
Kekuasaan
Sabtu, 2 April 2022 20:30 WIB
Pengerahan Kepala Desa dan Elite yang Miskin Keteladanan Hidup Bernegara
Bagi elite kekuasaan, kepentingan pragmatis berada di atas kepentingan terjaganya Konstitusi dan tata kehidupan kenegaraan kita. Beragam alasan akan mereka buat demi mewujudkan hasrat kekuasaan. Mereka tidak peduli langkah-langkah mereka itu merupakan teladan buruk bagi generasi yang akan datang.
Dibaca : 2.096 kali
Pengerahan kepala desa untuk mendukung keinginan elite kekuasaan agar Presiden Jokowi menjabat selama tiga periode merupakan bukti konkret teladan buruk yang dicontohkan elite. Elite kekuasaan tidak lagi malu-malu menunjukkan keinginan melanggar Konstitusi demi memperpanjang masa jabatan kepresidenan. Wacana yang sama dikemas dalam beragam narasi: menunda pemilu, memperpanjang masa jabatan 2-3 tahun, amendemen Konstitusi, mendukung presiden tiga periode. Narasinya beraneka, tapi muaranya sama.
Pengerahan kepala desa yang semula hendak diwarnai deklarasi dukungan tiga periode itu memunculkan kesan kuat bahwa segala cara akan dilakukan agar keinginan tersebut bisa terwujud. Setelah kepala desa, entah siapa lagi yang akan digarap untuk menyuarakan dukungan presiden tiga periode. Sulit dihindari kesan di mata masyarakat bahwa dukungan ini tidak otentik, melainkan ‘seolah-olah’ ada dukungan.
Organisasi apapun, seperti organisasi para kepala desa, rentan terhadap upaya elite untuk memaksakan kehendak mereka. Perpecahan organisasi bisa terjadi karena sebagian orang dalam organisasi memanfaatkan momentum untuk memetik keuntungan bagi diri sendiri. Mereka tidak peduli apakah gagasan yang mereka gaungkan itu sesuai konstitusi atau tidak, layak atau tidak.
Dalam upaya mewujudkan hasrat tiga periode ini terjadi pertemuan dua kepentingan, yaitu kepentingan elite yang membutuhkan dukungan dan kepentingan sekelompok atau segelintir individu dalam organisasi yang memanfaatkan momentum untuk memetik keuntungan bagi diri sendiri. Mereka tahu bahwa dukungan itu tidak otentik, tapi bagi mereka otentik atau tidak bukanlah hal yang penting.
Bagi mereka, yang lebih penting ialah terciptanya keramaian dukungan sehingga timbul kesan bahwa banyak unsur masyarakat yang mendukung narasi presiden tiga periode. Penggalangan dukungan yang tidak otentik seperti ini dulu dipraktikkan oleh rezim Orde Baru, sehingga Soeharto menjabat presiden sampai berpuluh tahun. Dukungan terhadap Soeharto itu semu, sehingga ketika momentumnya tiba, kesemuan itu terlihat makin nyata hingga rezim Orde Baru akhirnya rontok.
Dalam upaya menggalang dukungan semu itu, di masa mendatang mungkin akan semakin banyak organisasi yang akan digerogoti dari dalam. Apabila dukungan solid sukar diperoleh, akan diupayakan agar terjadi perpecahan dalam organisasi. Dewan Perwakilan Daerah yang sebelumnya terlihat solid sangat mungkin bakal menjadi sasaran untuk digarap agar mendukung presiden tiga periode. Jika dukungan tidak bisa diperoleh dari keseluruhan anggota DPD, setidaknya sebagian—dan ini bisa dilakukan dengan cara memengaruhi anggota DPD orang per orang.
Dibandingkan dengan DPR, yang keanggotaannya berasal dari partai politik, DPD bertumpu pada individu-individu. Anggota DPD akan lebih mudah dibujuk dan dipecah suaranya karena keanggotaan mereka individual. Ikatan di antara sesama anggota DPD tidak begitu kuat, sehingga mereka akan relatif mudah digarap. Sementara itu, DPR juga bisa relatif mudah dikendalikan apabila ketua umum dan jajaran elite partai sudah dipegang. Sejauh ini, setidaknya sudah tiga ketua umum partai menyatakan dukungan penundaan pemilu.
Seluruh upaya menggalang dukungan yang tidak otentik itu memperlihatkan bahwa para elite yang menghendaki presiden tiga periode tidak peduli lagi dengan terjaganya Konstitusi. Bila Konstitusi menjadi penghalang bagi terwujudnya hasrat presiden tiga periode, maka Konstitusilah yang harus diubah.
Bagi elite kekuasaan, kepentingan pragmatis berada di atas kepentingan terjaganya Konstitusi dan tata kehidupan kenegaraan kita. Beragam alasan akan mereka buat demi mewujudkan hasrat kekuasaan. Mereka tidak peduli langkah-langkah mereka itu merupakan teladan buruk bagi generasi yang akan datang. Hasrat yang membuncah harus dituntaskan, apapun caranya. Itulah yang terlihat dari sepak terjang elite kekuasaan saat ini. >>
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.
Suka dengan apa yang Anda baca?
Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.
16 jam lalu

Generasi Milenial Butuh Hal Baru dari Politik dan Aktivisme Mahasiswa
Dibaca : 164 kali
1 hari lalu

Netizenokrasi: Wajah Intelektualisme Publik Era Milenial
Dibaca : 267 kali
2 hari lalu

Ironis, 85% Taman Bacaan di Indonesia Tidak Pernah Dibantu Pemerintah Daerah
Dibaca : 276 kali
2 hari lalu

Seperti Apa Kriteria Parpol yang Dipilih Masyarakat?
Dibaca : 235 kali
2 hari lalu

Novela Seno Gumira Ajidarma: Suara Hati Seorang Pelacur
Dibaca : 2.120 kali
Rabu, 29 Juni 2022 19:19 WIB

Apa Kata Dunia Andaikan Ganjar-Anies Diduetkan?
Dibaca : 1.223 kali
4 hari lalu

Apresiasi juga Dengki Iringi Kunjungan Jokowi ke Ukraina dan Rusia
Dibaca : 969 kali
4 hari lalu

Pendidikan Jarak Jauh Ketlisut dan Raib dari Draft RUU Sisdiknas?
Dibaca : 714 kali
5 hari lalu

Timnas Israel Ikut Piala Dunia U-20 pada 2023, Apa Sikap Indonesia Sebagai Tuan Rumah?
Dibaca : 596 kali
1 hari lalu
