x

Iklan

mulyanto TE -

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 November 2021

Selasa, 26 April 2022 15:16 WIB

Fenomena Guru IPA Spidol di Jenjang Pendidikan Dasar

Guru merupakan tokoh sentral dalam dunia pendidikan.Tapi sebagus apapun potensi kecerdasan rakyat, bila sistem pendidikan tidak baik, negara tersebut tidak akan maju. Oleh karena itu guru harus progresif. Paling maju dalam pemikiran hingga melampaui jamannya. Dia harus bekerja dengan memproyeksikan hasil kerjanya untuk 25 atau 50 tahun ke depan. Sayangnya, di Indonesia guru masih terkungkung dengan berbagai macam persoalan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 “Selamat pagi,Pak Guru !!! “

“Assalamu ‘alaikum ,Pak !!! “

Begitu sapaan murid-murid di sebuah SMP di pelosok kabupaten Mukomuko. Sapaan tersebut selalu terdengar bila murid berpapasan dengan guru di lingkungan sekolah. Maksudnya barangkali anak ingin menghormati dan  dekat di hati guru. Namun terasa agak berlebihan. Bagi guru muslim sapaan salam akan terasa lebih dibanding sapaan selamat pagi, siang atau malam. Sedangkan bagi guru non muslim sapaan salam akan terasa aneh karena seakan-akan berada di negara Arab.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pagi itu Pak Guru yang mengajar IPA yang disapa murid-muridnya di gerbang sekolah tersebut tersenyum, lalu menjawab, “Selamat Pagi. Wa ‘alaikum salam“. Lalu dengan langkah tegap Pak Guru langsung mengayunkan langkah menuju kantornya.cKelihatannya hal itu sudah menjadi  kebiasaan di sekolah tersebut.

Pagi sebelum mengajar, Pak Guru duduk di kursinya di ruang kantor guru. Di tangannya terdapat sebuah koran basi seminggu lalu, sebulan yang lalu, bahkan kadang-kadang koran yang dibaca tesebut adalah koran yang terbit pada beberapa tahun yang lalu itu pun dibacanya. Telah lama ia menjadi guru di SMP tersebut. Jangankan berita saat ini, berita beberapa bulan yang lalu pun baru dibacanya saat Pak Kepala Sekolah sudah bosan menaruh koran–koran basi di rumahnya.

Lalu Koran hari ini kemana? Sekolah  tersebut memang langganan koran pagi yang datangnya selalu pada siang hari. Begitu datang koran dibawa ke rumahnya. Setelah basi baru diberikan guru. Sebuah kebijakan yang “bagus”, tak perlu membiayai sendiri langganan korannya. Guru? Ah, mereka harus sibuk mengajar. Tak boleh leha-leha di kantor hanya untuk membaca koran yang beritanya selalu tak menggembirakan.

Beberapa waktu yang lalu Pak Guru mengeluhkan keadaan siswa yang bandelnya luar biasa.Tak lupa dilaporkan pula kemungkinan-kemungkinan penyebabnya. Tak ada lab, tak ada media pembelajaran yang menyenangkan. Tak pula ada kegiatan ekstra yang bisa menyalurkan kelebihan energi dari para murid yang bisa meredam kenakalan. Maka apa jawab Kepala Sekolah atas semua keluhannya tersebut ?

“Ah, Pak kita di pelosok ini tak akan ada yang memperhatikan. Tak akan ada pengawas yang berani ke sini. Mendengar nama desa kita ini mereka pasti sudah ngeper. Sudah berapa kali saya mengusulkan apa yang Bapak perlukan tersebut ke Dinas. Segala cara sudah saya tempuh, tapi begitulah, jawaban yang kita terima hanyalah pandai-pandai sajalah kau mengatur untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan karena kekurangan-kekurangan yang terjadi."  

Maka sejak saat itu Pak Guru menerapkan metoda mengajar “pandai-pandai sajalah“ dalam menyampaikan materi pembelajaran IPA. Sebuah metoda yang belum pernah ia dapatkan di bangku kuliah dulu. Sebuah inovasi pembelajaran yang makin menjauhkan murid dari melek IPA. Apalagi Iptek. Apalagi  model-model pembelajaran yang mutakhir. Kemudian Pak Guru pun enjoy dengan metoda tersebut. Saat itu perlengkapan kelas hanyalah papan tulis hitam yang harus ditulisi dengan kapur, maka jadilah Pak guru mengajari murid-muridnya "IPA kapur"!

Beberapa waktu kemudian pemerintah pusat mengirim peralatan praktikum, dan membangun lab untuk sarana belajar siswa dengan praktek. Dibangunnya gedung lab dan dikirimnya perlengkapan lab ternyata tidak mampu mengubah Pak Guru dalam mengajar di sekolah tersebut. Hal itu karena ia tak tahu bagaimana cara menggunakan alat-alat yang terdapat di lab itu.

Sewaktu penataran pengelolaan lab, yang datang adalah Kepala Sekolahnya. Sedangkan Pak Guru sibuk mengajarkan IPA kapur kepada murid-muridnya. Sebenarnya Pak Guru kepingin juga dipanggil penataran. Ia ingin bisa mengajar dengan metoda-metoda baru dengan pendekatan pembelajaran yang modern dan model pembelajaran yang canggih sesuai dengan perkembangan dunia pendidikan di luar negeri. Namun tak pernah kesampaian. Yang diundang ikut penataran selalu Kepala Sekolahnya. Padahal Kepala sekolah tersebut dari jurusan IPS bukan IPA. Kok, bisa ya? Sebuah paradoks di Indonesia!

Maka jadilah lab IPA di sekolah itu tidak pernah dikunjungi siswa, karena gurunya tak bisa memakainya. Sesekali saja Pak Guru menyuruh siswa membersihkan ruang lab. Itu pun jika Kepala Sekolah memerintahkan. Jika tidak, maka ia biarkan  kotor berdebu. Banyak peralatan lab yang kemudian rusak. Bukan karena sering dipakai.Bukan pula karena kecelakaan kerja. Tetapi karena tak pernah dipakai tertutup debu yang sangat tebal.

Papan tulis hitam dengan kapur sudah beberapa waktu lalu diganti dengan sesuatu yang baru, yakni dengan papan tulis putih yang harus ditulisi dengan spidol .Kebiasaan Pak Guru mengajar IPA dengan metoda "IPA kapur: berubah sedikit menyesuaikan dengan papan tulis pengganti. Kini Pak Guru melakukan “inovasi baru” dalam mengajar IPA dengan metoda Spidol. Sebuah metoda pokok yang makin membuat murid–murid membenci IPA.

Dalam pandangan murid-murid, mempelajari pelajaran IPA itu sangatlah menjengkelkan, membosankan, melelahkan, banyak PR dan tugas. Mencatat, mencatat, mencatat, namun tidak pernah diterangkan. Bahkan murid-murid sekolah tersebut tidak butuh diterangkan, sebab semakin diterangkan, semakin bingung dan susah dimengerti. Semua penjelasan guru semakin menjauhkan murid dari memahami IPA. Inovasi yang dilakukan Pak Guru tidak mampu mengubah pengetahuan  dan mental yang dimiliki murid-muridnya. Inovasi yang dilakukan beliau hanyalah untuk memenuhi kewajiban belaka, yakni 24 jam mengajar dan dapat sertifikasi. Dan tunjangannya yang aduhai menggiurkan orang-orang, fakir miskin yang dipelihara oleh negara dan diberi baju seragam “guru“ sesuai amanat UUD 45 pasal 34: Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara. Nah!

Jika kemudian kualitas pendidikan di Indonesia tidak pernah meningkat. Jika kemudian negara kita selalu  kalah dengan Malaysia, bahkan dalam sepak bola dan badminton. Jika kita hanya mampu mengekspor babu untuk memperoleh tambahan devisa. Jika kita selalu melihat anak-anak murid di Indonesia pencapaian nilai UN selalu rendah. Jika kita melihat guru-guru ketakutan siswanya tidak lulus UN sehingga rela memberi “kepekan” kepada peserta UN atau menggelembungkan nilai ujuan sekolah untuk mengatrol kelulusan. Maka wajar saja karena memang itikad baik sudah menguap dari kepala dan hati sebagian besar komponen negara kita. Mulai dari pemimpin negara sampai rakyat jelata. Mulai dari tentara sampai pengusaha. Mulai dari para kiai dan polisi. Mulai dari guru dan komite sekolah. Dari wali kelas sampai guru kelas. Tak ada harapan lagi...

Maka kemudian yang muncul di negeri kita ini bukan keajaiaban dunia pendidikan, tetapi keanehan, anomali atau apalah istilahnya, yang pasti hasil-hasil pendidikan IPA hanya mampu menjejali otak anak dengan teori-teori. Pembelajaran yang dilakukan Pak Guru di sekolah terpencil tersebut merupakan gambaran umum yang sebenarnya terjadi tidak hanya di desa ,namun sudah merambah ke seluruh pelosok negeri kita. Jangan bicara mengenai Iptek.mOrang cerdas di negeri yang bernama Indonesia ini tak kan dipakai. Tak akan diberi peluang yang akhirnya bangsa asing yang akan membeli kecerdasannya.

Memang benar anak-anak kita banyak yang bisa menjadi juara Internasional Olimpiade Sains. Banyak anak kita yang mampu menjadi juara Internasional pada even International  Young Inventor Competition. Namun di mana mereka setelah lulus menjadi sarjana? Bersembunyikah? Atau mata kita yang gelap tak bisa melihat mereka yang berkarya untuk negara ini?

Semua itu berawal dari ruang kelas. Semua itu hulunya adalah kualitas pembelajaran yang dikembangkan oleh guru di sekolah-sekolah Indonesia. Dan barangkali inovasi  pembelajaran IPA spidol yang dilakukan guru-guru IPA di Indonesia yang menjadikan anomali tersebut terjadi. Meskipun dalam tataran tertentu, karena gobloknya, inovasi pembelajaran tersebut lebih tepat diaplikasi.

Lalu salah siapa?

Yang jelas bukan salah bunda mengandung, atau salah bapak membuka sarung, melainkan kita harus mengakuinya, salah kita semua. Pemerintah salah dalam membuat kebijakan-kebijakan tentang pendidikan. Anggota-anggota DPR juga salah karena membuat undang-undang yang tidak mencerdaskan kehidupan bangsa. Guru-guru juga salah karena kurang memiliki konsistensi dalam bekerja. Masyarakat pun salah membiarkan semua itu terjadi  tanpa reaksi bagaikan tugu atau setan-setan bisu. Semuanya andil dalam kesalahan yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia.B esar atau kecil.

Sebaiknya semuanya  mengakui hal tersebut. Pengakuan yang jujur akan mampu memotivasi diri untuk memperbaiki kesalahan yang telah terlanjur diperbuat .Pengakuan yang jujur akan mampu menggerakkan hati meluapkan energi potensialnya sehingga tidak akan lelah dan putus asa dalam bekerja. Pengakuan yang jujur akan meluruskan pandangan sehingga terlihat semua solusi dari semua permasalahan yang ditimbulkan oleh kesalahan sistemik yang telah berlangsung bertahun-tahun di negeri kita ini.

Setelah pengakuan kesalahan tersebut, maka langkah berikutnya adalah membulatkan tekad untuk maju berdikari menggali seluruh potensi sehingga ditemukan akar pendidikan khas Indonesia. Dengan itu kita akan memiliki struktur dan sistem pendidikan sains yang mantap.Tidak perlu takut dengan penilaian bangsa asing.Tidak perlu minder bila hasil pendidikan kita nantinya dinilai rangking terakhir. Percaya diri saja karena kita paling tahu tentang Indonesia. Tak perlu lagi bantuan Australia atau Amerika atau siapapun yang membantu namun sebenarnya memperlemah kita dan mengambil terlalu banyak dari kita dibanding bantuan yang telah mereka berikan  kepada kita.

Pendidikan sains harus menjadi pelopor perbaikan kemanusiaan Indonesia. Pendekatan pendidikan yang selama ini mengekor negara lain,yang ternyata hasilnya tak seindah teorinya,harus diubah menjadi pendekatan yang berorientasi keindonesiaan. Sekalipun sains sebenarnya bersifat universal, namun pembelajaran sains mesti membawa manfaat bagi kemajuan negara. Dan itu tidak mungkin dicapai dengan “Sains Spidol atau Spidol Sains“.

Ikuti tulisan menarik mulyanto TE - lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler