x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 11 April 2022 06:11 WIB

Dua Gaya Respon DPR: Kapan Santai dan Kapan seperti Tersengat Listrik

Ketika harga minyak goreng melambung tak terkira, pimpinan dan anggota DPR tenang-tenang saja. Tatkala mendengar kabar dr Terawan dipecat dari IDI, mereka bereaksi seperti tersengat arus listrik. Para politisi itu memang senang bermain-main kekuasaan yang akan mereka gunakan sesuai kehendak. Mereka menekan keras IDI karena masalah ini terkait kepentingan pribadi mereka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lihatlah lagak para anggota Dewan Perwakilan Rakyat [DPR]. Tatkala minyak goreng susah didapat, mereka diam. Ketika minyak goreng berlimpah tapi harga melambung, mereka tutup mulut. Sewaktu harga BBM naik, mereka pura-pura tidak tahu. Namun, saat mendengar dr. Terawan dipecat dari Ikatan Dokter Indonesia [IDI], mereka bereaksi layaknya tersengat arus listrik.

Kata-kata provokatif bersahutan datang dari lisan para anggota DPR. Ada pimpinan Dewan yang menuding bahwa pemecatan itu membayakan dunia kedokteran kita di masa depan—sangat lebay. Ada anggota Dewan yang mengancam akan membubarkan IDI. Ada juga menteri yang tidak mengurusi kesehatan melihat momen ini sebagai peluang untuk mencampuri urusan organisasi profesi.

Intinya: para politisi itu senang bermain-main kekuasaan apabila ada urusan yang menyangkut kepentingan mereka. Mereka sedang menggenggam kekuasaan, dan karena itu merasa punya wewenang yang bisa mereka gunakan sesuai kehendak mereka, antara lain memaksa organisasi profesi untuk mengaku salah atau mengakomodasi apapun kemauan mereka. Mereka tak mau tahu bahwa organisasi itu sedang menegakkan aturan etika profesi. Sesungguhnyalah, mereka menekan keras IDI karena masalah ini terkait kepentingan pribadi mereka.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sayangnya, mereka tidak mau menggunakan kekuasaan serupa untuk meringankan beban hidup rakyat saat ini: harga minyak goreng melambung, harga kebutuhan makan sehari-hari menanjak, harga bahan bakar minyak melompat, hingga ongkos tranportasi naik, bahkan mie goreng instan pun sudah naik karena dipajaki. Terhadap situasi itu, suara pimpinan dan anggota Dewan nyaris tak terdengar.

Tak ada anggota Dewan yang menekan pemerintah dan menuntut para pejabat agar bekerja lebih benar demi meringankan beban rakyat. Reaksi mereka terhadap tekanan ekonomi yang dialami rakyat hanya riak kecil dibandingkan reaksi mereka terhadap pemecatan Terawan. Apakah kepentingan rakyat banyak tidak berharga dibandingkan kepentingan elite sendiri terkait masalah kesehatan?

Respon yang berbeda di antara dua peristiwa tersebut memperlihatkan betapa rasa empati para politisi terhadap kesulitan rakyat demikian rendah. Reaksi berlebihan terhadap pemecatan Terawan itu sangat mungkin terkait pengalaman pribadi mereka—semacam testimoni. Testimoni hanya mungkin dinyatakan oleh orang yang mengalami apa yang ditestimonikan—dalam hal ini menjalani perawatan ala dr Terawan.

Di saat yang sama, apabila menggunakan logika serupa, rendahnya reaksi anggota dan pimpinan DPR terhadap persoalan minyak goreng menunjukkan bahwa hal itu disebabkan karena mereka tidak pernah mengantri panjang untuk mendapatkan minyak goreng. Mereka tidak memiliki testimoni berupa kesulitan hidup karena tekanan ekonomi: tidak memiliki pengalaman otentik tidak punya minyak goreng di dapur karena harganya tak terjangkau, tidak punya pengalaman otentik mengantri untuk memperoleh sekantung minyak, tidak punya pengalaman kekurangan bahan makanan sehari-hari karena harga terus meningkat.

Lantaran itulah, para politisi yang sekaligus juga pejabat politik tidak peka terhadap beban hidup rakyat. Mereka tidak mampu bersikap empatetik, bahkan menjadikan antrian ibu-ibu sebagai gurauan kenapa kalau minyak goreng mahal, mbok direbus saja makanannya. Apakah mereka tidak tahu bahwa banyak bapak dan ibu yang membutuhkan minyak goreng bukan hanya untuk dapur sendiri, tapi juga untuk mencari penghasilan: menjual ayam goreng, camilan gorengan, martabak asin, dst.

Tatkala isu mafia minyak goreng muncul, DPR tidak segera bergegas mencari tahu siapa mereka, tidak tergerak untuk membentuk panitia khusus untuk membongkar praktik dagang minyak goreng, dan seterusnya. Para politisi itu tenang-tenang saja. Dapat dipahami bahwa sikap ini dikarenakan mereka tidak memiliki pengalaman otentik menghadapi tekanan ekonomi seperti saat ini.

Jikalaupun mereka mengaku punya pengalaman menyedihkan di masa lampau, mungkin saat ini mereka tidak ingin mengingat-ingatnya sekarang. Mereka tidak ingin membicarakan pengalaman pahit hidup sulit di masa lalu. Mereka ingin menikmati hidup enak di masa sekarang, ditopang uang negara, bisa bermain-main kekuasaan, dan dengan perlakuan istimewa sebagai pejabat negara.

Untuk apa harus pusing dengan harga minyak goreng yang melambung, pertamax yang melompat, serta harga daging ayam dan sapi yang terus mendaki bila semuanya sudah tersedia di dapur tanpa mereka berbelanja ke pasar? Respon pimpinan dan anggota DPR terhadap dua kasus di atas menunjukkan bahwa respon mereka sangat dilatari oleh pengalaman otentik. Ketika mereka tidak memiliki pengalaman otentik, mereka tidak tahu harus bersikap seperti apa atau malah bersikap tidak peduli. Manakala mereka memiliki pengalaman otentik mengenai hal tertentu, mereka akan bereaksi keras membelanya, nyaris membabi buta. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler