x

ilustr: Editorial Verbum

Iklan

Bambang Udoyono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 3 Maret 2022

Jumat, 15 April 2022 05:54 WIB

Fenomena Kaleng Biskuit Isi Rengginang dalam Masyarakat

Dalam kehidupan sehari hari banyak sekali ‘rengginang di dalam kaleng biskuit’ ini. Penampilan, omongan, akting, seseorang atau sekelompok orang yang sengaja dirancang untuk menimbulkan kesan tertentu sangat banyak terjadi sekarang ini. Dia serba hadir.  Tidak hanya di bidang politik tapi juga di bisnis dan lain-lain.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Bambang Udoyono, penulis buku.

Di bulan Ramadhan biasanya menjelang Idul Fitri berseliweran di medsos foto kaleng biskuit yang masih cukup bagus tapi setelah dibuka ternyata isinya rengginang.  Kemudian banyak komentar lucu lucu.  Ada yang memberi komen bahwa ini adalah hoax sejati yang muncul di setiap tahun di saat Lebaran.  Fenomena ini ternyata terjadi di banyak daerah di Indonesia. Lagipula sudah cukup lama terjadi.  Sejak saya SMA bahkan SMP sampai sekarang tetap saja ada.  

Saya tidak ingin membahas rengginang atau jajanan lain tapi saya ingin membahas sesuatu hal yang mirip.  Kemiripannya terletak pada perbedaan antara kemasan dan isinya. Dengan kata lain kemasan yang menyesatkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kemasan biskuit berisi rengginang memang menyesatkan sebagian orang tapi tidak ada bahayanya. Bahkan bermanfaat sebagai guyonan.  Namun ada kemasan lain yang menyesatkan dan berbahaya.  Bentuknya bisa bermacam macam.  Sampai di sini saya yakin anda sudah bisa menebak arah wacana ini. 

Penampilan, omongan, akting, seseorang atau sekelompok orang yang sengaja dirancang untuk menimbulkan kesan tertentu sangat banyak terjadi sekarang ini.  Dia serba hadir.  Tidak hanya di bidang politik tapi juga di bisnis dan lain lain. 

Tadi istri saya ngomong tentang sebuah acara tv yang ditontonnya.  Entah benar atau settingan acara itu tapi intinya ada dua orang yang saling bohong.  Ada seorang cewek yang lumayan cantik berkenalan dengan seorang cowok di medsos.  Si cewek mengaku sebagai pramugari dan si cowok mengaku bekerja di sebuah instansi pemerintah.  Dia bahkan mengaku sering memberi training kepada para dokter baru.  Belakangan terungkap bahwa si cewek ini seorang pembantu. Dia mengidolakan pramugari karena anak bossnya adalah seorang pramugari.  Ketika menyetrika baju anak bossnya itu dia punya kesempatan selfie dengan seragam pramugari.  Si cowok ini ternyata seorang pedagang cilok yang berjualan di sebuah kampus.  Makanya dia jadi sedikit paham tentang dunia kampus. Belakangan dia mengaku jadi mahasiswa dan sering omong tentang dunia mahasiswa. Akhirnya kedok mereka terbongkar dan dijadikan hiburan dalam tayangan tv.  

Di bidang politik sangat banyak orang yang sengaja beraksi seolah olah dia adalah seorang pemimpin atau wakil rakyat yang mampu menjadi pemecah masalah masyarakatnya.  Apakah dia benar benar mampu atau tidak itu urusan belakangan.    Selain itu, di masyarakat banyak sekali orang yang menjadi guru, pedagang, pebisnis, pegawai, karyawan, manajer, tapi tidak semuanya sampai ke kesejatiannya.  Di berbagai profesi ada orang yang hanya seolah olah saja menjadi seseorang tapi sejatinya bukan.  Dengan kata lain hanya labelnya saja yang dia miliki sedangkan substansinya tidak.  Kejadian seperti itu merugikan masyarakat. Guru yang tidak mampu mengajar dengan baik malah merugikan muridnya. Ada sebagian (kecil) pejabat yang bukannya memajukan masyarakatnya tapi malah korupsi.     

Di dalam sejarah kita fenomena serupa sudah lama terjadi.  Penguasa di masa lalu adalah raja yang diangkat bukan karena kemampuannya memimpin tapi hanya karena dia anak raja.  Fakta bahwa kita dijajah selama ratusan tahun membuktikan ketidakmampuan mereka, meskipun rakyatnya juga punya andil kesalahan.  Jadi sejatinya mereka bukan pemimpin. Mungkin itulah sebabnya ada lakon “Kresna kembar” di wayang Jawa.  Di lakon itu ada dua orang Kresna. Di akhir cerita terungkap Kresna yang palsu.  Jadi tafsir saya sang pujangga dan dalang ingin menyampaikan bahwa sejatinya ada dua macam raja.  Satunya raja sejati yang memang mampu menjadi pemimpin tapi ada juga yang hanya labelnya saja pemimpin sedangkan kenyataannya dia tidak mampu memimpin rakyatnya.  Kresna palsu dalam lakon itu adalah metafora dari pemimpin tidak mampu ini.

Dalam kehidupan sehari hari banyak sekali ‘rengginang di dalam kaleng biskuit’ ini.  Tidak jarang pasangan suami istri yang sampai hancur rumah tangganya karena terkecoh oleh sandiwara pasangannya.  Awalnya terlihat normal saja bahkan terlihat baik tapi belakangan terbukti sebaliknya.   Mungkin inilah yang dimaksud penulis lagu Panggung Sandiwara yang dinyanyikan oleh Ahmad Albar.

Kenapa fenomena ini sering terjadi di Indonesia?  Apakah faktor kepribadian yang sakit atau faktor sosial ? Jawaban yang baik hanya bisa dihasilkan dengan penelitian yang serius.  Mestinya ada banyak alasan penyebabnya.  Pakar psikologi barangkali bisa menemukannya dari sisi kejiwaan. Mungkin ada trauma mendalam di masa lalu si pelaku.  Demikian juga pakar ilmuwan sosial.  Mestinya ada tekanan dari masyarakat yang mendorong tingkah laku seperti itu.  Mungkin nilai nilai dalam masyarakat kita yang tidak egaliter dan memberi penghargaan tinggi hanya kepada orang kaya membuat sebagian orang menempuh jalan pintas seperti itu. 

Masyarakat Barat lebih egaliter daripada masyarakat kita.  Mereka menghargai semua profesi yang legal.  Di negri Barat pedagang kecil (UMKM) juga ada.  Profesi yang bukan pekerja otak juga banyak.  Tapi semua orang saling menghargai.  Orang sudah mampu membedakan hubungan personal dengan hubungan profesional.  Hanya dalam hubungan profesional alias hubungan kerja ada hirarki tegas.  Dalam hubungan  personal ada kesetaraan.  Maka mereka yang bekerja dalam sektor UMKM juga merasa diakui, diterima, tidak dilecehkan.  Jadi memang agaknya ada faktor budaya dan sosial yang mendorong terjadinya perilaku menyimpang dan perilaku yang benar. 

Di Indonesia UKM, pekerja rumah tangga, pekerja di sektor non formal seringkali dilecehkan.  Tidak sedikit candaan kasar di ruang publik terdengar.  Maka mereka merasa tidak mendapat pengakuan apalagi penghargaan.  Malah pelecehan yang sering mereka dapatkan.   Itu semua menyebabkan trauma yang  memotivasi mencari jalan pintas yang keliru. Dia menipu liyan tapi sejatinya menipu dirinya sendiri.  Ini yang paling parah.

Karena itu sudah tiba saatnya kita merubah pola pikir dan pola tindak kita selama ini.  Para guru, dosen, ulama, kyai, ustadz, ustadzah, penulis, blogger, influencer, pemimpin, orang tua dan lain lain harus makin rajin melakukan pencerahan kepada masyarakat.  Paling tidak orang tua harus mencerahkan anak anak mereka agar menjaga lisan mereka agar jangan bercanda dengan kasar.  Ingatkan mereka bahwa bercanda harus ada adabnya. Tulisan mereka di medsos juga mesti beretika.  Ingatkan juga tentang kesetaraan semua profesi yang legal.  Demikian juga semua posisi sosial pada hakekatnya adalah setara. Hanya ketaqwaanlah yang membedakan derajat orang. 

Kalau upaya ini dilakukan banyak orang secara konsisten maka paling tidak akan ada perbaikan dalam perilaku masyarakat kita menjadi lebih egaliter dan beradab.  Mari kita bertekad, berkomitmen memperbaiki lingkungan sosial kita dimulai dari lingkungan terkecil kita yaitu keluarga.  Semoga di masa depan masyarakat kita akan memberi penghargaan sama kepada semua profesi yang legal, yang halal.  Dan semoga masyarakat kita memberi sangsi sosial kepada profesi yang tidak legal, tidak halal. Sehingga di masa depan makin berkurang ‘rengginang di dalam kaleng biskuit’.

 

Ikuti tulisan menarik Bambang Udoyono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler