x

Ilustrasi Situasi Perang Belanda di Aceh (Sumber : jernih.co)

Iklan

Bayu W |kuatbaca

Penulis Manis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 Maret 2022

Senin, 11 April 2022 06:33 WIB

Fatwa Jihad Dari Aceh untuk Kemerdekaan Indonesia yang Republik, Bukan Federal

Saat Yogyakarta berhasil diduduki Belanda melalui agresi praktis Republik kehilangan wilayahnya. Dengan begitu Indonesia tinggalah berisi negara-negara federal, tanpa Republik Indonesia yang berazas 17 Agustus 1945. Akan tetapi, di tengah kebuntuan itu Aceh mendawamkan diri tetap sebagai wilayah Republik Indonesia. Bahkan Aceh mengeluarkan fatwa jihad untuk mempertahankan Republik Indoensia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saat Yogyakarta berhasil diduduki Belanda melalui agresi praktis Republik kehilangan wilayahnya. Dengan begitu Indonesia tinggalah berisi negara-negara federal, tanpa Republik Indonesia yang berazas 17 Agustus 1945. Akan tetapi, di tengah kebuntuan itu Aceh mendawamkan diri tetap sebagai wilayah Republik Indonesia. Bahkan Aceh mengeluarkan fatwa jihad untuk mempertahankan Republik Indoensia.

Pasca pemindahan ibu kota dan pusat pemerintahan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari Bukitinggi, Sumatera Barat, ke Kota Banda Aceh, setiap hari ada saja serangan meriam kapal-kapal perang Belanda dari luar ke daratan Aceh. Juga, gempuran roket dari pesawat-pesawat pengebom milik Belanda, yang kemudian selalu mendapat perlawanan dari berbagai angkatan perang Aceh.

Menyadari hal itu, dalam suasana genting akibat perang, untuk menghadapi dan mencegah masuknya militer Belanda ke Aceh, pada 23 Desember 1948, para ulama Aceh mengeluarkan fatwa tentang wajib jihad dan hukuman bagi mereka yang bekerja sama dengan Belanda. Isi fatwa ulama tersebut sebagaimana ditulis oleh Staf Jawatan Penerangan TNI Divisi X Komandeman Sumatera, Letnan Kolonel Teuku Alibasjah Talsya dalam buku Modal Perjuangan Kemerdekaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berhubung dengan suasana penyerangan Belanda mulai tanggal 19 Desember 1948 sampai sekarang melanggar kehormatan negara, bangsa dan agama bangsa Indonesia umumnya, yang muslimin khususnya, maka memutuskan:

"Pertama, memfatwakan bahwa perjuangan kita menghadapi agresi Belanda adalah kewajiban fisabilillah dari sekalian warga Republik Indonesia. Kedua, terhadap orang-orang yang membantu musuh dengan perkataan atau perbuatan, dianggap mengkhianati tanah air dan patut diambil tindakan atas dirinya, kemudian diserahkan kepada pemerintah dan hakim tentara."

Pada hari yang sama pula, 23 Desember 1948, ulama-ulama Aceh bersama dengan para pemimpin gerakan perjuangan, melakukan pertemuan dengan Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo, Jendral Mayor Tituler Teungku Muhammad Daod Beureu’eh di Banda Aceh. Dalam pertemuan itu dibicarakan suasana genting yang meliputi seluruh tanah air akibat agresi Belanda. Para ulama Aceh yang hadir dalam pertemuan itu antara lain: Teungku HA Hasballah, Teungku Lam U, Teungku Muhammad Amin Alue, Teungku H Hasan Kruengkale, Habib Kadju, Teungku Muhammad Saleh Lambhuk, Teungku H Djafar Lambirah, Teungku Muhammad Sufi, Teungku H Hamzah, serta beberapa ulama lainnya. Di hadapan para ulama tersebut, Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo, Jendral Mayor Teungku Muhammad Daod Beureu’eh berpidato dan menegaskan tentang aksi-aksi yang akan dilakukan oleh militer dalam melawan serangan Belanda ke Aceh.

"Teungku-Teungku dan pemimpin-pemimpin yang mulia. Saat ini sudah sampai di puncak kegentingan. Belanda ingin menjajah kita kembali, serta memperkosa hak dan agama kita yang suci. Bermacam-macam akan dilakukan oleh Belanda untuk membujuk bangsa Indonesia, terutama mereka-mereka yang bersimpati kepadanya. Belanda melakukan politik pecah belah, menghasut antara rakyat dengan rakyat, antara partai dengan partai, dan setelah itu barulah mereka melakukan agresinya, setelah kita lemah di dalam.

Suasana dewasa ini, terutama antara kita dengan Pemerintah Pusat telah terputus perhubungan, terserahlah kepada kita sendiri untuk mengendalikan pemerintahan di daerah kita ini. Di seluruh daerah-daerah pendudukan Belanda telah timbul pemberontakan-pemberontakan, sedang dunia luar menaruh simpati kepada perjuangan kita.

Oleh sebab itu kita serukan kepada dunia yang simpati kepada kita, agar mereka tidak saja membantu kita dengan moral, tetapi juga dengan material. Pemerintah Belanda sendiri tidak punya kekuatan apa-apa di Indonesia, tetapi karena tipu muslihatnya, mereka dapat mempergunakan tentara sewaan terdiri dari bangsa kita sendiri.

Dengan begitu, bangsa kita sendirilah yang mengkhianati bangsa dan tanah airnya dengan menjadi perkakas kezaliman Belanda. Kami sebagai pemimpin angkatan perang telah mengambil keputusan dan ketetapan untuk melawan musuh, dan meneruskan peperangan ini menghadapi Belanda, hingga kemenangan akhir tercapai. Tenaga kami akan kami serahkan sebesar-besar mungkin untuk membela negara.

Kami berharap kepada alim ulama dan pemimpin-pemimpin akan memberikan bantuan kepada kami, baik tenaga maupun pikiran. Seterusnya, kami berharap agar Teungku-Teungku menyampaikan pengharapan kami kepada saudara-saudara kami di kampung, agar mereka memberi bantuan kepada kami. Kami yakin, bahwa suara Teungku-Teungku itu dicintai dan diikuti oleh rakyat, karena Teungku-Teungku ibarat penunjuk jalan bagi mereka.”

Sesudah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta beserta para pejabat tinggi negara ditawan Belanda melalui agresi yang menjatuhkan Yogyakarta, maka Aceh menjadi teritori Republik Indonesia terakhir secara de facto di mana daerah lain telah menjadi federal. Oleh Aceh, propaganda Belanda yang mengatakan bahwa Republik sudah tidak ada, langsung dapat dibantah mentah-mentah.[]

Ikuti tulisan menarik Bayu W |kuatbaca lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler