x

Kantor Kejaksan Agung Jakarta, Foto Dokumen Kejagung

Iklan

djohan chan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 November 2019

Rabu, 13 April 2022 09:50 WIB

Tak Ada Lagi Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas

Demi kepastian hukum, rasa keadilan masyarakat juga perlu diperhatikan. Memaksakan pelaku tindak pidana ringan sampai ke pengadilan, hanya menambah penuh isi penjara, dan menambah beban anggaran negara.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tak lagi hanya mementingkan kepastian hukum, tapi menjauhkan hukum itu sendiri dari rasa keadilan masyarakat. Memaksakan pelaku tindak pidana ringan sampai ke pengadilan, hanya menambah penuh isi penjara, dan menambah beban anggaran negara.  

Becermin dari peristiwa masa lalu, tentang dua orang, nenek Ana (bukan nama sebenarnya), dan nenek Minah (55). Keduanya sempat diseret ke persidangan, nenek Ana di Pengadilan Negeri Prabumulih, Sumatra Selatan, dan nenek Aminah di Pengadilan Negeri Purwokerto.

Nenek Ana diseret ke pengadilan karena mengambil beberap rumpun singkong/ ketela pohon di areal perkebunan PT Andalas Kertas untuk memberi makan cucunya sedang kelaparan. Anak sulungnya (bapak dari cucunya itu) sedang sakit, untuk membeli beras tidak punya uang.  

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Akhirnya nenek Ana ditangkap Polisi dan dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan membayar denda Rp 1 juta, dengan sanksi, apabila dalam jangka waktu yang ditentukan nenek Ana tidak membayar uang denda tersebut maka ia akan dipenjara selama tiga tahun kurungan penjara.

Hakim Marzuki yang menangani perkara nenek Ana, sambil menghela nafas, memandang nenek itu di persidangan. "Maafkan saya. Saya tidak dapat membuat pengecualian, hukum tetap hukum, jadi anda harus dihukum,” kata Hakim Marzuki.

Dalam vonisnya di Pengadilan Negri Prabumulih, ketika itu Hakim Marzuki memenuhi tuntutan JPU. Setelah vonis dijatuhkan hakim Marzuki mengambil uang dari dalam dompetnya Rp1 juta, dimasukkan pada topinya.

Kemudian hakim Marzuki menjatuhkan denda sebesar Rp 50 ribu kepada orang yang hadir di ruang sidang itu dan memerintahkan paniteranya mengumpulkan uang denda Rp 50 ribu dari orang yang hadir di ruang sidang itu. 

Menurut Hakim Marzuk, denda sebesar Rp 50 ribu itu dibebankan kepada orang yang hadir di ruang sidang tersebut, dianggap turut membiarkan Nenek Ana dan cucunya kelaparan. Hakim Marzuki juga memerintahkan kepada Panitranya, uang dari Hakim Marzuki Rp 1 juta dan uang yang dikumpulkan dari ruang sidang itu diberikan kepada terpidana (Nenek Ana).     

Panitra pengadilan Negeri Prabumulih itu juga melaporkan, dari uang yang dikumpulkannya itu mencapai Rp 3,5 juta, termasuk Rp 50 ribu dari manajer PT Andalas Kertas, dan dari Hakim Marzuki Rp 1 juta. Diserahkan kepada terpidana (Nenek Ana), dan akhirnya Hakim Marzuki meninggalkan ruang sidang, sedangkan nenek Ana dibawa oleh JPU, untuk proses eksekusi selanjutnya.

Selanjutnya untuk kasus Nenek Minah (55), Warga masyarakat Dusun Sidoarjo, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah. Divonis oleh Majelis hakim yang diketuai oleh Muslih Bambang Luqmono SH, di Pengadilan Negeri Purwokerto, dengan hukuman 45 Hari kurungan penjara. 

Nenek Minah dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan, melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian. Berawal dari memanen kedelai di lahan garapannya, nenek Minah memetik tiga buah kakao dilahan PT Rumpun Sari, maksud tujuannya untuk dijadikan bibit, yang akan di semai pada lahan garapannya.

Tak lama berselang, dari memetik tiga buah kakao itu. Seorang mandor perkebunan PT Rumpun Sari menghampiri Nenek Minah dan si mandor bertanya, “ siapa yang memetik buah kakao itu..? Dengan polos, Nenek Minah mengaku itu adalah perbuatannya. Si mandor bilang kepada Nenek Minah, “ perbuatan itu tidak boleh dilakukan, sama halnya dengan mencuri.” 

Menyadari akan kesalahannya, Nenek Minah itu mengucapkan kata meminta maaf, pada si mandor, dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. Tiga buah kakao itu lalu diserahkan oleh nenek Minah kepada mandor tersebut.

Dalam benak Nenek Minah itu berpikir, semua masalah itu sudah selesai, lalu dia kembali bekerja. Ternyata Peristiwa kecil itu berbuntut panjang. Seminggu kemudian, Nenek Minah mendapat panggilan dari polisi, untuk dimintai keterangannya, dalam kasus tiga buah kakao yang penrnah diambil oleh Nenek Minah itu.

Akhirnya nenek Minah dijadikan sebagai tersangka oleh Polisi, dan ditahan, baik oleh pihak Kepolisian dan Kejaksaan, hingga dibawa Ke Persidangan, dan nenek Minah dituntut oleh JPU dengan hukuman 45 Hari kurungan penjara. Tuntutan JPU ini dikabulkan oleh Majlis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto yang dipimpin Muslih Bambang Luqmono SH.

Ketua Majelis Hakim, Muslih Bambang Luqmono SH sebelum mengetuk palu, menjatuhkan vonis ketika itu terlihat meneteskan airmanya, sambil berkata. “ Mohon maaf ibu, Hukum harus ditegakkan, termasuk kepada orang kecil yang tidak berminat untuk mencuri, tetapi hukum tetap berpatokan pada aturan atau undang-undang,” kata Hakim, Muslih Bambang Luqmono SH. 

Beranjak dari banyaknya kasus tindak pidana ringan (Tepiring), hingga menggugah perasaan Hakim sempat menjadi sedih dan meangis. Karena kerugian korban dinilai tidak sebanding dengan akibat yang akan diterima oleh terdakwa pelaku. Akhirnya Kapolri menginisiasi untuk Penerapan Keadilan, dengan mengutamakan pemulihan kerugian.

Hal itu dituangkan dalam Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018, tertanggal 27 Juli 2018. Tentang Penerapan Keadilan Restoratif. Maksudnya, hukum hendaknya lebih mengutamakan pemulihan kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana, dan masalah Tepiring, perlu melibatan partisipatif dari korban, pelaku, dan tokoh masyarakat, agar masalahnya tidak sampai Ke Pengadilan.    

Seiring dengan program Keadilan Restoratif yang diterapkan oleh Polri, Jaksa sebagai filter dari penanganan perkara, bisa dan tidaknya untuk dilanjutkan ke persidangan, juga menerapkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) yang diterbitkan oleh Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM Pidum Nomor: 01/E/ EJP/02/ 2022, tanggal 10 Februari 2022, tentang penerapan keadilan restoratif.   

Untuk Pelaksanaan Penghentian Penuntutan tersangka tidak diteruskan ke persidangan (Keadilan Restoratif), sebagai perwujudan kepastian hukum, memiliki 4 kreteria persyaratan, 1. Pelaku  belum pernah dihukum, 2. Korban telah memaafkan kesalahan pelaku, 3. Pelaku, atau tersangka diancam hukuman dibawah lima tahun, 4. Perdamaiyan antara korban dan pelaku mendapat dukungan dari tokoh masyarakat setempat.     

Bagi masyarakat yang telah memenuhi 4 kreteria, seperti tersebut diatas, dan membutuhkan penyelesaian kasus hukumnya. Bisa langsung menghubungi layanan Restorative Justice Jaksa Agung Muda (JAM) Pidana umum (Pidum), melalui hotline; 0813-9000-2207.

Kepolisian dan Kejaksaan menerapkan program Restorative Justice, untuk menghilangkan “ Imide ” masalah hukum yang sering diucapkan masyarakat bahwa, “ Hukum tajam kebawah, tumpul keatas.”

Sebagai pertimbangan yang perlu diketahui keluarga pelaku, atau tersangka. Mengajukan Surat untuk Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) kepada Kejaksaan Negri setempat, kemudian JPU yang ditunjuk menangani perkara itu, meneruskannya ke JAM-PIDUM Kejaksaan Agung, setelah itu JAM-PIDUM Kejaksaan Agung kembali mengirim surat balasannya kepada Kejaksaan Negri setempat.  

Jaksa sebagai filter dari penanganan perkara tindak pidana, bisa dan tidaknya untuk dilanjutkan ke persidangan, juga menerapkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2), diterbitkan oleh Jaksa Agung, melalui Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum).

Pelaksanaan Penghentian Penuntutan tersangka untuk tidak diteruskan ke persidangan, adalah hak Jaksa Penuntut Umum (JPU), atas proses dan persetujuan dari Jaksa Agung Muda (JAM) Pidana umum (Pidum).  

Ikuti tulisan menarik djohan chan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler