Nafsu masa muda, asik! Maka sebelum dimulai, di jomplangan sepor perlu sejenak dia mengatur degup jantung.

Hingga, ya ampun, siapa itu yang berkerudung, semampai menunduk anggun memasuki kampung samping jomplangan sepor. Ya ampun, degup jantungnya bukannya tidak bisa diatur, malah seperti berhenti denyut nadinya, malah bergetar dengkulnya, hampir pucat ia. “Ayo, Cak. Angak ho!” tantang sahabatnya dari Madura untuk segera memasuki pentas nafsu gembira ria. Tapi dia tidak peduli. Malah dia ngeluyur membuntuti apa yang menjadi tambatan hati. Ya, si gadis berkerudung yang menenteng tas kresek isi tembakau pesanan bapaknya itu dia ikuti sampai rumah. Minggu depannya dia meminta pada bapak si gadis untuk mengawini anaknya. Si anak ayu lencir berkulit kuning itu hanya menunduk malu-malu dan bapaknya setuju. Bapaknya yang pengangguran, ibu si gadis yang berjualan tahu petis, sehabis Magrib si gadis mengajar ngaji anak-anak tetangga serta adiknya yang ada 3. Dan pernikahan digelar dengan gelaran tikar, piring-piring kue tok, nagasari, lemper, otok-otok, onde-onde, nasi kuning, yang penting sah di depan modin yang bibirnya ndoweh dan saksi tetangga kanan-kiri yang membaca shalawat Nabi.

O, cinta, hidup dan manusia kau sepuh menjadi baru dan mengkilap. O, cinta, jangan sekali-kali kau kurang ajar dan minggat. Sebab, O, cinta, kasihanilah kami, kami ini bisa sekarat.

Istrinya yang ayu perawan, katanya, , mulus bersih dan tak berbau anyir seperti kekasih-kekasih jam-jaman yang pernah dipujanya dulu, benar-benar adalah kiriman khusus untuknya yang hanya menuntutnya menjadi imam dalam keluarga. Maka jadilah dia belajar sembahyang, mengaji terbata-bata, dan tak lupa menabung seperti pesan ibunya. Lengkaplah sudah. Tak lagi dia repot mencari makanan saat pulang dari memanggul aneka rupa barang di pasar. Tak lagi dia harus membagi sekotak kamar tripleknya di Lumumba dengan tikus dan kecoak. Rumahnya sekarang berdinding gedek, berlantai tanah, berkamar dua. Satu miliknya dan istri, satunya bapak-ibu mertua yang sabar dan baik hati, dan ke 3 adik kecil yang tak sekolah tidur di depan televisi hitam-putih. Istrinya pandai menimba air di sumur, kegemarannya menyedu sayur bening dan dadar jagung. Istrinya juga diupah tetangga seribu rupiah setiap bulannya dari mengajar mengaji dan sedikit matematika. Dia bekerja super giat, sampai jadi membungkuk tulang punggungnya, sampai setelah 10 tahun lebih terkumpulah modal untuk membuka usaha sendiri yang dicita-citakannya: membuka usaha tambal ban di samping pintu air kali Rolak yang menjadi stanplat bemo jurusan Rungkut. Alhamdulillah, sampai bergulir bersambung menjadi Innalillahi: bapak-ibu mertuanya mati semuanya, bergantian tentu saja, meninggalkan hanya sepasang sendok garpu kuningan yang berkepala lakon wayang. Dia pajang warisan itu sesuai permintaan istrinya di atas tv yang masih tetap hitam-putih.

Dan memang semua isi rumah itu adalah rongsokan. Tapi jika orang mau lebih teliti maka akan tampak memancar di antara kemelaratan mereka yang begitu gencar, harta karun paling gemilang: si Kotijah, anak perempuan pertama mereka yang ayu menik-menik berlesung pipit sebelah. “Pak, Ijah besok mau jadi guru, ya pak.” “Guru? Bagus itu. Tapi guru harus rajin sekolah. Ndak boleh bolos. Kudu ngerjakan PR.” “Ya, iya Pak.” “Dan kamu juga harus rajin sembahyang. Ini sudah jam 4, ayo ngaji sana. Matikan tivinya.” “Ya, iya Bu.”

Kampung itu punya juga akhirnya masjid yang dulunya mushola. Anak-anak mengaji setiap sore lalu Magribnya berjamaah. Setiap penduduknya sudah hafal setiap muka tetangga. Ramai riuh sorenya melepas keringat, rasan-rasan, kopi-kopi depan lawang, cangkruk, dan juga di ujung gang 2 yang mepet tanah Pertamina, para bapak-bapak dan pemuda mengasah keterampilan mereka dalam adu balap burung dara. Tapi dia tak pernah berjudi lagi, biar itu SDSB yang murah meriah, atau sekedar sutil yang dibuka di tengah jalan di gang 4 bersama cukrik dan paloma. Bukannya tak berani, dia memang sangat mencintai istrinya maka dia tak mau jika istrinya yang sedang mengandung anak kedua mereka itu jadi cemberut dan mogok makan. SPP Kotijah saja harus sampai dobel 4 bulan sekali dibayarnya, belum lagi nanti kalau sudah masuk SMP, belum lagi nanti kalau adiknya keluar, belum juga perut tiga saudara iparnya yang semua masih iseng-iseng ngamen di lampu merah. Jadi uang apa yang mau dia pakai judi. Penghasilan dari tambal bannya selalu pas jika tak mau dikata kurang, dan kelebihan penghasilan sepertinya adalah sesuatu yang sangat jarang.    

O, cinta, hidup dan manusia kau sepuh menjadi baru dan mengkilap. O, cinta, jangan sekali-kali kau kurang ajar dan minggat. Sebab, O, cinta, kasihanilah kami, kami ini sudah sekarat.

Tapi, katanya, semua ya begitu itu. Mengalir kadang lambat kadang deras seperti aliran pintu air kali Rolak jika tiba harinya dikuras. Adik terkecil istrinya mati tenggelam di kali Mas saat ikut kakaknya mencari ikan sakarmut. Si kakak yang trauma sampai jadi gila dan terakhir dia melihatnya mencari makanan, sudah tak mau berpakaian, di bak sampah Kebun Binatang. Tinggal adiknya yang tengah, yang perempuan, yang akhirnya dinikahi Cak Sul si rentenir. Lumayan, bagaimanapun juga Cak Sul itu orangnya baik, loman, tak perhitungan dengan uang. Dia jadi bisa minjam modal dengan bunga yang ringan untuk istrinya melahirkan dan membeli kompresor sebab pompa angin manual sudah membikin punggungnya yang bengkok seperti udang tak bisa lurus berdiri, tidak efisien. Dan istrinya juga benar-benar ibu yang tak mau diam. Jadi si istri minta dibelikan mesin jahit, dia mau belajar dan buka jahitan. Maklum, anak sudah dua. Dan keduanya juga butuh sekolah. Apalagi akhir 90-an semua orang juga tahu, tak ada yang murah, apalagi bagi yang memang sudah di bawah-wah sekali.

O, cinta, hidup dan manusia kau sepuh menjadi baru dan mengkilap. O, cinta, mari kemari kami di sini.

Dan berjalanlah apa adanya dia dan keluarga tercintanya yang selalu pas-pasan itu. Sampai anaknya yang kedua lulus SMA dan kerja di pabrik sepatu. Insap, diberinya nama anak itu dengan doa agar dia menjadi anak laki-laki yang selalu ingat pada bapak-ibunya. Dan alhamdulillah, memang Insap itulah yang menanggung semua keperluannya kini. Insap anaknya gemi, katanya, banyak diincar gadis-gadis sepantarannya sebab sudah bisa nyicil sepeda motor sendiri. Sementara dia sudah tak kuat lagi menambal ban di bawah seringai matahari dan lezatnya polusi, dan lagi selasar kali Rolak kini sudah bersih diobrak Risma. Tapi biarlah, sudah kenyang, katanya, dia dengan hidup yang sering membuatnya lapar ini, dan dia tak pernah mengeluh pada Tuhan. Toh, anak mbarepnya, Kotijah tersayang, jatuh cinta dan diboyong seorang pemuda gagah, yang konon pegawai bank anak Keputran, mereka sudah menikah dan punya anak tiga. Dia sudah jadi mbah, lalu apalagi yang mau dicari. Juga istrinya mati tahun lalu. Yang meskipun tak pernah gemuk dan hanya berhias kalung 17 karat, 5 gram, tapi dia tahu istrinya bahagia karena dia berhasil mengaji dengan lumayan lancar, dan pernah mengajak istrinya pelesir ke Kenjeran, juga dia menjauhi minuman keras dan judi, dan sama sekali tak pernah ada selain istrinya yang dipujanya dalam hati. Sederhananya, dia telah mencintai istrinya dengan benar. Bulan-bulan sebelum matinya si istri banyak jahitan menumpuk belum dikerjakan.

O, cinta, hidup dan manusia kau sepuh menjadi baru dan mengkilap. O, cinta, mari kemari kami di sini di akhir hari.

Hingga aku lupa tak menanyakan namanya sampai kami bertukar salam di halte depan Polda, ini tadi. Sedang dia dengan terbungkuk-bungkuk, kemudian berjalan menyicil selangkah kecil-kecil mengggandeng dua cucu laki-lakinya. Yang besar kelas 2 SD, adiknya TK, satu lagi adiknya yang masih menyusu pada Kotijah jadi ikut dibawa ke dalam sel tahanan Polda. Katanya, Kotijah tersayang yang jatuh cinta pada suaminya dulu itu ternyata termakan gombal mukiyo laki-lakinya yang mengaku sebagai pegawai bank, aslinya pengangguran. Mereka ditangkap sebagai komplotan spesialis pencuri susu formula di Royal. “Lucu ya, Mbak.” katanya sebelum pergi menaiki bemo hijau tadi, “Urip ini ndak mau kalau saya tua. Lha ini, saya jadi punya anak lagi. Muda lagi.”

O, cinta, hidup dan manusia kau sepuh menjadi baru dan mengkilap. O, cinta, mari kemari kami di sini di akhir hari, hancurkan kami sekali lagi.

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Hafid Maulana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler