x

Iklan

Frank Jiib

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 November 2021

Sabtu, 9 April 2022 05:41 WIB

Misteri Hilangnya Dua Sahabat

Sebuah cerpen yang bercerita mengenai kejadian yang membuat gempar sebuah desa kecil yang asri dan indah karena kejadian yang belum pernah terjadi sebelumnya dan menjadi misteri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

   Saat itu waktu menunjukkan pukul 12.00 siang ketika terdengar bunyi bel sekolah yang menandakan waktu belajar telah usai. Seketika ruang kelas berubah menjadi ramai dengan suara murid-murid yang bersemangat untuk segera pulang ke rumah. Dengan sabar Pak Amir sebagai guru yang sedang mengajar saat itu meminta murid-murid untuk tenang sejenak. Setelah ruang kelas menjadi tenang kembali, barulah Pak Amir mengajak seluruh murid untuk berdoa bersama terlebih dahulu dan setelah selesai berdoa, Pak Amir membolehkan murid-murid meninggalkan ruang kelas dan pulang ke rumah masing-masing.

   Di halaman sekolah yang luas, terlihat Dimas dan Rifki sedang berjalan pulang bersama dan itu adalah saat terakhir kali mereka terlihat. Kedua anak ini telah menjadi sahabat karib sejak mereka masih kecil hingga saat ini mereka duduk di kelas 5 di sebuah sekolah dasar negeri. Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba muncul ide di kepala Dimas untuk mengajak Rifki bermain di pantai sambil menikmati sore yang cerah. Apalagi esok hari telah memasuki masa liburan sekolah selama dua minggu.

   “Rifki, apakah kamu ada rencana sore nanti?” tanya Dimas sambil berjalan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

   “Sepertinya aku tidak punya rencana nanti sore. Memangnya kenapa? Apakah kamu mau mengajak aku bermain Dimas?” tanya Rifki dengan penasaran.

   “Sebenarnya aku ingin mengajakmu bermain di pantai, sambil aku juga ingin menunjukkan sesuatu kepadamu yang belum pernah kamu lihat,” kata Dimas dengan mengedipkan sebelah mata.

   “Wah, sepertinya kamu mempunyai sesuatu yang sedang kamu sembunyikan. Apakah ini benar-benar sesuatu yang menarik Dimas?” tanya Rifki dengan antusias.

   “Aku jamin dan pasti kamu akan suka juga terpesona ketika sudah mengetahuinya,” jawab Dimas dengan senyum bahagia.

   “Baiklah kalau begitu, kita bertemu di pantai pada pukul 14.30. Dan jangan sampai kamu tidak datang Dimas, awas!” timpal Rifki dengan tawa bahagia.

   “Aku pasti datang, tenang saja,” pungkas Dimas.

   Akhirnya Dimas dan Rifki berpisah di sebuah persimpangan jalan. Kedua sahabat itu berjalan ke arah yang berlawanan menuju ke rumah masing-masing.

***

   Pada waktu yang ditentukan, Dimas telah lebih dulu tiba di pantai berpasir putih dengan hamparan laut berwarna biru sejauh mata memandang. Saat itu Dimas sedang duduk di bawah sebuah pohon kelapa sambil memandang deburan ombak yang sampai ke bibir pantai dengan suara yang menenangkan hati. Dimas seakan terhipnotis dengan suara deburan ombak sehingga tidak mendengar langkah kaki yang berjalan mendekat ke arahnya dari sebelah kanan. Hingga sebuah tepukan di bahu yang langsung membuyarkan lamunan Dimas dan membuatnya terkejut. Kejadian kecil ini membuat Rifki tertawa terbahak-bahak dan membuat Dimas merasa malu karena tidak menyadari kehadiran Rifki di dekatnya.

   Setelah kejadian kecil itu, Dimas segera mengajak Rifki ke suatu tempat yang tersembunyi dan jarang orang tahu. Dimas dan Rifki mulai berjalan meninggalkan pantai berpasir putih dan sekarang sedang menyusuri jalan kecil yang mengarah masuk ke dalam hutan. Dimas dan Rifki terus berjalan semakin jauh masuk ke dalam hutan yang terlihat suram serta menakutkan. Di sini sudah tidak terdengar lagi suara deburan ombak di pantai, tetapi digantikan dengan kesunyian dan keheningan. Perjalanan ini semakin lama mulai membuat Rifki bingung dan takut, karena jalan yang dipilih Dimas berkelok-kelok, sehingga akan menyulitkan bagi Rifki untuk menemukan jalan pulang seorang diri dan kemungkinan Rifki akan tersesat di dalam hutan yang asing banginya.

   Di depan mulai terdengar suara air yang sedang mengalir dan ini membuat Dimas semakin bersemangat untuk menunjukkan kepada Rifki. Akhirnya perjalanan Dimas dan Rifki berhenti di bawah sebuah bukit kecil berbatu, dan sepertinya suara air mengalir berada tepat di balik bukit berbatu ini. Tidak ada cara lain untuk sampai ke sumber suara air mengalir itu kecuali dengan mendaki bukit berbatu ini. Dengan antusias dan penuh semangat, Dimas menoleh memandang Rifki yang terlihat mulai kelelahan dan berkata. “Kau sudah siap melihat kejutan yang aku katakan tadi?”

   “Aku sudah siap Dimas. Ayo cepat tunjukkan sebelum aku kehabisan tenaga,” jawab Rifki.

   “Tetapi ada satu halangan yang harus kita lalui terlebih dahulu. Dan halangan itu adalah bukit berbatu yang ada dihadapan kita saat ini,” kata Dimas dengan bersemangat.

   “Ya ampun,” kata Rifki dengan suara lemah, “jadi kita harus mendaki bukit berbatu yang ada di depan kita ini?”

   “Kau benar sekali. Percayalah, apa yang akan kau lihat akan sepadan dengan semua perjalanan yang telah kita lalui ini.”

   “Awas kalau sampai engkau berbohong Dimas, lihat saja nanti.”

   Dimas hanya tertawa mendengar sindirian dari sahabatnya itu. “Ayo kita mulai mendaki bukit ini dan lihat apa yang ada dibaliknya,” ujar Dimas. Dengan perlahan Dimas dan Rifki mulai mendaki bukit kecil berbatu. Pelan tapi pasti, kedua sahabat itu hampir mencapai puncak bukit dan ketika akhirnya mereka berhasil tiba di atas puncak bukit berbatu. Dimas dan Rifki berdiri untuk mengatur napas yang sudah hampir habis. Setelah beristirahat sejenak dan napas mereka telah kembali normal, barulah terlihat apa yang ada di bawah bukit berbatu ini. Terlihat sebuah aliran sungai yang membelah hutan dengan air sebening kristal, dan yang membuat mata terpana melihatnya adalah dasar sungai yang berpasir terlihat begitu jelas. Dimas dan Rifki seolah terhipnotis dengan keindahan yang ada di bawahnya.

   “Inilah kejutan yang aku katakan tadi. Dan sekarang engkau telah melihatnya sendiri,” ujar Dimas dengan bangga. “Lalu, bagaimana menurutmu Rifki?” Tawa Dimas akhirnya pecah.

   “Ini sungguh luar biasa dan di luar dugaanku Dimas. Aku belum pernah melihat pemandangan yang sangat luar biasa seperti ini sebelumnya,” jawab Rifki dengan wajah yang begitu terpesona.

   “Ayo kita turun ke bawah, lalu mandi sambil bermain air,” ajak Dimas.

   “Aku sudah tak sabar ingin merasakan segarnya air sungai ini,” jawab Rifki antusias.

  Dengan segera kedua sahabat itu berjalan menuruni bukit berbatu menuju ke aliran sungai yang berada di bawah. Ketika telah sampai di bawah dan berdiri di bibir sungai, tanpa menunggu lagi Rifki dan Dimas segera melompat ke dalam air sebening kristal diiringi dengan teriakan gembira yang memecah keheningan hutan. Kegembiraan terpancar jelas di wajah Dimas dan Rifki ketika bermain air, tidak ketinggalan mereka menyelam untuk melihat dasar sungai yang berpasir lembut, dengan sesekali terlihat ikan kecil yang berlalu-lalang dengan santai. Aliran sungai ini mengalir menuju ke muara yang berbatasan langsung dengan laut lepas di akhir perjalanannya. Namun, ada sesuatu yang tidak diketahui Dimas dan Rifki, bahwa arus sungai yang terlihat tenang dan indah ini dapat berubah berbahaya dalam waktu singkat.

   Tak terasa senja pun akhirnya tiba dengan warna langit yang berubah kemerahan di sebelah barat, tidak ketinggalan hutan yang ada di sekitar aliran sungai mulai berubah menjadi gelap dan lebih menakutkan daripada sebelumnya. Jauh di bagian hulu sungai telah turun hujan deras pada siang hari yang mengakibatkan air sungai meluap di sebagian wilayah. Dan saat ini, air yang bercampur lumpur sedang bergerak menyusuri aliran sungai menuju ke tempat Dimas dan Rifki yang sedang bermain air.

   Saat itu Dimas sedang duduk di atas sebuah bongkahan batu besar yang ada di tengah sungai. Sedangkan Rifki sedang asyik berenang santai. Tiba-tiba terdengarlah suara gemuruh yang semakin lama terdengar semakin menakutkan. Dimas yang pertama mendengar suara itu dan langsung waspada, tidak berapa lama air sungai telah berubah warna menjadi coklat keruh dan dalam waktu singkat tinggi air sungai naik secara drastis. Dimas baru menyadari bahwa ada air bah yang sedang mengarah ke tempatnya duduk saat ini dengan kekuatan penuh. Dimas segera berdiri dan mencari Rifki untuk memperingatkannya agar segera naik ke daratan. Pada saat itu Rifki sedang menyelam dan tidak mengetahui adanya bahaya yang datang mendekat dengan cepat.

   Dengan perasaan panik dan kalut, Dimas menoleh ke sana-sini mencari keberadaan Rifki yang tak terlihat, namun tepat pada waktunya Rifki akhirnya muncul dari dalam air. Dimas lalu berteriak dengan sekuat tenaga untuk memberi tahu Rifki agar segera keluar dari dalam sungai.

   “Rifki, cepat keluar dari dalam sungai sekarang!” teriak Dimas dengan suara keras dan putus asa.

   Ketika Rifki mendengar teriakan Dimas yang terlihat seperti sedang takut dan panik, barulah Rifki menyadari ada yang salah dengan sungai ini. Namun, semua itu sudah terlambat. Ketika Rifki berusaha berenang ke tepi dengan sekuat tenaga untuk secepatnya keluar dari dalam sungai. Tiba-tiba arus yang kuat menghantam tubuh Rifki hingga membuatnya terseret semakin jauh dan akhirnya arus yang kuat menariknya ke bawah air. Itu adalah terakhir kali Dimas melihat tubuh Rifki yang tenggelam. Dimas hanya bisa menangis putus asa sampai membuat tubuhnya gemetar hebat. Ditambah dengan situasi berbahaya yang sedang dihadapinya seorang diri, juga kejadian yang baru saja terjadi terhadap Rifki, sungguh sebuah situasi yang sangat sulit. Saat ini Dimas tengah terjebak oleh derasnya aliran sungai yang sedang meluap dengan kekuatan penuh, dengan Dimas hanya berpijak pada sebongkah batu besar untuk bertahan hidup. Namun alam berkata lain, arus sungai yang lebih kuat dan lebih mematikan datang tiba-tiba dan langsung menghantam tubuh dimas yang tidak berdaya. Dalam waktu singkat tubuh Dimas beserta batu besar yang menjadi tempatnya berpijak telah hilang tertutup air bah yang sangat mengerikan.

***

   Setelah akhirnya matahari terbenam dan berganti dengan malam yang gelap, terjadilah kegemparan di sebuah desa kecil yang asri serta memiliki pantai berpasir putih yang indah. Semua bermula dari Ibu Astuti yang menanti kepulangan Dimas dari bermain sejak tadi sore, tetapi hingga malam tiba Dimas belum juga pulang. Ibu Astuti yang merasa tidak enak dan khawatir dengan keselamatan Dimas, meminta tolong suaminya Pak Hassan untuk mencari Dimas di rumah temannya yang bernama Rifki.

   Mendengar permintaan istrinya dengan raut sedih yang tergambar jelas di wajahnya, Pak Hassa langsung memeluk istrinya untuk menenangkan sambil berkata dengan suara pelan.

   “Istriku, mungkin Dimas saat ini sedang berada di rumah Rifki setelah tadi sore bermain bersama. Dimas adalah anak penurut dan tidak pernah sebelumnya seperti ini, apalagi saat ini telah memasuki liburan sekolah,” kata Pak Hassan.

   “Kau benar suamiku,” kata Ibu Astuti, “tetapi hati kecilku tetap merasa tidak tenang dengan ini semua. Seolah sesuatu yang buruk sedang terjadi kepada Dimas anak kita.”

   “Baiklah istriku, aku akan segera menuju ke rumah Rifki untuk mencari keberadaan Dimas. Semoga saja Dimas ada di sana. Kamu tetap berada di rumah menunggu berita selanjutnya dariku,” pinta Pak Hassan. Lalu dengan lembut Pak Hassan mencium kening istrinya dan sebelum berangkat memandang wajah istrinya yang terlihat begitu sedih.

   Pak Hassan segera bergegas meninggalkan rumah dan berjalan dengan langkah terburu-buru supaya dapat segera sampai di rumah Rifki. Kurang dari lima menit berjalan kaki, akhirnya Pak Hassa telah sampai di depan rumah besar milik Pak Suryo yang merupakan salah satu orang terpandang di desa dan juga orang tua dari Rifki. Pak Hassan segera membuka pintu gerbang yang tidak terkunci lalu berjalan menuju ke teras rumah yang begitu indah. Setelah sampai dan berdiri di depan pintu kayu besar, Pak Hassan menarik napas panjang untuk meredakan ketegangan yang mulai menjalar di dalam tubuhnya.

   Kemudian Pak Hassan mengetuk pintu kayu yang terlihat sangat kokoh sambil memandang keadaan sekitar mencari sandal yang dipakai Dimas saat meninggalkan rumah tadi sore. Tetapi Pak Hassan tidak mendapati sandal anaknya di teras depan rumah Pak Suryo dan ini membuat perasaannya semakin tidak enak. Lalu terdengar suara kunci diputar dari balik pintu dan sejurus kemudian pintu terbuka. Dari balik pintu berdirilah Pak Suryo pemilik rumah dengan wajah kaku tanpa menunjukkan ekspresi bagaikan sebuah patung penjaga yang sengaja ditancapkan oleh pembuatnya. Ketika Pak Hassan memandang wajah Pak Suryo, pada saat itu juga Pak Hassan mengetahui ada sesuatu yang terjadi dengan keluarga terpandang di desa ini.

   “Selamat malam Pak Suryo dan mohon maaf jika saya mengganggu waktu bersantai Pak Suryo beserta keluarga,” kata Pak Hassan dengan sopan.

   “Tidak apa-apa Pak Hassan,” jawab Pak Suryo dingin, “kalau boleh tau maksud kedatangan Pak Hassan kemari itu apa?” tanya Pak Suryo tanpa basa-basi dengan nada sarkasme yang terlihat jelas. Solah Pak Hassan adalah orang yang telah mengganggu waktu santainya.

   “Begini Pak Suryo. Saya mau bertanya apakah Dimas anak saya ada di sini?”

   Mendengar tujuan Pak Hassan datang ke rumahnya menanyakan keberadaan anaknya membuat wajah Pak Suryo berubah merah seketika karena amarah yang memuncak.

   “Dengar Pak Hassan. Gara-gara anak Pak Hassan mengajak anak saya bermain tadi sore. Lihat akibatnya, sampai sekarang anak saya belum juga pulang ke rumah.” Suara Pak Suryo terdengar sangat marah.

   “Anak saya juga belum pulang ke rumah sampai sekarang. Oleh karena itu, saya datang kemari untuk mencari dan menanyakan keberadaan anak saya,” jawab Pak Hassan.

   “Memangnya Pak Hassan tidak tahu, anak bapak pergi mengajak anak saya bermain kemana?” tanya Pak Suryo sengit.

   “Saya sungguh tidak tahu Pak Suryo, anak saya mengajak Rifki bermain kemana. Karena pada saat itu saya sedang tidak berada di rumah.” Tiba-tiba kepala Pak Hassan menjadi pusing karena situasi sekarang bertambah rumit dan pelik.

   “Pak Hassan harus bertanggung jawab menemukan anak saya. Awas kalau sampai terjadi apa-apa dengan anak saya. Pak Hassan akan lihat sendiri akibatnya,” ancam Pak Suryo tidak main-main.

   Dari belakang rumah terlihat istri Pak Suryo datang menghampiri suaminya karena mendengar suara suaminya marah-marah kepada seseorang. Karena khawatir terjadi sesuatu, istri Pak Suryo datang untuk menenangkan suaminya.

   “Sabar suamiku. Pak Hassan kan tidak tahu apa-apa dengan kejadian ini. Mungkin anak kita sedang bermain di rumah teman sekolahnya yang lain, apalagi sekarang kan sudah memasuki musim liburan sekolah,” ujar istri Pak Suryo mencairkan suasana yang mulai memanas.

   “Bagaimana kalau saya segera melapor kepada kepala desa tentang belum kembalinya Dimas dan Rifki ke rumah? Sehingga para warga desa lainnya dapat membantu mencarinya,” ujar Pak Hassan memberi saran kepada istri Pak Suryo.

   “Itu ide yang bagus Pak Hassan,” kata istri Pak Suryo. “Lebih cepat mereka segera ditemukan itu lebih baik. Sebelum malam akan semakin larut.”

   “Baiklah kalau begitu. Saya akan segera melapor ke rumah kepala desa saat ini juga. Dan satu hal lagi, saya sebagai orang tua Dimas mohon maaf jika anak saya telah membuat keluarga Pak Suryo jadi seperti ini,” pinta Pak Hassan dengan suara pelan karena malu. Lalu Pak Hassan mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Pak Suryo sebagai permohonan maaf tetapi ditolak mentah-mentah oleh Pak Suryo.

   Setelah menerima penolakan dari Pak Suryo, Pak Hassan dengan langkah lunglai berjalan meninggalkan rumah Pak Suryo dengan perasaan hancur serta terpukul dengan kejadian ini. Pada saat yang sama, istri Pak Suryo mengajak suaminya masuk ke dalam rumah untuk beristirahat sejenak sambil meredakan amarah yang siap meledak kapan saja.

*** 

   Malam itu Pak Tatang sedang berkumpul bersama istri dan kedua buah hatinya yang masih kecil. Tiba-tiba terdengar suara orang mengetuk pintu sambil mengucapkan salam ‘Assalamualaikum’.

   “Suamiku, sepertinya ada orang di depan rumah. Biar aku saja yang melihatnya,” kata Ibu Titik.

   “Tidak perlu istriku biar aku saja yang melihatnya. Kamu tetap di sini menemani anak-anak yang sedang asyik melihat acara film di televisi,” kata Pak Tatang dengan senyum khasnya.

   Sejurus kemudian Pak Tatang bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan meninggalkan istri dan kedua anaknya yang ada di ruang keluarga menuju ke depan. Ketika Pak Tatang tiba di ruang tamu kecil dan bersih, Pak Tatang segera menyalakan lampu dan menuju ke pintu depan lalu membukanya.

   Ketika pintu telah terbuka, Pak Tatang mendapati seorang pria paruh baya dengan wajah tegang bercampur kesedihan sedang menatapnya dengan pandangan kosong, seolah pikirannya berada ribuan kilo dari tempatnya berdiri saat ini. Pada saat itu juga, Pak Tatang merasakan ada sesuatu yang terjadi dengan orang yang sedang berdiri dihadapannya. Dengan tenang Pak Tatang mempersilahkan tamunya untuk masuk dan duduk di ruang tamu sambil membiarkan pintu ruang tamu tetap terbuka. Kemudian Pak Tatang berjalan masuk ke dalam rumah dan meminta istrinya membuatkan dua cangkir teh panas untuk dirinya dan tamunya.

   Pak Tatang segera kembali dan duduk di kursi sambil menatap tamunya yang duduk diam bagaikan seorang pertapa. Dengan tenang Pak Tatang memperhatikan wajah tamunya secara seksama yang semakin lama terlihat semakin tua. Kemudian untuk memecah keheningan diantara dirinya dan tamunya itu, Pak Tatang mulai menanyakan maksud kedatangannya.

   “Mohon maaf sebelumnya, apakah ada yang bisa saya bantu? Dari apa yang saya lihat sekilas, nampaknya bapak sedang mengalami sesuatu yang buruk,” kata Pak Tatang membuka percakapan.

   “Begini bapak kepala desa,” ujarnya dengan suara pelan, “hati dan pikiran saya sedang tidak karuan memikirkan kondisi anak saya juga anak Pak Suryo yang belum pulang ke rumah sejak bermain tadi sore. Saya takut terjadi sesuatu kepada Dimas anak saya juga Rifki anak Pak Suryo.”

   Mendengar jawaban yang baru saja disampaikan pria paruh baya yang duduk dihadapannya, membuat hati Pak Tatang menjadi tidak enak dan muncul rasa takut sesuatu yang buruk menimpa mereka berdua.

   “Kalau saya boleh tahu, siapakah nama bapak?” tanya Pak Tatang sopan.

   “Nama saya Hassan dan orang-orang biasa memanggil saya dengan panggilan Pak Hassan,” jawabnya singkat.

   “Apakah Pak Hassan sudah mencari keberadaan anaknya di rumah Pak suryo?” tanya Pak Tatang.

   “Saya baru saja dari rumah Pak Suryo dan mendapati anak saya juga anak Pak Suryo belum pulang ke rumah. Kejadian ini membuat Pak Suryo marah dan mengancam saya jika terjadi sesuatu kepada anaknya,” jawab Pak Hassan sambil menggelengkan kepalanya seakan mengusir mimpi buruk yang terus mendatanginya.

   “Sebelum meninggalkan rumah tadi sore, apakah anak Pak Hassan memberi tahu akan bermain kemana?”

   “Pada saat itu saya sedang tidak berada di rumah tetapi anak saya sempat meminta izin kepada ibunya kalau mau bermain bersama Rifki anak Pak Suryo.” Pak Hassan kembali menundukkan kepalanya sambil sekali menggelengkan kepalanya.

   “Apakah ada petunjuk anak Pak Hassan beserta anak Pak Suryo bermain kemana?”

   “Itulah masalahnya bapak kepala desa,” jawab Pak Hassan, “anak saya tidak memberi tahu akan bermain kemana bersama anak Pak Suryo. Ini yang menyulitkan saya mencari keberadaan anak saya.” Terjadi keheningan beberapa saat sebelum Pak Hassan melanjutkan kalimatnya. “Ini tidak seperti biasanya anak saya bermain sampai malam hari. Saya khawatir anak saya juga anak Pak Suryo saat ini sedang dalam kesulitan dan saya sebagai orang tua tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya.” Terdengar nada putus asa dari Pak Hassan dengan keadaan ini.

   Dari dalam rumah muncul istri Pak Tatang datang membawakan dua cangkir teh panas yang langsung dihidangkan di atas meja ruang tamu. Setelah selesai menghidangkan, istri Pak Tatang kembali masuk ke dalam rumah. Setelah istrinya berlalu, Pak Tatang mempersilahkan Pak Hassan untuk meminum teh guna meredakan ketegangan yang sedang dialaminya.

   “Jika seperti itu urutan kejadiannya, malam ini saya akan meminta bantuan warga desa untuk ikut membantu melakukan pencarian. Kita hanya bisa berharap yang terbaik semoga Dimas dan Rifki dapat segera ditemukan dan berkumpul kembali bersama keluarganya,” ujar Pak Tatang.

   Setelah itu Pak Tatang juga meminum teh yang dibuatkan oleh istrinya sambil duduk tenang dan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Terjadi keheningan antara Pak Tatang dan Pak Hassan hanya dipecahkan suara jarum jam dinding yang bergerak perlahan.

   “Kita akan menuju ke aula balai desa Mojorejo sekarang, untuk mengadakan rapat mengenai situasi yang mendesak ini,” kata Pak Tatang membuka keheningan seolah baru saja mendapatkan ilham.

   “Itu ide yang bagus bapak kepala desa. Aku setuju dengan ide itu, lebih cepat dilakukan lebih baik,” jawab Pak Hassan lemah.

   Pak Tatang segera menghabiskan tehnya lalu bangkit dari tempat duduknya dan berjalan masuk ke dalam rumah untuk memberi tahu istrinya tentang situasi yang sedang dihadapi Pak Hassan juga meminta ijin akan pergi meninggalkan rumah untuk melakukan rapat di aula balai desa Mojorejo. Setelah kembali dari dalam rumah, Pak Tatang segera mengajak Pak Hassan untuk segera berangkat guna mempersingkat waktu yang sangat berharga.

   Akhirnya Pak Tatang dan Pak Hassan berjalan meninggalkan rumah dan menuju ke balai desa Mojorejo untuk mengadakan pertemuan dengan para warga desa dan meminta bantuan untuk mencari keberadaan Dimas dan Rifki. Berdiri di ambang pintu rumah, istri Pak Tatang melihat suaminya berjalan menjauh dan dalam hati berkata “Semoga sesuatu yang buruk tidak terjadi kepada anak Pak Hassan juga Pak Suryo” lalu menutup pintu dan menguncinya.

***   

   Malam itu aula balai desa Mojorejo tidak seperti hari biasanya yang terlihat sepi pada malam hari. Namun kali ini keadaannya berbeda, aula balai desa Mojorejo dipenuhi para warga yang sebagian duduk di kursi juga ada sebagian warga yang berdiri dengan pandangan bingung karena situasi yang tidak biasa ini. Ada sebagian warga desa yang menduga telah terjadi sesuatu yang buruk hingga membuat bapak kepala desa sampai mengumpulkan warga pada malam hari.

   Duduk di depan menghadap warga desa adalah Pak Tatang selaku kepala desa juga didampingi seluruh perangkat desa. Dengan seksama Pak Tatang memperhatikan para warga desa yang memenuhi aula balai desa dengan wajah bingung juga bertanya-tanya, dan sebentar lagi Pak Tatang akan menyampaikan sebuah berita buruk yang belum pernah terjadi selama ini di desa Mojorejo. Pak Tatang menoleh ke sebelah kanan dan mendapati orang kepercayaannya menganggukkan kepala tanda inilah saatnya rapat dimulai.

   Sebelum bangkit berdiri, Pak Tatang memejamkan mata sejenak sambil menarik napas dalam-dalam untuk meredakan ketegangan yang semakin lama semakin meningkat. Setelah itu Pak Tatang bangkit berdiri lalu berjalan ke podium dan dengan tenang mulai menyampaikan berita yang akan membuat gempar desa Mojorejo malam ini.

   “Assalamualaikum dan selamat malam bapak-bapak semuanya. Saya sampaikan terima kasih banyak telah berkenan hadir di aula ini dengan pemberitahuan yang begitu singkat. Saya terpaksa mengumpulkan bapak-bapak semua karena ada sesuatu yang genting dan mendesak untuk segera dipecahkan,” kata Pak Tatang membuka pertemuan ini, lalu berhenti sejenak supaya kata-katanya dapat diserap oleh warga desa. Kemudian Pak Tatang melanjutkan kembali ceritanya. “Dengan berat hati saya menyampaikan berita buruk ini. Ketika saya sedang melihat televisi bersama istri dan kedua anak saya. Tiba-tiba Pak Hassan datang ke rumah dan memberi informasi tentang anaknya juga anak Pak Suryo yang belum kembali ke rumah sejak bermain tadi sore,” ujar Pak Tatang menutup ceritanya.

   Seketika ruang rapat menjadi gaduh dengan informasi yang baru saja Pak Tatang sampaikan. Terdengar suara-suara warga desa yang menduga tentang berbagai hal mulai dari yang mistis hingga aksi kejahatan terhadap anak Pak Hassan dan Pak Suryo. Kemudian terlihat seorang warga mengangkat tangan lalu berbicara menyampaikan pendapatnya dalam masalah ini.

   “Kalau boleh tahu, dimanakah posisi terakhir kali kedua anak itu terlihat?” tanyanya.

   Pak Tatang mengangkat kedua tangannya untuk menenangkan warga yang hadir sebelum menjawab pertanyaan dari warga lainnya serta melanjutkan ceritanya. Ketika suasana aula desa telah kembali tenang, tetapi kali ini Pak Tatang dapat merasakan ada ketegangan yang memenuhi aula desa Mojorejo ini.

   “Dari cerita yang disampaikan Pak Hassan kepada saya. Informasi awal adalah Dimas meminta izin kepada ibunya akan bermain bersama Rifki. Setelah itu keberadaan Dimas dan Rifki tidak diketahui sampai saya menyampaikan berita ini,” pungkas Pak Tatang.

   “Apakah telah terjadi penculikan terhadap Dimas dan Rifki?” tanya warga desa lainnya.

   “Ini sungguh buruk jika benar telah terjadi penculikan di desa Mojorejo ini,” imbuh warga lainnya.

   “Saya mohon bapak-bapak semua harap tenang,” pinta Pak Tatang. “Kita masih belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi terhadap Dimas dan Rifki. Jadi kita tidak bisa langsung mengambil kesimpulan tentang terjadinya tindak kejahatan berupa penculikan. Karena informasi yang kita miliki sangat minim.”

   “Itu benar apa yang baru saja disampaikan oleh bapak kepala desa,” ujar warga lainnya.

   “Kemudian apa yang akan kita lakukan dengan situasi seperti ini? Apakah kita akan berdiam diri saja menunggu kedua anak itu kembali ke rumah masing-masing?” tanya warga lainnya.

   “Begini bapak-bapak sekalian,” kata Pak Tatang menyampaikan, “saya ingin meminta bantuan bapak-bapak sekalian untuk membantu melakukan pencarian guna menemukan keberadaan Dimas dan Rifki secepatnya. Apakah bapak-bapak sekalian bersedia membantu?” tanya Pak Tatang.

   “Kami bersedia.” Terdengar jawaban serentak dari para warga yang berada di dalam aula rapat.

   “Malam ini saya akan membangi beberapa kelompok untuk melakukan pencarian di beberapa tempat sekaligus. Harapannya dengan mengerahkan beberapa regu pencari, keberadaan Dimas dan Rifki dapat segera diketemukan.”

   Kemudian sisa rapat berikutnya digunakan oleh bapak kepala desa beserta jajaran untuk membentuk beberapa regu pencari. Bapak kepala desa memahami, bahwa pencarian pada malam hari tidak akan maksimal tetapi tetap melakukan pencarian karena semakin lama Dimas dan Rifki tidak ditemukan, akan semakin sulit menemukan keduanya. Waktu adalah segalanya dalam situasi seperti ini. Setelah akhirnya regu pencari terbentuk, kini tibalah untuk memulai pencarian dengan petunjuk yang hampir tidak ada.

   Ketika bapak kepala desa akan memberangkatkan regu pencari, tiba-tiba sesuatu yang tak terduga terjadi. Pada saat itu, di luar aula desa Mojorejo turun hujan yang sangat deras disertai angin yang bertiup kencang seakan badai sedang mengamuk. Dalam situasi seperti ini tidak mungkin bagi kepala desa untuk memberikan izin melakukan pencarian. Jika tetap dipaksakan melakukan pencarian dalam kondisi hujan badai, ini akan membahayakan para regu pencari yang bertugas di lapangan. Ini adalah sebuah pilihan yang sulit bagi kepala desa dan saat ini kepala desa tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi kekuatan alam yang sedang mengamuk dan tidak bersahabat seperti sekarang.

   Untuk meredakan ketegangan yang sedang dihadapi, bapak kepala desa berjalan meninggalkan aula rapat menuju ke koridor yang berada di luar lalu berhenti sambil menyilangkan kedua tangannya di punggung. Dalam diam pandangan mata kepala desa menatap jauh ke depan ke tempat kegelapan sedang menyelimuti desa Mojorejo, ditambah pikirannya sedang memikirkan kedua anak yang hilang entah kemana. Apalagi dalam keadaan hujan badai seperti sekarang, bapak kepala desa hanya bisa menggelengkan kepala untuk mengusir gambaran buruk tentang kedua anak itu.

   Ternyata hujan badai yang mengguyur desa Mojorojo baru mereda ketika waktu mendekati tengah malam. Dengan terpaksa bapak kepala desa membatalkan pencarian malam ini karena sudah tidak memungkinkan lagi dan meminta kepada seluruh warga yang ada di aula desa untuk segera pulang ke rumah dan beristirahat. Karena esok pagi pencarian akan dilakukan dengan kekuatan penuh dan serentak guna menemukan keberadaan kedua anak yang hilang. Akhirnya para warga desa mulai meninggalkan aula rapat sambil berjalan menuju ke rumah masing-masing. Dan orang terakhir yang meninggalkan aula rapat adalah Pak Tatang yang berjalan perlahan menyusuri jalanan desa yang becek akibat baru saja diguyur hujan badai.

***   

   Empat hari telah barlalu sejak dimulainya pencarian untuk menemukan keberadaan Dimas dan Rifki. Namun sampai saat ini belum membuahkan hasil dan tidak ada kemajuan yang berarti. Padahal seluruh area juga sudut-sudut desa, dan tidak ketinggalan pula tempat-tempat yang jarang dikunjungi warga desa telah disisir dengan seksama. Tetapi tetap saja, tidak ada petunjuk sekecil apa pun yang dapat menjelaskan hilangnya Dimas dan Rifki dari desa Mojorejo.

   Pada malam keempat pencarian, kepala desa seperti biasa mengadakan evaluasi juga mendiskusikan langkah selanjutnya mengenai hilangnya Dimas dan Rifki secara misterius. Pada rapat kali ini yang dihadiri hampir seluruh warga desa Mojorejo yang telah ikut membantu melakukan pencarian secara sukarela. Bapak kepala desa ingin mengetahui kemajuan yang telah dicapai pada hari ini.

   “Selamat malam bapak-bapak sekalian,” kata bapak kepala desa membuka rapat. “Saya sampaikan terima kasih banyak atas bantuan tenaga, pikiran, juga waktu dalam melakukan pencarian selama empat hari ini. Pada rapat kali ini saya ingin mengetahui perkembangan yang telah dicapai dari dimulainya pencarian pada pagi hari hingga akhir pencarian pada sore hari. Untuk itu saya ingin mendengar laporan dari ketua regu satu tim pencari. Untuk waktu dan tempat saya persilahkan.”

   ketua regu satu tim pencari segera bangkit berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju ke podium yang ada di depan ruangan. Seketika ruang rapat menjadi hening, karena seluruh warga yang hadir ingin mendengar apa yang akan disampaikan.

   “Selamat malam bapak kepala desa dan para warga desa yang berkumpul di aula ini,” kata ketua regu satu tim pencari mulai menyampaikan laporan. “Izinkan saya menyampaikan laporan hasil pencarian pada hari keempat ini. Dengan berat hati saya sampaikan kepada kepala desa juga kepada seluruh warga desa, bahwa sampai saat ini masih belum ditemukan tanda-tanda keberadaan Dimas dan Rifki. Saya selaku ketua regu satu tim pencari telah berusaha semaksimal mungkin melakukan pencarian dengan mendatangi tempat-tempat yang sekiranya kami duga menjadi tempat tujuan bermain Dimas dan Rifki.” Ketua regu satu tim pencari kembali diam sesaat sebelum melanjutkan pemaparannya. “Namun sampai sejauh ini, kami belum menemukan tanda-tanda keberadaan Dimas dan Rifki dan seolah kedua anak ini hilang bagai di telan bumi tanpa meninggalkan jejak.” Seketika alua rapat menjadi semakin sunyi, ditambah aura ketegangan semakin memuncak setelah mendengar laporan dari ketua regu satu tim pencari. “Oleh karena itu,” kata ketua regu satu tim pencari melanjutkan, “semua keputusan saya serahkan kembali kepada bapak kepala desa selaku penanggung jawab dari proses pencarian ini. Demikian laporan saya kepada bapak kepala desa juga kepada seluruh warga desa yang hadir di aula rapat ini dan satu hal lagi, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada semua yang hadir di sini karena saya belum berhasil menemukan keberadaan Dimas dan Rifki.” Setelah selesai menyampaikan laporan dengan ditutup permohonan maaf, ketua regu satu tim pencari berjalan meninggalkan podium dan kembali menuju ke tempat duduknya.

   Rapat malam itu mendengar laporan hasil pencarian dari regu dua, tiga dan empat. Dari semua laporan yang telah disampaikan sejauh ini kepada bapak kepala desa juga seluruh warga desa yang hadir di aula rapat. Dapat disimpulkan bahwa, sampai sejauh ini belum ada hasil yang signifikan dan sepertinya keempat regu pencari menemui jalan buntu. Oleh karena itu, bapak kepala desa harus mengambil keputusan tentang bagaimana kelanjutan upaya pencarian Dimas dan Rifki ini.

   Setelah semua regu selesai menyampaikan laporannya, kini giliran bapak kepala desa yang berjalan menuju ke podium untuk menyampaikan keputusan sulit yang harus diambil dalam situasi ini.

   “Bapak-bapak sekalian. Kita semua telah mendengar laporan pencarian dari keempat regu yang dibentuk untuk melakukan pencarian guna menemukan keberadaan Dimas dan Rifki yang hilang entah kemana. Kita semua telah mengetahui dari laporan yang disampaikan tadi, bahwa keempat regu yang melakukan pencarian tidak menemukan kemajuan yang berarti dan seperti selalu menemui jalan buntu. Kejadian ini sungguh pelik bagi saya selaku kepala desa, terlebih kepada keluarga korban yang selama ini menanti hasil dari pencarian ini. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang ada, dengan berat hati saya mengambil keputusan untuk menghentikan sementara proses pencarian terhadap hilangnya Dimas dan Rifki sampai ada tanda-tanda yang bisa menuntun dipecahkannya masalah ini. Keputusan ini pasti berat bagi keluarga korban tetapi saya sebagai kepala desa akan selalu siap jika dibutuhkan untuk melakukan pencarian kembali.” Bapak kepala desa berhenti sejenak lalu memandang kepada warga yang memenuhi aula desa Mojorejo. Terlihat wajah-wajah yang sedih dengan keputusan yang baru saja diambil. Kemudian bapak kepala desa kembali melanjutkan, “demikianlah informasi juga keputusan yang dapat saya sampaikan kepada seluruh warga desa yang hadir di aula ini dan saya selaku kepala desa Mojorejo memohon maaf apabila ada kekurangan selama memimpin proses pencarian terhadap hilangnya Dimas dan Rifki. Akhirnya rapat malam ini saya tutup dan saya sampaikan terima kasih banyak,” pungkas bapak kepala desa.

   Setelah bapak kepala desa menutup rapat dan turun dari podium, barulah warga yang sejak awal berkumpul di dalam aula desa Mojorejo mulai berangsur-angsur meninggalkan ruang rapat untuk kembali ke rumah masing-masing. Tidak begitu lama aula rapat yang sebelumnya penuh dengan warga kini terlihat kosong dan sepi. Hanya ada dua orang yang duduk diam sambil tenggelam dengan pikirannya masing-masing. Keheningan aula desa Mojorejo seakan menjadi saksi bisu sebuah peristiwa hilangnya dua anak secara misterius dan menjadi tanda tanya besar.

   “Menurutmu apa yang sebenarnya terjadi kepada Dimas dan Rifki?” terdengar suara bapak kepala desa bertanya kepada orang kepercayaannya yang duduk di sampingnya

   “Aku sendiri juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Karena baru pertama kali ini ada kejadian seperti ini di desa kita,” jawab orang kepercayaan bapak kepala desa.

   “Kau benar.” Hanya kata itu yang keluar dari mulut bapak kepala desa.

   Setelah percakapan singkat itu, aula desa Mojorejo kembali hening dan hanya terlihat dua orang yang duduk diam bagai seorang pertapa dengan raut wajah lelah.

~Selesai~

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Frank Jiib lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler