x

Iklan

Rizkyana Azelia

Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Bergabung Sejak: 12 April 2022

Selasa, 19 April 2022 13:35 WIB

Wujud Ekokritisisme dalam Naskah Drama Awal dan Mira

Ekokritisisme mungkin terdengar asing di telinga sebagian orang, tetapi ternyata kehadirannya sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini mari kita temukan keberadaannya dalam naskah drama Awal dan Mira.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ekokritisisme mungkin terdengar asing bagi sebagian orang. Namun ternyata ekokritisisme merupakan hal yang lumrah kita temui setiap harinya. Lalu apa itu ekokritisisme?

Ekokritisisme  terdiri dari gabungan kata ekologi dan kritik. Menurut KBBI, ekologi berarti ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya (lingkungannya). Sedangkan kritik berarti uraian atau pendapat tentang baik buruknya suatu hal. Dari pengertian dua kata penyusunnya dapat kita simpulkan bahwa ekokritisisme adalah kritik tentang lingkungan. Lingkungan merupakan pembahasan yang luas, seperti lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan kebudayaan, lingkungan kehidupan dan lain-lain. Ekokritisisme merupakan salah satu bentuk pendekatan lintas disiplin atau interdisipliner sastra dengan cara menganalisis naskah-naskah sastra yang menggambarkan tentang lingkungan. Cheryll Glotfelty menjelaskan secara sederhana dalam bukunya yang berjudul The Ecocriticism Reader: Landmarks in Literary Ecology bahwa ekokritisisme adalah studi yang membahas hubungan sastra dengan lingkungan fisik. Selain itu, menurut Cherryl Glotfelty urgensi ekokritisisme dapat secara nyata disampaikan dengan menggunakan sejumlah pertanyaan, seperti:

  1. Bagaimana alam dipresentasikan dalam puisi?
  2. Peranan apa yang dapat dimainkan oleh latar fisik (lingkungan) dalam alur sebuah novel?
  3. Apakah nilai-nilai yang diungkapkan dalam sebuah puisi, novel, atau drama itu konsisten dengan kearifan ekologis (ecological wisdom)?
  4. Bagaimana metafor-metafor tentang daratan (bumi) memengaruhi cara kita memperlakukannya?
  5. Bagaimana kita dapat mengarakterisasikan tulisan tentang alam sebagai suatu genre (sastra)?
  6. Dalam kaitan dengan ras, kelas, dan gender apakah selayaknya berposisi menjadi kategori krisis baru?
  7. Dengan cara-cara apa dan pada efek apa kritis lingkungan memasuki sastra kontemporer dan sastra popular?

Ekokritisisme menganalisis  karya sastra yang di dalamnya berisikan hubungan antara sastra dengan lingkungan, salah satunya pada karya sastra yang akan dibahas yaitu naskah drama Awal dan Mira.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Awal dan Mira merupakan naskah drama karya Utuy Tatang Sontani yang sudah sering dipentaskan di panggung teater, baik oleh murid sekolah maupun oleh pelaku teater profesional. Awal dan Mira menceritakan tentang kisah sepasang insan bernama Awal dan Mira di kehidupan masa pascaperang. Dialog yang hadir dalam naskah drama ini memiliki banyak makna (tersirat maupun tersurat) dan tidak jarang menimbulkan multitafsir. Meski naskah ini terbit pada tahun 1951, tetapi dialog yang ada masih relevan hingga sekarang. Beberapa dialog dalam naskah ini sering membuat pembaca layaknya berkaca pada realita kehidupan di zaman sekarang. Berikut merupakan beberapa wujud ekokritisisme dalam naskah drama Awal dan Mira.

  1. Dialog yang diucapkan oleh penyiar radio “…sudah menjadi kewajiban kita kaum wanita, supaya di zaman sekarang ini, setelah kita banyak kehilangan sebagai akibat peperangan, kita kaum wanita mesti lebih giat berjuang berdampingan dengan kaum laki-laki guna membangun masyarakat damai di tanah air kita Indonesia yang indah dan molek ini…”. Dialog ini merepresentasikan keadaan alam (lingkungan kehidupan) pada masa pascaperang, selain menggambarkan keadaan pascaperang pada dialog tersebut juga menimbulkan tafsir tentang kaum perempuan yang masih perlu berjuang lebih keras lagi untuk menyamaratakan kedudukannya dengan kaum laki-laki untuk membangun tanah air. Seperti kita ketahui, cara pandang atau bahkan pemikiran kebanyakan orang terhadap perempuan masih jauh dari kata terbuka dan terkesan mengotak-ngotakkan.
  2. Dialog yang diucapkan oleh orang tua “…sekarang ini aku pun sering bertanya-tanya: apakah dunia sekarang sudah akan kiamat? Di mana-mana terjadi kekacauan, di mana-mana terjadi penggedoran, perampokan, pembunuhan, seolah-olah sudah tidak ada lagi cinta di antara sesama manusia…”. Dialog ini menggambarkan keadaan masyarakat kita pada zaman tersebut dan bahkan masih relevan hingga sekarang. Ujaran-ujaran kebencian yang sering disebarkan, perselisihan yang tidak jarang berujung pada hilangnya nyawa seseorang, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta, dan masih banyak yang lainnya. Padahal sudah seharusnya kita sebagai manusia hidup berdampingan dengan saling menebarkan cinta dan kebaikan.
  3. Dialog yang diucapkan oleh Mira “Tetapi Tuan tahu, koran-koran dan majalah-majalah di zaman sekarang lebih mementingkan potret orang resmi, lebih mementingkan potret para pembesar yang diinterviu…”. Dialog ini juga masih tampak relevan dengan realita zaman sekarang. Majalah dan koran adalah tempat pencapaian keberhasilan bagi orang hebat atau yang terkenal saja untuk menarik perhatian. Padahal lebih penting untuk menampakkan kesenjangan yang ada di antara orang-orang tersebut dengan orang-orang di bawahnya, supaya kesejahteraan bisa dirasakan semua golongan dan bukan golongan tertentu saja.

Ikuti tulisan menarik Rizkyana Azelia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler