x

Ilustrasi Media. Gerd Altmann dari Pixabay.com

Iklan

Mesakh Ananta Dachi

Belajar Menulis.
Bergabung Sejak: 16 April 2022

Senin, 18 April 2022 13:11 WIB

Mempertanyakan Kembali Independensi Media

Media seharusnya tidak melibatkan diri dalam kepentingan politik dan keberpihakan. Karena, kejujuran hanya akan hadir saat independensi dilibatkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

The Washington Post memuat opini mengenai pemajakan miliarder. (Sumber: The Washington Post).

Masalah keuangan pada media tidak hanya dirasakan oleh media lokal dan kecil. Media besar juga merasakannya. Pada 2013, Jezz Bezos  mengakuisisi The Washington Post, seharga 250 juta dollar dari Keluarga Graham, pemilik The Washington Post selama bertahun tahun. Kendati sukses membawa The Washington Post maju, ada beberapa point penting yang harus diperhatikan. Menurut Columbia Journalism Review Akuisisi ini memaksa para jurnalis di The Washington Post, untuk memuat berita empat kali lebih banyak, dibanding outlet media lain, seperti The New York Times. Hal ini bertujuan agar bisa menghasilkan akses klik yang lebih banyak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selain itu, kolumnis The Washington Post,  Megan McArdle, pernah menulis opini mengenai bagaimana miliarder seharusnya tidak dipajaki. Dengan menyertakan foto Jeff Bezos sebagai sampulnya, isi opini nya alih alih dimuat dengan data dan argumentasi yang logis dan situasional, artikel hanya dimuat dengan opini tersirat yang bias, dengan komparasi yang tidak tepat.

Fenomena ini, memunculkan sebuah pertanyaan mengenai independensi media yang semakin terkikis. Pada esensinya, media yang merupakan penghubung dan “indra” masyarakat, sudah seharusnya bersifat tidak memihak pada suatu kelompok atau golongan. Karena, tindakan ini bisa menyebabkan sebuah aksi secara sengaja, mengubah narasi dari suatu topik dengan tujuan untuk mengalihkan pandangan subjektif masyarakat. Dalam istilah jurnalistik, fenomena ini sering disebut sebagai agenda setting dan framing.

Kekuatan media begitu besar, saking besarnya, selain bisa menggiring sentimen masyarakat, sebuah negara bisa terbelah menjadi dua kelompok, dengan media memainkan peran besar ditengahnya.  Di Amerika Serikat, fenomena ini benar benar nyata terjadi.

Contoh yang paling konkret, di Amerika Serikat, sebagai negara demokrasi yang liberal. Media CNN, sebagai pendukung partai demokrat, dan kelompok liberalis. Dan media FOX News, sebagai pendukung partai republik, dan kelompok konservatif, menjadi penyebab dari pertentangan dua kelompok terbesar di Amerika Serikat. Jika anda sering menonton dua outlet media ini, anda akan sadar, betapa berani nya mereka, secara terang terangan untuk menciptakan narasi dengan tujuan untuk menjatuhkan kelompok lawan. Apa yang tampak, bukan lagi media sebagai alat kontrol sosial, namun malah sebaliknya. Informasi bias, independensi yang absen, dan narasi yang digiring, menciptakan sebuah pertanyaan dan pernyataan bahwa media sudah jauh dari haluannya.

Fox News memberitakan narasi analisis mengenai partai demokrat (Sumber: FOX News)

Di Indonesia, fenomena ini, belum sampai dilevel yang sama dengan Amerika Serikat yang bebas. Namun, bukan berarti tidak ada. Pada tahun 2017, Ketika pemilik dan pemimpin MNC grup, Hary Tanoesodiebjo, dinyatakan bersalah oleh pengadilan, dengan kasus, ancaman kepada Kepala Subdirektorat Penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Yulianto. Hary, pemilik dari beberapa outlet media berita, seperti Sindo, Okezone, Sindonews, secara tersirat, menyatakan dukungan mereka kepada Hary.

Berdasarkan laporan dari Tirto, dari 23 juni, yang merupakan tanggal penetapan Hary, sebagai tersangka, hingga 3 juli 2017, jumlah berita yang memuat kasus ini berjumlah 544 berita, dengan rincian, 429 di Okezone, dan 115 di Sindonews. Dibanding outlet media lain, jumlahnya sangat massif. Isu ini hanya diberitakan 8 kali oleh Kompas.com, 6 berita oleh Tempo.co, dan 10 berita oleh Merdeka.com. Tak hanya jumlahnya yang besar, mayoritas berita dimuat dengan pernyataan “kriminalisasi” Harry Tanoesodiebjo.

Kasus mengenai absennya independensi di media Indonesia, bukanlah hal yang jarang lagi, pada pesta demokrasi, pemilu dan pilkada. Sebuah survei yang dilaksanakan oleh Remotivi melaporkan bagaimana TV One, pada tahun 2014, melakukan pemberitaan secara masif mengenai Aburizal Bakrie, seorang capres dari Partai Golkar, dengan konten berisi hal yang positif. Dengan tingginya frekuensi dan durasi iklan politik tersebut, membuat fenomena kepentingan politik dalam media sangat nyata.

Kepemilikan media oleh para oligarki, memang tidak dapat dipungkiri menumbuhkan media dalam hal finansial dan produksi. Namun, media harus menyadari sebuah tanggung jawab moral sebagai alat kontrol sosial, dalam masyarakat yang berdemokrasi. Persepsi masyarakat yang dibangun oleh media, akan sangat mempengaruhi kebijakan pemerintah, dan sirkulasi ini terus berjalan, dan merupakan esensi demokrasi. Maka, jikalau media sudah tidak lagi independen, darimanakah kebenaran itu berasal?

Ikuti tulisan menarik Mesakh Ananta Dachi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler