x

Ilustrasi Anas. Annie Spratt dari Pixabay

Iklan

Orang Kubus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 15 November 2021

Senin, 25 April 2022 05:57 WIB

Kita Telah Berjanji

Apakah kau ingat dengan hari itu? Di mana kita berjanji untuk terus bersama.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Myura. Myura. Ayo naik ke sini!” uUcap seorang gadis dengan suara yang riang gembira, gadis itu ternyata berhasil menaiki sebuah dahan pohon. Ia memakai celana berwarna biru dan kaos warna merah serta memakai sebuah topi. Sebuah plester untuk menangani luka juga terlihat menempel di hidungnya, gadis itu terlihat maskulin sekali.

“Iya-iya, sebentar,” balas seorang anak laki-laki sambil menaiki dahan yang telah dinaiki oleh gadis itu. Anak laki-laki itu terlihat seperti anak laki-laki pada umumnya hanya saja dia bermain dengan seorang gadis yang mirip dengan laki-laki. Mungkin terlihat agak aneh tapi itulah mereka seorang bocah dan seorang gadis yang sangat akur.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kala itu juga matahari sudah mulai tenggelam di ufuk barat dan sebagai hasilnya sebuah warna jingga di langit muncul secara mempesona. Hamparan padang rumput terlihat sangat indah dari kedua anak-anak itu, mereka duduk bersebelahan sembari memandang langit dan berimajinasi selayaknya anak-anak pada umumnya. Tidak ada siapa-siapa di sana hanya ada mereka berdua yang menikmati senja ditemani dengan hembusan angin yang sangat lembut. Di pohon yang tumbuh di sebuah bukit itu mereka mulai berbincang dan berceloteh. Suara khas anak-anak kecil mereka akhirnya keluar menemani senja.

 

Anak-anak itu berbicara apa yang menurut mereka menarik. Seringkali mereka membahas hal-hal yang klasik, seperti Hobi, atau pelajaran yang mereka sukai. Akan tetapi sering juga mereka membahas topik yang agak dalam, seperti orang yang sangat dekat serta hubungannya dengan mereka berdua, hingga masa depan nanti. Sebuah perbincangan yang menarik bagi kedua anak-anak itu. Hingga terbesitlah sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh gadis itu.

“Hey, Myura.”

“Hmm… Ada apa?” balas bocah laki-laki itu sambil melihat wajah gadis.

“Apakah kita akan terus bersama?”

 

Seketika pertanyaan itu menancap ke tubuh Myura. Bagaimanapun ia sudah melewatkan berbagai macam peristiwa bersamanya dan entah kenapa sahabatnya itu menanyakan hal seperti itu. Tapi, ia sadar bahwasanya dalam setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan tapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah perpisahan itu akan menjadi sebuah perpisahan yang bahagia atau sebaliknya. Myura juga sadar bahwa ia semakin dewasa dan beban hidupnya semakin bertambah pula, ia harus memikirkan ujian akhir yang akan dihadapi kira-kira 2 Tahun lagi. Myura menunduk sembari mengayunkan kedua kakinya, tangannya mengepal dan tepat di dalam benaknya ia sedang berpikir jawaban yang memuaskan bagi sahabatnya.

 

Sahabat perempuannya itu melihat ke arah Myura yang sedang memikirkan jawaban, ia dengan sabar menunggu dan menunggu apa yang Myura akan katakan. Burung-burung berkicauan di langit dan Myura masih belum menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh gadis itu. Lalu secara tiba-tiba gadis itu memegang tangan kanan Myura lalu mengangkatnya sampai setara dengan wajahnya. Dia lalu memandang tangan kanan Myura yang agak kasar itu, ia melihatnya dari ujung ke ujung dengan teliti.

“Luka kemarin ternyata sudah sembuh. Tubuhmu sangat kuat, Myura,” ucap gadis itu sambil tersenyum lebar seketika Myura tersipu malu dengan sahabat perempuan itu. Terlihat wajahnya seketika memerah, ia lalu kembali menunduk.

“Ehmm… Terima kasih tapi kurasa itu agak berlebihan.”

“Tidak ada yang berlebihan, aku hanya bercanda tapi Myura apakah kita akan bisa terus bersama?”

Myura lalu menghela nafas panjang lalu menghembuskannya. “Aku sejujurnya tidak tahu secara pasti, Yakusoku. Tapi, aku cukup yakin bahwa kita bisa terus bersama.” Myura memandang gadis itu lagi dengan senyum yang lebar, itu adalah senyuman yang tulus dan langsung dari hati Myura. Seketika mata sahabat perempuannya itu bersinar dan tersenyum gembira.

“Kalau begitu. Apakah kamu berjanji, Myura?” Yakusoku lalu mengulurkan jari kelingkingnya.

“Ya, aku berjanji.”

 

Mereka berdua lalu berjanji dengan jari kelingking mereka. Di bawah sinar mentari sore yang menyinari padang rumput itu, pada sebuah bukit yang ditumbuhi sebuah pohon besar dan dinaiki oleh sepasang sahabat itu. Mereka menggerakan tangan mereka dan melaksanakan sebuah janji bahwasanya mereka akan terus bersama bukan hanya dari mulut tetapi juga dari hati yang dimana hati mereka telah mengatakan. ‘Kita Telah Berjanji’. Janji yang akan mereka tepati seumur hidup mereka.

 

Anak perempuan itu bernama Yakusoku dan anak laki-laki itu bernama Myura. Mereka adalah sahabat semenjak di Sekolah Dasar. Pada waktu itu Yakusoku tidak mempunyai teman ataupun sahabat, sifatnya yang temperamental dan cara berpakaiannya yang mirip dengan laki-laki membuat anak-anak perempuan lain agak menjauhinya sementara itu anak-anak laki-laki kurang menyukainya karena sifatnya yang temperamental. Tapi, seorang anak laki-laki bernama Myura sadar bahwa perlakuan teman-temannya tidaklah benar. Ada yang salah dengan sikap teman-temannya karena itu ia memberanikan diri berteman dengan Yakusoku.

 

Ceritanya dimulai ketika Yakusoku lupa tidak membawa kotak pensil di tas. Ia lalu melihat sekeliling dan ia tersadar bahwa dia hanya sendirian, tidak ada yang mau memberikan sedikit bantuan untuknya. Yakusoku lalu menunduk seolah-olah tidak ada yang perlu diharapkan lagi atas keadaan yang ia terima. Namun, ketika cuaca yang sangat mendung dan berkabut pasti akan ada suatu masa dimana cuaca yang dipenuhi dengan kegelapan akan tergantikan oleh terangnya cahaya. Maka Myura-lah yang telah memberikan sebuah cahaya kecil kepada Yakusoku, Myura yang baik dia hampir saja melihat Yakusoku menangis.

“Yakusoku, kau pasti tidak membawa kotak pensilmu bukan? Ini untukmu.” Yakusoku lalu menerima pensil dari Myura yang secara kebetulan berada di belakang tempat duduknya. Yakusoku melihat secara seksama pensil yang diberikan oleh Myura.

“Pen—Sil—,” gumam Yakusoku. Tanpa mengucapkan terima kasih ia lalu menulis sesuatu di buku tulis miliknya, Myura hanya tersenyum melihat tingkah laku Yakusuku.

 

Mereka belajar dengan serius hingga akhirnya mata pelajaran terakhir. Jam Sekolah selesai dan para siswa keluar untuk pulang ke Rumah mereka masing-masing kecuali Myura yang mempunyai tugas piket. Myura membereskan meja-meja, menyapu lantai, dan menghapus papan tulis. Ia membereskan Kelas itu bersama dengan teman-teman dan dikala Myura sendiri di Kelas karena piket sudah selesai, Yakusoku lalu muncul di hadapan Myura yang sedang duduk. Sinar mentari sore lalu bersinar ke Kelas itu, menembus kaca yang baru saja dibersihkan dan sinar mentari itu lalu menyorot gadis itu. Yakusoku menunggu agar bisa berbicara dengan Myura secara pribadi, ia akan sangat malu bila orang-orang tahu bahwa gadis yang tomboi itu akan tunduk pada seorang anak laki-laki.

“Myura, terima kasih sudah meminjamkan pensilmu,” ucap Yakusoku sembari menyodorkan sebuah pensil dengan kedua tangannya kepada Myura. Akan tetapi, Myura hanya tersenyum melihat tingkah laku Yakusoku.

“Tidak, itu untukmu saja.”

“Tapi, aku hanya gadis yang suka berceloteh dan juga suka memukul.”

“Bagiku, kamu adalah seorang To…Mo…Da…Chi…,” (Teman) kata Myura sambil tersenyum lebar.

“To…Mo…Da…Chi…” Yakusoku lalu memandang pensil yang ia ingin kembalikan kepada Myura, lalu dilihatlah bahwa ada sebuah goresan di pensil itu yang membentuk sebuah huruf demi huruf dan bila dirangkai akan menjadis sebuah kalimat. Kalimat itu berbunyi ‘Mari Kita Berteman’. Dia lalu tersenyum kecil. “Jadi begitu ya.”

 

Semenjak saat itu hubungan mereka semakin dekat satu sama lain. Mereka saling berkunjung dan membantu saat belajar. Ikatan persahabatan mereka saling merekat, saling bertukar hadiah menjadi hal yang sangat biasa. Setidaknya ikatan itu terus mereka rawat hingga mereka berada di bangku SMA. Akan tetapi Yakusoku semakin hari semakin belajar dan juga sadar bila jati dirinya adalah seorang perempuan, ia berubah dan belajar berpenampilan feminim. Yakusoku mulai menjadi seorang gadis yang anggun dan memakai gaun saat memasuki SMP, Myura sebagai sahabat yang baik tentu saja mendukung apa yang dilakukan oleh sahabatnya.

 

Akan tetapi bukan hanya Yakusoku saja yang berubah. Sahabat laki-lakinya, Myura. Ia juga berubah, Myura sebagai seorang laki-laki muda mulai tertarik kepada lawan jenisnya dan perempuan yang pertama kali ia suka adalah Yakusoku, sahabat perempuannya. Perasaan itu tumbuh ketika ia berada di kelas 2 SMP akan tetapi ia memendam perasaan itu dalam-dalam. Emosi itu terus tertahan sampai ia masuk ke SMA. Akan tetapi akan ada suatu masa ketika sebuah emosi tidak tertahankan lagi. Kala itu saat masih kelas 11, Myura menghilang dari jangkauan sahabat perempuan nya itu, ia tidak lagi berkunjung atau bermain ke Rumahnya bahkan bertukar salam pun ia tidak melakukannya. Hari-harinya disibukkan dengan menulis dan merenung di Kamarnya sendirian, ia tidak keluar kamar kecuali ketika ia ingin makan atau membuang hajat.

 

Myura melakukannya selama hampir seminggu sampai pada akhirnya ia bertemu dengan salah satu teman perempuannya di Kelas, Yui. Yui adalah teman dekat dari Yakusoku semenjak SMP, ialah yang mengajari Yakusoku hal-hal yang berbau perempuan karena itu hubungannya sangat dekat. Teman perempuan Myura ini berhasil mengubah sikap Yaku menjadi feminim, secara bersamaan Myura bersyukur karena Yakusoku sebagai sahabatnya bisa berubah. Karena Yui adalah salah satu teman dekat dari Yakusoku, Myura dan Yui lalu melakukan janji temu di sebuah Restoran cepat saji. Myura berpikir bahwa ia harus berbicara secara langsung, ia lalu memakai pakaian terbaik serta menggunakan parfum hingga sampailah ia di Restoran cepat saji. Myura melihat Yui yang sedang menunggu di kursi yang dekat dengan jendela sembari ditemani segelas air bersoda dan kentang goreng.

 

“Kemana saja kamu selama seminggu ini, Myura. Teman-teman sekelas menanyakan tentang dirimu. Bahkan guru-guru juga menanyakan dirimu.” Yui lalu meminum minuman bersoda yang ia pesan lalu mencolek sebuah kentang goreng ke saus tomat lalu memakannya. Sorot matanya terlihat sangat tidak bergairah sekali.

“Maafkan diriku ini, Yui,” kata Myura, ia lalu menunduk dan memainkan jari-jarinya. Myura menjadi sangat bingung, ia ingin melanjutkan percakapan dengan Yui akan tetapi rasa canggung mulai meraba-raba hati Myura yang tengah diterpa kebimbangan.

 

Ketika hati Myura tengah diterpa kebimbangan yang luar biasa. Yui lalu melanjutkan untuk memakan makanan yang telah ia pesan, secara perlahan ia memakan kentang dan minuman bersoda sembari menunggu Myura berbicara. Situasi itu berlangsung cukup lama bahkan sampai kentang yang Yui makan habis tapi Myura masih membisu dan menunduk. Yui yang merasa kesal karena merasa diacuhkan lalu membereskan barang-barang miliknya. Seketika kepala Myura terangkat dan di saat Yui berdiri dari meja, Myura memegang tas milik Yui sembari berkata. “Tunggu, Yui. Ada hal yang ingin kubicarakan denganmu.” Sorot mata Myura yang lemah membuat hati Yui menjadi luluh, sorot mata Myura seolah-olah ingin meminta bantuan akan tetapi tidak bisa.

“Kau tahu Myura. Aku kesal dengan sikapmu tadi yang menjadi pendiam. Padahal kamu adalah orang yang cerewet di Kelas. Myura, ini bukanlah sikapmu yang biasanya,” kata Yui sembari membelakangi Myura. Hati Yui menjadi keras tetapi karena ia tahu Myura menjadi seseorang yang lemah hati kecilnya mengatakan ia harus membantunya. Yui lalu menghirup nafas panjang lalu menghembuskannya. “Tapi, baiklah. Aku akan mendengarkan ceritamu.”

 

Myura lalu tersenyum seolah-olah berterima kasih kepada Yui yang telah bersedia untuk mendengarkan ceritanya. Mereka lalu merubah tempat duduknya. Yui terlihat sangat siap mendengarkan cerita dari Myura.

“Yui. Alasan aku mengurung diri di kamar adalah karena aku dilanda kebimbangan. Aku bingung dengan Yaku, teman karibmu serta sahabat perempuanku. Aku memendam perasaan kepadanya tapi secara bersamaan entah kenapa aku menyangkal perasaannya. Hingga akhirnya aku tidak bisa menahan rasa cintaku kepada Yaku. Kau tahu Yaku, saat aku melihatnya hatiku terasa bergetar dan ingin bersama dengan dia selama hidupku tapi secara bersamaan hatiku dilanda dengan sebuah dilema yang luar biasa. Akankah dia menerimaku? Karena itulah aku memutuskan untuk mengurung diri. Jiwaku sakit dan hatiku menangis seperti anak kecil tapi secara bersamaan aku mencintainya, aku menyukainya, dan aku menyayanginya.”

Tiba-tiba Yui memegang tangan Myura. Tangannya dingin mungkin karena cuaca di luar sana tapi dia bisa merasakan kehangatan dan ketulusan dari hati pemuda yang telah bersama dengan Yakusoku selama bertahun-tahun. “Myura, percayalah kepada dirimu sendiri. Karena mungkin saja dia adalah takdirmu.”

 

Perkataan dari Yui lalu menyadarkan Myura. Kepalanya lalu terangkat, ia melihat ke sekeliling dimana orang-orang melakukan apapun tanpa ragu. Mungkin saja keraguan atau kebimbangan di hatinya yang mana itu hanyalah sebatas delusi. Hati kecil Myura berubah dan dipenuhi dengan kepercayaan diri, ia mengepalkan tangan kanan sebagai pertanda ada sebuah keputusan yang tengah tumbuh.

“Kau benar, Yui. Aku harus menjemput takdir itu. Terimakasih atas dorongan kecilmu, aku permisi dulu.” Myura yang tengah dilanda api semangat lalu segera keluar dari Restoran cepat saji itu sementara itu Yui hanya tersenyum melihat sikap dari teman yang tengah diterpa oleh sebuah badai bernama cinta. Sembari menggeleng-gelengkan kepala ia lalu meminum minuman bersoda yang sudah hampir habis.

 

Myura berlari sekencang-kencangnya, ia tahu apa yang harus diberikan kepada Yakusoku. Myura terlihat memasuki sebuah toko yang buka lalu membeli sepotong coklat kemudian kembali berlari. Saat itu pula tengah berlangsung musim dingin, air membeku dan salju terlihat ada dimana-mana. Semua orang terlihat bahagia tanpa terkecuali dengan Myura yang tengah berlari, ia berlari bukan tanpa arah. Myura tahu betul kemana Yaku akan pergi pada saat musim dingin walaupun ia tengah sakit. Tempat yang tengah ia tuju adalah Taman bermain, taman yang dulu sering ia pakai bermain bersama Yaku bahkan ketika mereka berdua beranjak dewasa mereka terus berkunjung.

 

Pemuda itu merasa berada di puncak klimaks sebuah cerita, rasanya seperti dia terbang di Angkasa luas, menari bersama para Malaikat bersayap sembari menunggu seorang Putri yang akan ia temui. Itulah yang ada di dalam pikirannya. Pikiran yang dipenuhi dengan mimpi-mimpi indah yang ingin ia rasakan. Akan tetapi saat ia melihat ke Taman bermain, saat hujan salju mulai berjatuhan ke daratan. Alangkah terkejutnya Myura ketika melihat Yaku tengah bersama laki-laki yang telah ia kenal. Yaku bersama dengan laki-laki itu sedang duduk di kursi Taman, ia lalu melihat Yaku yang tengah menangis dan seketika laki-laki itu memeluknya.

 

Hati Myura seperti tengah ditusuk oleh sebuah pisau yang amat tajam. Melihat orang yang dia cintai bersama dengan pria lain sungguh amat menyakitkan. Hati kecilnya mengatakan ‘Yakusoku, Bukankah Kita Telah Berjanji Pada Waktu Itu’. Lantas Myura menanyakan pada dirinya sendiri bahwa apa yang telah ia lakukan selama satu minggu terakhir ini. Apakah meninggalkan seorang wanita selama seminggu mereka bisa berpaling begitu mudahnya? Myura yang malang hatinya hancur berkeping-keping, ia lalu menggenggam coklat yang ia pegang dengan keras. Myura lalu berbalik lalu berjalan menjauhi taman dan lama-lama tempo berjalan Myura menjadi sangat cepat hingga akhirnya ia berlari dengan kencang sembari berteriak.

 

Lantas apakah janji kita bisa ditepati, Yaku?

Ikuti tulisan menarik Orang Kubus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB