x

Ilustrasi vaksin covid-19.

Iklan

Indonesiana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 24 Maret 2022 12:23 WIB

Ketergantungan terhadap Vaksin Tiongkok, Melemahkan Diplomasi Indonesia

Saat ini waktu yang tepat bagi Indonesia meninjau strategi vaksinasi nasional dan menyempurnakannya. Selama ini Tiongkok telah memberikan bantuan pasokan kesehatan kepada Indonesia senilai Rp 10 miliar. Angka tersebut masih terus meningkat. Kini waktunya meninjau manfaat yang telah dicapai. Juga mempertimbangkon beragam pilihan vaksinasi yang tersedia. Menlu Retno Marsudi mendukung diversifikasi vaksin supaya tidak terlalu tergantung pada Tiongkok. Berikut analisa Mas Husni, Pemerhati Laut China Selatan dari Harmoni Nusantara Institut, Jakarta.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Mas Husni, Pemerhati Laut China Selatan dari Harmoni Nusantara Institut, Jakarta

Mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari menyebut Covid adalah tidak natural tapi rekayasa. Dia mengatakan, percuma saja jika masih ada yang mencoba membantah dan menutupi kenyataan yang sudah diketahui seluruh dunia. “Membantah dan menutupi justru membahayakan umat manusia sedunia. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana mengatasi masalah itu, bukan ikut menutupi, yang bisa mengorbankan lebih banyak orang,” tegasnya.

Sebelumnya, Siti Fadilah di akun Youtube Karni Ilyas Club, 8 Agustus 2021, menyatakan virus corona jika natural tidak akan terjadi seperti ledakan di beberapa negara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Siti Fadilah menilai ada kepentingan tertentu yang dituju jikalau Covid-19 bukan terjadi secara alamiah. “Kalau natural, mestinya perjalanannya tidak seperti itu. Ini loh yang akhir-akhir ini, India, Indonesia, Singapura, nah itu rada aneh," kata Siti Fadilah.

Lebih lanjut Siti Fadilah menjelaskan jika virus corona merupakan hasil rekayasa, selalu ada pihak-pihak yang diuntungkan. "Kalau masih punya kepentingan ya pandemi terus. Pasti ada untungnya, kalau tidak menguntungkan buat apa," ujarnya.

Namun, terkait teori konspirasi virus corona dibantah Dicky Budiman, epidemiolog dari Griffith University Australia. Menurutnya, hal itu tidak masuk akal dan dapat dijelaskan dengan data serta penelitian. Termasuk ketika menganggap wabah corona adalah skenario, atau rekayasa, maka harus ada pihak yang benar-benar diuntungkan. Termasuk tudingan kepada China di balik konspirasi penyebaran virus corona, terlebih dampak yang ditimbulkan bagi negara tirai bambu itu. “Nah kalau sekarang yang merekayasa negara, faktanya tak satupun negara yang mendapat keuntungan dari Covid-19,” kata Dicky.

Asal-usul virus corona masih menjadi tanda tanya besar, pandemi yang pertama kali terjadi di Tiongkok itu kini masih tertutup misteri. Meski begitu, berulang kali publik menyinggung soal Laboratorium Wuhan yang berada di balik pandemi yang kian meluas penyebarannya. Hingga saat ini teka-teki asal-usul virus corona masih belum ditemukan, pandemi masih menyebar dengan mutasi-mutasi yang terjadi.

Strategi Vaksin Nasional

Seiring dengan gelombang varian Omicron (COVID-19) yang sedang dihadapi oleh Indonesia, sudah tepat waktu untuk meninjau kembali strategi vaksinasi nasional dan bagaimana strategi tersebut dapat disempurnakan.

Dikutip laman menpan go.id, pemerintah menerapkan strategi nasional penanganan pandemi Covid-19 terkini lewat kebijakan yang adaptif dan progresif. Dia berharap Sangat diharapkan semua pihak berusaha adaptif menghadapi Covid-19 yang masih ditetapkan sebagai kondisi kedaruratan global.

"Sehingga dapat menghantarkan kita melahirkan kebijakan yang progresif menuju Indonesia yang semakin mampu hidup menjalani transisi menuju masyarakat produktif aman Covid-19," ujar Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Prof. Wiku Adisasmito dalam Keterangan Pers Perkembangan Penanganan di Graha BNPB, Selasa (1/3/2022) yang disiarkan kanal YouTube Sekretariat Presiden.

Pemerintah terus membangun semangat jajarannya di daerah maupun pusat dalam meningkatkan kemampuan mengenali situasi melalui pemantauan dinamika data dan kebijakan per regional, nasional, bahkan global secara rutin. Hal ini menjadi modal yang kuat agar Pemerintah dapat mengambil keputusan yang tepat seiring adanya perubahan tren kasus, perkembangan varian dan manifestasi gejalanya, serta perubahan kemampuan masyarakat hidup berdampingan dengan Covid-19.

Dalam penyesuaian strategi penanganan Covid-19 terdapat 3 instrumen pengendalian utama. Yaitu menyesuaikan Pengetatan protokol kesehatan berdasarkan analisis situasi, meningkatkan upaya pemenuhan kebutuhan vaksinasi untuk semua dan menyesuaikan upaya testing, tracing dan treatment (3T) yang spesifik sesuai kerentanan daerah dan sub populasi tertentu. Ketiganya sebagai upaya komprehensif menekan penularan dari berbagai arah.

Lebih jelasnya, pada instrumen pertama terdapat beberapa upaya. Pertama, penyesuaian operasional sektor sosial ekonomi dibarengi monitoring ketat pembukaan bertahap. Nantinya kebijakan sistem bubble pada beberapa daerah terus disempurnakan seiring peningkatan kesiapan dan kapasitas daerah. Tentunya, mempertimbangkan aktivitas masyarakat di waktu-waktu rentan seperti periode libur panjang untuk menghasilkan kebijakan gas-rem yang tepat.  Sehingga penyesuaian kebijakan kedepannya sulit dihindari.

Kedua, penyesuaian mekanisme skrining kesehatan untuk pelaku perjalanan luar negeri (PPLN) berkelanjutan. Terkini, pemerintah segera memberlakukan pemangkasan durasi karantina sesuai riwayat vaksinasi dan disusul produk hukum yang memperjelas implementasinya di lapangan. Rencananya seiring monitoring dan evaluasi yang dilakukan, dengan catatan kondisi kasus terkendali, maka kebijakan durasi karantina terus direlaksasi seiring rencana pembebasan karantina di awal Bulan April mendatang.

Pada instrumen kedua, meningkatkan upaya pemenuhan kebutuhan vaksinasi untuk semua. Pertama, menitikberatkan pemenuhan cakupan vaksinasi dosis kedua secara nasional untuk mengurangi risiko populasi rentan. Mengingat, kekebalan seseorang yang divaksinasi secara penuh akan lebih optimal. Untuk itu, strateginya memasukkan cakupan vaksinasi dosis kedua sebagai indikator tambahan penentuan level kabupaten/kota di Jawa - Bali. Khususnya lansia, akan berdampak penurunan angka kematian. Karena data Kemenkes (21 Januari - 26 Februari 2022) menyatakan 57% kasus meninggal akibat COVID-19 dikontribusikan pasien lansia.

Kedua, menggencarkan pemberian dosis lanjutan (booster) untuk mengoptimalkan kondisi orang sehat. Pemerintah telah menetapkan jarak antar booster sejak vaksinasi dosis kedua bagi seluruh masyarakat, tanpa terkecuali yaitu minimal 3 bulan setelah vaksinasi primer lengkap. Agar kekebalan tubuh tetap terjaga sehingga meminimalisir peluang tertular maupun perburukan gejala jika sakit, khususnya pada kelompok rentan.

Ketiga, memenuhi kebutuhan dosis vaksin dengan pendayagunaan seluruh sumber daya yang dimiliki. Bukti langkah nyata pemerintah meningkatkan akses vaksin bagi masyarakat. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan Fatwa MUI No. 8 Tahun 2022 tentang Produk Vaksin COVID-19 Merah Putih produksi PT. Biotis Pharmaceuticals dan Universitas Airlangga (Unair) yang halal dan suci untuk digunakan.

Lalu, pada instrumen ketiga yaitu menyesuaikan upaya 3T yang spesifik sesuai kerentanan daerah dan sub-populasi tertentu. Upayanya, pertama, melakukan 3T sedini mungkin dan memperhatikan karakteristik gejala varian yang paling banyak tersebar di komunitas. Saat ini Kemenkes telah mengeluarkan panduan terkini penanganan kasus di masa gelombang Omicron. Dimana terdapat kekhasan durasi isolasi yaitu jika pada hari ke-5 hasil PCR sudah negatif atau sudah menjalankan isolasi selama 10 hari, maka kasus positif dapat beraktivitas termasuk mengakses fasilitas publik.

Kedua, dengan menyesuaikan kapasitas fasilitas kesehatan sesuai tingkat kedaruratan. Pemerintah memberikan arahan bagi daerah yang kondisi kasusnya mulai meningkat untuk menyiapkan upaya kontijensi. Demi menekan angka kematian, maka daerah dengan kasus yang tinggi diharapkan memenuhi 2 - 3 kali kebutuhan fasilitas isolasi terpusat dari kebutuhan riil di lapangan.

Ketiga, mengukur kekebalan masyarakat yang telah terbentuk melalui sero survei pada daerah tertentu. Khususnya daerah dengan cakupan vaksinasi dan infeksi yang tinggi. Hasil ini dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan penyesuaian kebijakan berbasis bukti.

 

Tiongkok Penyedia Terbesar Vaksin di Indonesia

Dalam merespon pandemi virus corona, Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia, Xiao Qian menyatakan negaranya berkomitmen untuk memperkuat kerja sama vaksin Covid-19 dan terus memberikan bantuan dan dukungan bagi Indonesia berupa alat serta paramedikal.

Khususnya, terkait kerja sama vaksin, dia mengatakan bahwa kerja sama vaksin kedua negara selalu berjalan cepat dibandingkan dengan kerja sama antara Tiongkok dan negara-negara lain di kawasan.

Xiao Qian menegaskan, solidaritas dan kerja sama adalah senjata umat manusia paling ampuh untuk mengalahkan bencana. Di tengah situasi ini, Tiongkok kemudian menerbangkan 40 ton peralatan medis dari Shanghai ke Indonesia yang meliputi; masker sekali pakai, masker N95, alat pelindung diri, kacamata medis, sarung tangan medis, penutup sepatu, termometer infrared, dan topi bedah. tersebut diangkut menggunakan pesawat militer yang mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.

Tidak sampai disitu, bantuan kedua pun datang kembali dari Tiongkok pada Juni 2020 silam. Xiao Qian, memberikan bantuan kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), yang berisi sekitar 100.000 alat uji Polymerase Chain Reaction (PCR), 70.000 alat pelindung diri, 70.000 masker N95, dan 1,3 juta masker bedah.

Dengan komitmen yang telah diberikan oleh Tiongkok melalui Presiden Xi Jinping untuk memerangi Covid-19, negara Asia Tenggara terutama Indonesia, dianggap sebagai salah satu negara prioritas untuk penanganannya. Hal ini dibuktikan dengan adanya Tiongkok memberikan pasokan kesehatan kepada Indonesia sejak pandemi melanda pada bulan Maret. Hingga saat ini, Indonesia telah menerima 50 unit ventilator portable, 150.000 test kit PCR, 80.000 masker medis, 1,4 juta masker bedah, dan 80.000 alat pelindung diri. Secara total, Tiongkok telah menyumbangkan bantuan kesehatan sebesar Rp 10 miliar dan angka tersebut masih terus meningkat. Pemerintah Tiongkok telah mendorong perusahaan kedua negara agar bergandengan tangan dalam mengembangkan vaksin Covid-19, dimana dilakukan dengan perusahaan terkait dari kedua belah pihak dan sudah merencanakan uji klinis fase III.

Hingga saat ini, seperti dikutip Antara, perusahaan farmasi Sinovac dan Sinopharm telah mengekspor vaksin ke Indonesia dalam 16 gelombang, dengan rincian 6,4 juta vaksin siap pakai dan 115,5 juta vaksin setengah jadi.

Selain itu, Dubes Qian mengatakan bahwa kedua pihak akan memperdalam kerja sama dalam seluruh rangkaian industri vaksin, termasuk dalam penelitian, pembelian, produksi, dan distribusi, serta membantu Indonesia dalam membangun pusat produksi vaksin di kawasan dan memberikan kontribusi yang lebih besar dalam penanganan pandemi di Indonesia.

Walaupun Tiongkok merupakan negara pertama yang memberikan vaksin yang sangat dibutuhkan kepada Indonesia, namun perlu dicatat bahwa vaksin Sinovac tidak dihibahkan kepada Indonesia secara gratis.

Pada Forum Ekonomi Dunia di Davos pada Januari 2022, Presiden Tiongkok Xi Jinping dengan bangga menyatakan bahwa Tiongkok telah mendistribusikan 2 milyar dosis vaksin kepada berbagai negara dan berencana akan mendistribusikan 1 milyar lagi pada masa depan.

Pernyataan Presiden Xi dengan sengaja ambigu dan dapat disalahtafsirkan bahwa Tiongkok menghibahkan vaksin secara gratis dan sebagai donasi, namun dalam kenyataan, 1,7 milyar vaksinasi telah dijual oleh Tiongkok, sedangkan kurang dari 180 juta dosis dihibahkan olehnya. Sampai saat ini, baru sekitar 1,4 milyar dosis berhasil diterima oleh negara tujuannya.

Sebanyak 280 juta dosis Sinovac sudah dijual kepada Indonesia oleh Tiongkok, sedangkan hanya 4 juta dosis dihibahkan oleh Pemerintah Tiongkok.

Jumlah ongkos yang dibayar oleh Pemerintah Indonesia untuk mendapatkan dosis vaksin Sinovac belum diketahui dengan jelas, oleh karena rincian kontrak belum diumumkan.

 

Berlomba Dapatkan Vaksin

Saat angka kasus semakin melonjak tajam, negara harus bertahan dengan sekuat tenaga hingga vaksin ditemukan. Vaksin diyakini menjadi salah satu cara untuk menempuh imunitas global. Berbagai perusahaan farmasi, yang didukung oleh pendanaan negara maju, berlomba untuk dapat menemukan vaksin yang ampuh dan memproduksinya untuk menghadapi pandemik COVID-19, seperti Pfizer, Moderna, Jhonson & Jhonson, Sinopharm, dan sebagainya. Termasuk, upaya pada level nasional seperti Indonesia, dengan vaksin merah putih. Perlombaan dalam menemukan vaksin yang efektif tentu dapat membuka celah besar bisnis di sektor kesehatan.

Namun sebenarnya, perusahaan farmasi besar menunjukkan minat dalam perlombaan untuk mendapatkan vaksin. Hal ini karena, dari pengalaman masa lalu, membuat vaksin di, terutama pada keadaan darurat kesehatan yang akut, belum terbukti menguntungkan. Proses penemuan membutuhkan waktu dan jauh dari kepastian. Apalagi negara-negara miskin membutuhkan pasokan besar tetapi tidak mampu membeli harga tinggi.

Padahal untuk memutus mata rantai pandemi, semua negara harus mendapat jatah vaksin terutama di negara-negara yang rentan. Tanpa akses yang merata maka imunitas global akan sulit tercapai. Dampak dari kesepakatan bilateral antara pemerintah yang lebih kaya dengan produsen vaksin virus corona (baca: nasionalisme vaksin) telah menimbulkan kekhawatiran atas kenaikan harga dan kurangnya pasokan untuk negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Disinilah ruang bagi perusahaan farmasi besar untuk mendapatkan kesempatan mendapatkan keuntungan dari permainan harga. Januari 2021 yang lalu, The Guardian memberitakan isu ketidakadilan harga vaksin yang dialami Afrika Selatan. Dalam artikelnya disebutkan bahwa Afrika Selatan membayar harga vaksin 2,5 kali lebih mahal dari Uni Eropa.

Afrika Selatan telah memesan vaksin sebanyak 1,5 juta dosis kepada Serum Institute of India (SII) dengan harga per dosisnya sekitar 4,32 Euro, yang jika dibandingkan dengan harga perdosis yang diperoleh Uni Eropa yang hanya berkisar 1,78 Euro.

Bahkan, rendahnya harga yang diperoleh Uni Eropa ketimbang Afrika Selatan diklaim karena Uni Eropa telah berinvestasi dalam kegiatan penelitian dan pengembangan vaksin, sehingga harganya di diskon. (Hentikan Monopoli Haki Terhadap Covid19, Laksanakan Trips Waiver, Indonesia For Global Justice, Briefing Paper, Februari 2021).

Indonesia bergerak secara cepat pada awal pandemi untuk mengamankan jumlah dosis vaksinasi yang signifikan yang dibutuhkan untuk melindungi penduduknya. Respon cepat tersebut berfokus untuk memprioritaskan perjanjian komersial berskala besar untuk vaksinasi dari Sinovac -yang paling cepat memproduksi vaksin Covid-19 pada awal pandemi.

Di penghujung tahun 2020, Presiden Jokowi menyatakan bahwa Indonesia telah memesan sebanyak 329,5 juta dosis vaksin kepada lima perusahaan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 3 juta dosis vaksin berasal dari Sinovac. Rencananya, pemerintah akan menambah 122,5 juta dosis vaksin jenis ini. Kemudian, 50 juta dosis vaksin dipesan dari Novavax, 54 juta dosis vaksin dari Covax/GAVI, 50 juta dosis vaksin dari AstraZeneca, dan 50 juta dosis vaksin dari Pfizer.

Ditahap pertama, 3 juta dosis vaksin Sinovac telah dikirim dan dipakai untuk vaksinasi tahap pertama di Indonesia untuk kelompok yang diprioritaskan oleh Pemerintah Indonesia, yakni 1.319 juta tenaga kesehatan, termasuk asisten tenaga kesehatan, tenaga penunjang serta mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan profesi kedokteran yang bekerja pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes), dan 195 ribu petugas pelayan publik esensial sebagai garda terdepan seperti TNI Polri, Satpol PP, petugas pelayan publik transportasi (petugas bandara, pelabuhan, KA, MRT, dll) termasuk tokoh masyarakat dan tokoh agama di seluruh Indonesia.(15 Vaksinasi tahap pertama dilakukan pada Januari-April 2021 dengan dua kali penyuntikan.

Vaksin Sinovac dipesan oleh Pemerintah Indonesia dengan model kerjasama bisnis antara Sinovac dengan PT. Biofarma. Kerjasama yang dilakukan antara dua perusahaan ini adalah dengan memastikan supply bahan baku vaksin dari sinovac untuk diproduksi oleh BioFarma dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri Indonesia. Disebutkan bahwa Sinovac berkomitmen untuk menyediakan supply bulk vaccine hingga 40 juta dosis vaksin mulai November 2020-Maret 2021.

Kemudian dilanjutkan dengan komitment Sinovac untuk mensuplai bulk vaccine untuk mencukupi kebutuhan hingga akhir tahun 2021. Untuk pemesanan vaksin dari Pfizer, AstraZeneca ataupun Novavax akan masuk kuartal ke dua tahun 2021.

Indonesia sudah memasuki tahun kedua program vaksinasinya di mana sebagian besar penduduknya akan mendapatkan vaksin booster. Ini memang tepat waktunya untuk meninjau manfaat yang telah dicapai dan mempertimbangkon beragam pilihan vaksinasi lain yang sekarang telah tersedia.

Menlu Retno Marsudi dengan bijaksana telah mendukung diversifikasi vaksin supaya tidak menjadi terlalu tergantung pada vaksin dari Tiongkok, dan untuk mendapatkan perjanjian yang lebih menguntungkan secara finansial.

Beberapa ongkos terkait pembelian Sinovac seharusnya dimbangi dengan manfaat tambahan bagi Indonesia, namun hal ini belum terealisasi.

Kolaborasi dengan PT. Bio Farma seharusnya menguatkan kapasitas Indonesia untuk merespon ke pandemik secara mandiri, namun peran PT Bio Forma cepat diminimalisir sehingga hanya mengisi botol dengan vaksin yang diproduksi oleh Sinovac.

Bahkan keterlibatan PT. Bio Farma yang sepele itupun dihentikan pada tahun 2021, ketika ditemukan ketidakefisienan yang mengakibatkan banyak dosis dibuang tanpa bisa digunakan. Oleh karena itu, terjadi penurunan jumlah dosis vaksin yang dapat disampaikan kepada masyarakat Indonesia.

Pengadaan Sinovac pun tidak dibarengi dengan penyediaan teknologi ataupun pengalihan teknologi (Transfer of technology) yang dapat membantu Indonesia menangani CovidD-19 secara mandiri dan swasembada pada masa depan. Kini terdapat jauh lebih banyak pilihan vaksin komersial yang dapat dipilih oleh Indonesia.

Sampai saat ini, Indonesia telah menerima lebih dari 90 juta dosis vaksin selain Sinovac, termasuk AstraZeneca, Pfizer, Moderna dan Novavax. Mitra Indonesia yang lain, secara langsung atau melalui program internasional seperti COVAX, telah menghibahkan jumlah dosis vaksin yang signifikan secara gratis kepada Indonesia.

Lebih dari 23 juta dosis Pfizer atau Moderna dari Amerika Serikat; Lebih dari 7 juta dosis AstraZeneca dari Jepang; Lebih dari 6 juta dosis AstraZeneca dari Australia; Selain vaksin, donasi peralatan medis juga diberikan oleh Inggris, Perancis dan Singapura’ Jumlah dosis vaksinasi yang dihibahkan secara gratis dari semua negara tersebut lebih besar dibandingkan dengan jumlah vaksin yang dihibahkan kepada Indonesia oleh Tiongkok.

Pendekatan pengadaan vaksin yang seimbang sangatlah penting bagi Indonesia, sehingga tidak terlalu tergantung pada satu negara; Pendekatan ini akan menjamin pemasokan apabila terjadi gangguan dalam rantai pemasakan dari satu negara, ataupun terjadi varian lain/gelombang lain pada masa depan; Pendekatan ini akan memastikan bahwa Indonesia tidak tertekan untuk memperdagangkan kepentingan kedaulatan demi melindungi masyarakat selama pandemic; Ketulusan Tiongkok untuk mendukung ambisi Indonesia sebagai produsen domestik dan pusat regional sepatutnya dipertanyakan.

Komitmen Tiongkok untuk menyediakan seratus juta dosis vaksin Covid-19 memungkinkan Indonesia untuk memulai vaksinasi nasional pada waktu yang relatif dini. Terlihat bahwa ketergantungan antara Indonesia dengan Tiongkok sangatlah besar, melihat bahwa vaksin Sinovac terus diberikan dan dibeli oleh Indonesia dalam menghadapi pandemi dengan jangka waktu yang cukup lama.

 

Diplomasi Indonesia Lawan Pandemi COVID-19

Dikutip dari artikel Aktivitas Diplomasi Kesehatan Indonesia-Tiongkok di Masa Pandemi COVID-19, Universita Katolik Parahiyangan,  sejak awal tahun 2020, dunia dilanda dengan penyebaran virus bernama COVID-19 yang telah berubah menjadi pandemi yang kita kenal saat ini. Sejak pandemi terjadi, banyak perubahaan yang terjadi pada setiap aspek kehidupan masyarakat, sehingga kepentingan setiap negara pun berubah.

Kepentingan yang diprioritaskan adalah upaya untuk memberantas COVID-19 dan mencegah dampak-dampak negatif yang diakibatkan oleh pandemi tersebut. Dalam setiap upaya yang dilakukan oleh negara, ditemukan pentingnya kerja sama global untuk memperkuat infrastruktur dan tata kelola kesehatan, ketahanan ekonomi, dan pentingnya multilateralisme. Maka dari itu, diplomasi Indonesia harus menuju kearah yang lebih agresif, adaptif, dan gesit agar dapat terus berkontribusi dalam perubahan global dalam melawan pandemi COVID-19.

Pada Januari 2021, menteri luar negeri Indonesia Retno Marsudi menyatakan arah prioritas diplomasi untuk tahun 2021 yang salah satunya berupa “Membangun kemandirian dan ketahanan kesehatan nasional atau Jaminan Kesehatan Nasional”.  Urgensi Indonesia dalam pemberantasan pandemi didukung dengan keadaan COVID-19 yang tidak teratasi dengan baik dan juga jumlah penduduk yang telah divaksin masih rendah dengan total hanya 5.2% dari total populasi yang sudah divaksinasi secara lengkap.

Upaya vaksinasi Indonesia masih termasuk kurang gencar dibandingkan dengan negara-negara lainnya, hal ini ditunjukkan melalui laporan terbaru dari unit intelijen The Economist, yang menyatakan bahwa Indonesia termasuk kedalam salah satu negara yang baru akan menerima vaksin secara lengkap pada awal tahun 2023.

Situasi Ini merupakan hal yang mendesak untuk segera diatasi dikarenakan ketahanan masyarakat Indonesia terhadap pandemi COVID-19 dibutuhkan agar dapat menjalankan rutinitas kembali seperti awal mulanya. Maka dari itu, dibutuhkan kerjasama dengan negara-negara lain untuk memenuhi kepentingan nasional yaitu membangun kemandirian dan ketahanan kesehatan nasional atau Jaminan Kesehatan Nasional.

Hubungan Indonesia- Tiongkok saling menguntungkan dalam kerja sama bilateral. Akan tetapi, kedua negara besar ini sama-sama sedang mengalami masa tidak mengenakan. Situasi ini pun membuat Indonesia harus membuka matanya lebar-lebar karena motif dibalik health diplomacy sebenarnya tidak hanya untuk “memberikan bantuan”, pasti dibaliknya terdapat maksud dan tujuan tertentu.

Beberapa ahli berargumen bahwa kerja sama vaksin dapat meningkatkan ketergantungan Indonesia pada Tiongkok dan dapat berujung pada kerugian. Tidak hanya itu, ancaman lain yang ditemukan adalah bagaimana vaksin yang ditemukan oleh Tiongkok yaitu, Sinovac, masih ditolak oleh beberapa negara.

Nyatanya, masih banyak negara-negara yang merasa skeptis dengan keampuhan vaksin tersebut. Hal-hal ini tentu menjadi ancaman yang harus diatasi, karena jika dihindari terus menerus kedepannya akan menjadi rumit. Maka dari itu, health diplomacy perlu mempererat sisi strategis juga dan tidak selalu berkutip pada sisi normatif.

Untuk menjelaskan ancaman yang pertama, pada akhir 2019 dan awal tahun 2020, Tiongkok dan Indonesia hampir melakukan konflik bersenjata. Kejadian ini diprovokasi oleh Tiongkok yang seringkali masih masuk ke perairan Laut Natuna. Penjaga pantai dan milisi nelayan Tiongkok terus melakukan manuver masuk secara illegal ke Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna, sebuah wilayah di Samudra Pasifik yang terletak di antara Kalimantan dan Sumatra dan dianggap sebagai wilayah penangkapan ikan tradisional oleh Tiongkok. Namun pada akhirnya Tiongkok memutuskan untuk mundur, meskipun serangan sesekali masih terjadi. Akan tetapi suasana ini menjadi cair pada saat COVID-19 mulai melanda dunia di awal tahun 2020, dimana Indonesia adalah salah satu negara pertama yang mengirimkan pasokan medis ke Tiongkok dalam perjuangannya melawan virus.

Sebaliknya, saat Indonesia mengalami kenaikan COVID-19, Tiongkok juga menjadi pemasok alat alat kesehatan terhadap Indonesia yang sangat dibutuhkan. Tiongkok memberikan bantuan kesehatan hingga Rp 10 miliar dan angka tersebut masih meningkat hingga sekarang. Tidak sampai disitu, Indonesia pun merupakan salah satu negara pertama yang mendapatkan akses ke vaksin.

Terdapat kemungkinan bahwa ketergantungan dalam health diplomacy vaksin tersebut pada akhirnya dapat mengarah ke Laut Cina Selatan. Laut Cina Selatan adalah masalah di mana Tiongkok berada dalam posisi yang tidak menguntungkan secara hukum dan diplomatik. Daerah tersebut telah menjadi medan persaingan kekuatan besar. Untuk mengantisipasi pembicaraan Code of Conduct (CoC) di Laut Cina Selatan, Tiongkok akan membutuhkan kerjasama dari negara-negara ASEAN.

Pada tahun 2020, saat Indonesia sedang gencar membahas kerjasama vaksin dengan Tiongkok, Jakarta mengirimkan dua nota diplomatik kepada Sekjen PBB (26 Mei dan 12 Juni) untuk menolak klaim Laut Cina Selatan Tiongkok, dalam membahas Tribunal Award 2016. Untuk Jakarta, Tribunal Award 2016 dan UNCLOS 1982 tidak dapat dipisahkan dan merupakan prasyarat bagi perdamaian dan stabilitas di Laut Cina Selatan.

Pada 13 Januari 2021, saat Presiden Jokowi mendapatkan suntikan pertama vaksin Sinovac, Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, bertemu dengan Menteri Luar Negeri Tiongkok, Wang Yi, yang sedang berkunjung di Jakarta. Retno mendesak Tiongkok untuk menghormati UNCLOS 1982 dan menjaga stabilitas di Laut Cina Selatan. Beliau menyampaikan pesannya, atas nama ASEAN, dan menekankan komitmen Indonesia terhadap sentralitas ASEAN dalam Indo-Pasifik yang stabil, damai, dan sejahtera. Meski demikian, beberapa ahli berpendapat bahwa kerjasama vaksin Tiongkok - Indonesia dapat meningkatkan ketergantungan dan pada akhirnya menyebabkan Indonesia berkompromi terhadap Tiongkok. Maka, dalam kerja sama diplomasi kesehatan dengan China, Indonesia harus kerap waspada akan kemungkinan ancaman ini.

Penulis: Mas Husni, Pemerhati Laut China Selatan dari Harmoni Nusantara Institut, Jakarta

 

Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB