x

Atheis adalah sebuah novel karya Achdiat Karta Mihardja yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1949.

Iklan

Ramdhan Adi Wibowo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 April 2022

Minggu, 10 April 2022 13:01 WIB

Psikologi Sastra dalam Novel Atheis Karya Achdiat Kartamiharja

artikel ini dibuat untuk mengetahui psikologi sastra pada novel "atheis" karya achdiat kartamiharja

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Apa itu psikologi? Psikologi merupakan bidang ilmu pengetahuan dan ilmu terapan yang mempelajari tentang perilaku, fungsi mental, dan proses mental manusia melalui prosedur ilmiah.

Bagaimana dengan psikologi sastra? Psikologi sastra merupakan cabang ilmu kajian sastra yang melihat karya sastra sebagai aktivitas dan pantulan kejiwaan.

Karya sastra sendiri memiliki arti karya cipta yang berisi permasalahan yang ada di lingkungan sekitar atau permasalahan yang dialami oleh pengarangnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di dalam karya novel unsur-unsur psikologi seringkali digunakan sebagai sifat dan watak tokoh-tokoh yang berhubungan dengan peristiwa atau suasana lingkungan.

Dalam psikologi sastra memiliki tipe-tipe emosi yang tidak terhitung banyaknya. Adapun tipe-tipe emosi dari unsur-unsur psikologi sastra, yakni kegembiraan, cinta, marah, takut, cemas, dan lain-lain.

Tipe-tipe seperti itu dikategorikan sebagai yang positif, misalnya kegembiraan dan cinta sedangkan yang negatif seperti marah, takut, cemas, dan lain-lain.

Gambaran ini diberikan untuk melihat bagaimana konsep psikologi itu, dalam hal ini adalah konsep id-ego-super ego.

Hal tersebut berlaku dalam novel Atheis, dimana Tokoh Hasan digambarkan memiliki sifat dan emosional, seperti cinta, kasih sayang, takut, cemas, dan marah.

Sifat kasih sayang dari Tokoh Hasan muncul sebagai akibat dari berbaktinya terhadap orang tua, posisi Tokoh Hasan sebagai seorang anak yang telah dirawat dan dibesarkan dengan penuh perjuangan oleh orang tuanya. Dengan orang tua yang masih utuh dan dengan lingkungan yang baik, menyebabkan Tokoh Hasan memiliki rasa kasih sayang. Hal ini dapat dilihat

Sambil berkata demikian itu, tangan Ayah bergerak-gerak tak karuan seolah-olah hendak memeluk Aku, mengelus-elus rambutku seperti Aku masih kecil. Tapi rupanya ia insyaf, bahwa aku sekarang sudah dewasa, sudah tidak bisa lagi dielus-elus seperti dahulu. Aku duduk bersila di hadapan Ayah. Tunduk. Air mata hendak mendesak ke kerongkongan (Atheis, 24-25)

Dari kutipan di atas memperlihatkan bahwa Tokoh Hasan yang begitu kasih terhadap orang tuanya, segala apa yang diperbuat adalah untuk membahagiakan orang tuanya.

Hingga air mata Tokoh Hasan ingin juga keluar karena respon dari kasih orang tuanya terhadap Tokoh Hasan itu. Rasa kasih sayang dari Tokoh Hasan muncul karena pengaruh dari lingkungan.

Rasa takut juga dihadapi oleh Tokoh Hasan. Sekalipun selama ini dia berkumpul dengan orang-orang yang Atheis, yang tidak percaya adanya Tuhan. Namun, ketakutan tetap menghampiri Tokoh Hasan, dia takut akan neraka dan siksanya. Seperti yang diceritakan oleh bibinya.

Rupanya perkataan “Atheis” itu, bunga layu itu dengan tiba-tiba sudah berubah manjadi seekor ular cobra yang tegak mendesis-desis hendak menggigit, “jangan! Janganlah sekali lagi saudara mengatakan, bahwa saya ini Atheis! Karena.…… (hening beberapa jurus. Kemudian dengan suara merendah) karena saya takut. Takut neraka! Dan memang neraka itu ada. Saudara! Ada! (suaranya naik lagi)”, (Atheis, 185-186)

Rasa takut bercampur sesal menghimpit pada Tokoh Hasan, ketakutan dan penyesalan yang luar biasa mengakibatkan jiwanya patah dan tergoncang.

Dimulai dari Ayahnya yang sakit keras karena memikirkan dirinya. Dalam batinnya dia berteriak Ayahnya sakit karena dia. Belum lagi penyakit TBC yang dideritanya serasa ia mau mati juga. Tokoh Hasan memberanikan diri untuk menjenguk Ayahnya yang terbaring sakit di rumah sakit, namun kehadirannya semakin memperburuk keadaan.

Tokoh Hasan diusir oleh Ayahnya. Hatinya begitu pedih. Ketakutan dan Penyesalannya serta goncangan jiwanya semakin menjadi. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan dibawah ini.

“kamu telah berdosa! Ayahmu sampai marah, karena tak tertahankan lagi penderitaanya memikirkan pendirianmu yang sesat! Kamu telah telah ingkar dari agamamu sendiri! Kamu telah pecat dari imanmu kepada Tuhan! Telah murtad! Kafir! Atheis!”

Mendesing-desing suara itu, seolah-olah dalam lobang perlindungan yang gelap itu ada seorang yang berdiri di depan Hasan, menghardik dan mencela habis-habisan. Hasan memejamkan matanya lagi. Tidak berani melihat apa-apa lagi. Tapi air matanya merembes diantara celah kelopak matanya (Atheis, 217).

Dalam kutipan diatas juga dapat kita lihat, sebuah penyesalan yang disimbolkan dengan air matanya yang meleleh.

Dalam jiwa Tokoh Hasan muncullah dendam terhadap Tokoh Anwar yang telah membawa dia kepada jalan yang tidak benar. Hal itu dapat dilihat dari kutipan dibawah ini!

“Ya, si Anwar itulah yang menyesatkan daku…! … ya. Tapi aku sendiri pun bodoh. Aku bodoh. Karena aku selalu mudah dipengaruhi dan tak sanggup membikin keyakinan sendiri yang kukuh kuat!” (Atheis, 218).

Dalam kajian psikologi sastra, akan berusaha mengungkap psikoanalisa kepribadian yang dipandang meliputi tiga unsur kejiwaan, yaitu: id, ego, dan super ego. Ketiga sistem kepribadian itu atau sama lain salin berkaitan serta membentuk totalitas, dan tingkah laku manusia yang tak lain merupakan produk interaksi ketiganya.

Id adalah sistem kepribadian manusia yang paling dasar. Id menggerakkan individu untuk mendapatkan kepuasan dan kesenangan yang berasal dari rangsangan nafsu. Karena itu, pemuasan keinginan nafsu ini menjadi salah satu kebutuhan penting, tidak saja bagi atau lebih individu.

Dalam novel Atheis ini, Tokoh Hasan juga memiliki dorongan nafsu. Tokoh Hasan yang biasanya menjaga diri dari berhubungan dengan wanita yang bukan muhrim, namun terjadi peristiwa yang tiba-tiba saat Tokoh Hasan dan Tokoh Kartini pulang menuju rumah masing-masing.

Dari arah tikungan Hasan dan Kartini naik delman muncullah mobil sedan yang jaraknya begitu dekat, seolah menyerempet delman yang dinaiki Tokoh Hasan dan Kartini. Dan Kartini pun menjerit ketakutan.

Aku tidak bisa lanjut. Hatiku berdegup tak karuan. Malu kah aku, atau menyesal atau malah cemas, karena aku sudah beradu kulit dengan seorang perempuan yang bukan muhrim? Entahlah, belum pernah hatiku berdegup demikian. Belum pernah aku merasa dihinggapi perasaan yang demikian dengan sehebat itu. Memang hebat benar pengaruh-pengaruh yang bekerja keras atas diriku pada malam itu: kesunyian malam, harum bedak dan minyak wangi dan selanjutnya masih terasa benar diujung jari-jari dan telapak kedua belah tanganku keempukan buah dada Kartini. Ketika dia hendak jatuh terlentang ke dalam pelukanku. (Atheis, 85)

Kutipan diatas memperlihatkan bahwa Tokoh Hasan sekalipun dia seorang yang alim dan saleh, tapi tetap saja memiliki dorongan nafsu seksual.

 Sebenarnya nafsu itu bukan hanya nafsu seksual saja yang berorientasi pada hal-hal negatif. Tapi juga nafsu yang mendorong manusia untuk hal-hal kebaikan itu juga ada.

Ikuti tulisan menarik Ramdhan Adi Wibowo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler