x

Ilustrasi Persekonglolan Politik. Ilustrasi oleh Gerd Altmann dari Pixabay.com

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 14 April 2022 07:21 WIB

Jalan Demokrasi akan Berujung Kemana?

Bila tidak terus dirawat, dijaga, serta dikembangkan, demokrasi berpotensi untuk dibelokkan dan diselewengkan. Ketika mayoritas parlemen dikuasai oleh pendukung yang berkuasa, maka aturan-aturan yang semula demokratis dapat diubah menuju otoritarianisme melalui cara-cara yang (terkesan) demokratis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Demokrasi adalah proses yang harus terus diikhtiarkan. Demokrasi tidak serta merta selesai dengan deklarasi kami negara demokrasi. Apalagi jika ‘negara kita negara demokrasi’ hanya dijadikan jargon untuk menarik simpati dunia dan memoles citra di hadapan rakyat. Ungkapan ‘kita negara demokrasi’ akan semakin susut bobot nilainya karena semakin sering dipakai hanya untuk menunjukkan sikap seolah-olah terbuka terhadap kritik.

Mengapa demokrasi harus terus diikhtiarkan? Bila tidak terus dirawat, dijaga, serta dikembangkan, demokrasi berpotensi untuk dibelokkan dan diselewengkan. Ketika mayoritas parlemen dikuasai oleh pendukung yang berkuasa, maka aturan-aturan yang semula demokratis dapat diubah menuju otoritarianisme melalui cara-cara yang (terkesan) demokratis.

Dalam sejarah berbagai bangsa dan negara, terdapat banyak contoh bahwa kekuasaan yang bersifat otoriter dan berlangsung sangat lama tidak selalu lahir dari perebutan kekuasaan atau kudeta. Banyak figur otoriter yang tampil berkuasa melalui proses demokratis. Mereka kemudian memperpanjang kekuasaan melalui proses yang terkesan demokratis. Disebut terkesan demokratis karena pemilihan pemimpin ini dilakukan di bawah tekanan penguasa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Salah satu contohnya ialah Adolf Hitler. Setelah melakukan kudeta dan gagal, Hitler memutar haluan dengan membentuk Partai Nazi. Ia berusaha masuk ke dalam kekuasaan dengan membentuk partai politik. Hitler lalu mendaftarkan Partai Nazi sebagai peserta pemilu di Jerman. Partai ini menang, hingga Hitler dilantik sebagai kanselir yang baru.

Setelah itu, Hitler hanya membutuhkan satu tahun untuk mengonsolidasikan kekuasaan. Pada akhir 1933 Jerman pun menjadi negara satu partai—Nazi. Seluruh institusi negara direndahkan di bawah partai. Penguasa baru mengadakan pemilihan parlemen tanpa oposisi dan menggelar referendum untuk meneguhkan kekuasaan orde baru.  

Pelajaran apa yang dapat dipetik dari pengalaman Jerman itu—yang dampaknya luar biasa bagi Eropa pada masanya, bahkan jejak ekornya masih tersisa hingga kini? Dalam bukunya On Tyranny: Twenty Lessons from the Twentieth Century, yang terbit lima tahun lalu, Timothy Snider, guru besar sejarah di Universitas Yale AS, menulis: pengalaman Eropa itu mengajarkan pada kita bahwa di negara demokrasi sekalipun tidak ada jaminan masyarakatnya akan terus menikmati kebebasan.

Anggapan bahwa warisan demokrasi akan selalu mampu melindungi warga dan institusi demokratis akan bertahan dengan sendirinya, kata Snyder, merupakan kekeliruan berpikir, bila bukan kenaifan. Institusi demokrasi tidak akan mampu mempertahankan dirinya sendiri. Rakyatlah yang harus mempertahankan. Sungguh keliru bila kita berasumsi bahwa penguasa yang naik ke kursi kekuasaan melalui institusi demokratis tidak akan mengubah atau menghancurkan institusi itu. Mereka mungkin saja akan menggunakan proses dan cara yang terkesan demokratis, tapi sesungguhnya manipulatif.

Godaan kekuasaan itu sangat luar biasa, dan sangat tidak mudah bagi orang yang telah berkuasa untuk melepaskannya, kecuali mereka yang berjiwa besar. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler