x

Ilustrasi rumah tangga

Iklan

Rofi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Juni 2021

Kamis, 28 April 2022 06:17 WIB

Bedanya Memiliki Tujuan Menikah dan Menikah Sebagai Tujuan

Saya persembahkan tulisan ini sebagai kegelisahan saya melihat fenomena sebagian besar orang dalam mengambil keputusan untuk menikah. Hal yang paling mendasar adalah adanya perbedaan dalam menempatkan tujuan, ada yang menempatkan memiliki tujuan menikah dan ada juga yang memilih menikah sebagai tujuan. Di akhir kata, Saya khususkan tulisan ini sebagai rangkaian keseriusan saya memilih menikah dengan pasangan saya Fatimatuz Zahra sebagai partner dalam melanjutkan hidup setelah menikah, dan kami menempatkan menikah sebagai jembatan kami dalam menggapai cita-cita yang sedang kami bangun.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menikah dalam konteks undang-undang disebut sebagai perkawinan. Untuk menelisik lebih jauh, perkawinan di dalam UU Perkawinan memiliki arti sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tentu ikatan tersebut melibatkan kedua belah pihak keluarga yang turut menyertai. Pada zaman dahulu pertalian pernikahan lebih kental dengan tujuan untuk meneruskan regenerasi keterunan mereka. Tujuan pernikahan ini juga tidak kalah menarik karena dibalut dengan unsur budaya, baik dalam proses penentuan calon pasangan maupun proses pernikahan tersebut. Seperti halnya yang dilakukan di lingkungan keraton Yogyakarta sebelum budaya tersebut mulai memudar pada masa Hamengku Buwono IX. 


Belakangan ini muncul fenomena baru di tengah masyarakat dalam keputusannya untuk menikah. Alih-alih regenerasi keturunan atau pelestarian budaya, kebanyakan orang di Asia memiliki pendangan baru dalam keputusan menikah seperti; “Dari pada berzina lebih baik menikah, berkeinginan menikah karena merasa sudah masuk usia 30 tahun, atau yang lebih ekstrim yaitu memilih dengan tujuan agar hidupnya tercukupi.” Alasan-alasan semacam ini mudah kita temui karena bertebaran sebagai sebuah konten informasi atau dalam bentuk komen. Meskipun tidak ada yang secara eksplisit menunjukkan rasa bangga atas pernikahan dengan keputusan tersebut, akan tetapi bentuk kebanggan yang didapatkan tidak lain dari rasa puas telah memenuhi ekspektasi orang lain. 


Pada pandangan yang serupa, banyak argumentasi yang dilontarkan oleh khalayak tentang pandangannya perihal pernikahan. Seperti contoh pendapat akun @NopiEs_ “Andai menikah itu bukan termasuk dalam ibadah. Mungkin aku tidak akan berharap pada lelaki manapun”, atau kita biasa temui video pendek yang banyak dibuat oleh orang Asia ketika keputusannya menikah dengan orang yang baru dikenal dikarenakan pasangan sebelumnya belum siap menikah. Secara pribadi saya tidak ada masalah dengan adanya keputusan tersebut, akan tetapi rasa-rasanya perlu dikuliti satu demi satu argumentasi yang selama ini dipakai oleh sebagian besar orang Asia dalam memantapkan diri untuk menikah. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan


Pertama, keputusan menikah yang banyak muncul akhir-akhir tidak lain ialah upaya untuk menghidar dari sebuah masalah yang dihadapi. Menikah karena sudah beranjak usia 30 tahun tidak lain untuk menutup mulut para tetangga atau saudara yang setiap hari menggunjing dengan ungkapan perawan tua atau bujang lapuk. Begitupun dengan keputusannya untuk lebih memilih calon lain ketimbang menyelesaian kegelisahan pasangannya yang sedang belum siap menikah. Andai kata di daerah suatu daerah tersebut tidak bekerja adalah sebuah aib, akan sangat mungkin jika keputusan menikah sebagai cara untuk menghindari aib ketimbang mencari solusi untuk mendapatkan perkejaan yang layak. 


Kedua, Karena menikah digunakan sebagai tameng untuk menghindari masalah, maka tidak mengherankan jika sebagian besar keputusan menikah yang diambli justru tidak dibarengi dengan tujuan menikahnya. Hal ini penting karena rumah tangga menjadi hambar dan kosong karena tidak ada tujuan setelah menikah, bukan sebatas alasan untuk menikah. Perlahan kita dapat memahami bahwa ada konsep yang diyakini sebagian orang bahwa menikah adalah tujuan akhir dan menikah sebagai proses atas jembatan untuk melanjutkan hidup.  


Problem yang dapat kita tangkap bahwa saat ini sebagian besar orang tidak benar-benar memahami atau bahkan tahu tentang tujuannya menikah dengan pasangan yang ia pilih. Keputusan untuk menikah adalah keputusan sakral yang mana pada prosesnya senantiasa melibatkan Tuhan sebagai unsur transandetal. Menurut saya tujuan menikah justru muncul setelah bertemunya pasangan tersebut dan membangun iklim komunikasi yang saling menyehatkan. Komunikasi terkesan sepele untuk dijadikan patokan dalam memutuskan jalan pernikahan. Akan tetapi, dengan menggunakan komunikasi secara interpersonal terhadap pasangan justru mampu menjadi kendaraan utama dalam membangun sebuah hubungan. Bagaimana tidak, cara yang dilakukan dalam komunikasi tersebut seperti penyampaian rasa keterbukaan (openness), Empati (empathy), Dukungan (supportiveness), Rasa positif (positives), dan Kesetaraan atau kesamaan (equality) (Devito;2011). 


Cara-cara inilah yang mampu membongkar keaslian seorang pasangan. Meskipun terlihat rumit untuk sebuah teori, akan tetapi justru cara ini yang mampu membentuk pasangan dalam menentukan tujuan rumah tangganya akan seperti apa dan bagaimana menjalaninya bersama.  Keputusan menikah menjadi langkah awal untuk membangun hidup baru berdasarkan tujuan yang telah dipilih bersama. Tentu kesalingan menjadi keseimbangan dalam rumah tangga tersebut. Seperti Kata Ibu Nyai Hj Awanillah Amva di dalam kolom artikel NU.or.id bahwa dalam hubungan rumah tangga yang harus pertama kali dan diketahui adalah tujuannya. 


Memangnya seberapa penting, sih, memiliki tujuan menikah? Oke, anggap saja menikah adalah sebuah ladang. Ladang akan bisa menjadi tempat yang tandus, subur, atau rusak tergantung sipemilik dalam mengolah ladang tersebut. Untuk itu memiliki tujuan dalam mengolah lading adalah cara pertama untuk menentukan pemanfaatan ladang tersebut. Apabila pemilik tidak memiliki tujuan dalam pemanfaatannya, tidak dapat dipungkiri jika ladang hanya berakhir sebagai tanah kosong yang hanya ditumbuhi tanaman semak belukar. 


Berdasarkan analogi ini, memiliki tujuan menikah menunjukkan bahwa menikah adalah sebuah alat dalam meraih tujuan yang sedang dibangun bersama. Tujuan yang dibangun dari hasil komunikasi di dalam hubungannya. Sehingga memiliki tujuan menikah sama arti dengan membangun pondasi yang kokoh dalam melanjutkan hidup bersama ketika memasuki fase pernikahan. Inilah bedanya dengan menikah sebagai tujuan. Sebagian besar orang justru meletakkan peran menikah sebagai akhir perjalanan mereka. Menikah menjadi titik jawaban terakhir atas masalah yang sedang dihadapi. Maka tidak jarang jika kita mendengar ucapan bahwa menikah sebatas “melepas lajang.” Pada akhirnya, yang akan menjadikan pernikahan sebagai tujuan akhir, atau menikah karena memiliki tujuan, akan bermuara pada konsekuensinya masing-masing. 


Konsekuensi antara menikah sebagai tujuan dan memiliki tujuan menikah tentu akan berbeda. Orang-orang yang mencoba keluar dari kontruksi budaya yang telah mengakar atau mengikuti arus, ia akan lebih mengedepankan bonding dengan pasangannya dalam melihat tujuan hidup bersama setelah menikah. Salah satu konsekuensi yang diterima adalah adanya tujuan memilih pasangannya sebagai pasangan hidupnya, pembagian peran domestik dan publik secara setara, atau pengelolaan keuangan bersama yang transparan. Konsekuensi ini akan berbanding terbalik dengan orang-orang yang menjadikan sebagai tujuan akhir. Salah satu konsekuensinya yaitu pembagian peran yang terlihat patriarki, tidak ada transparansi dalam rumah tangga, mampu memiliki anak tanpa mengetahui tujuannya bahkan pola pengasuhan yang benar. 


Bagi saya, jika baru mampu berpikir menikah sebagai tujuan lebih baik tidak terburu-buru menikah dan belajar mengatasi masalah. Mundur satu langkah untuk benar-benar menikah dengan tujuan yang telah dibangun bersama pasangan, dari pada memutuskan menikah dan berakhir membangun beban baru bagi diri sendiri, keluarga, dan bahkan keturunan berikutnya. 

 

 

Sumber: 

Devito, J.A. (2011). Komunikasi Antar Manusia (terjemahan). Yogyakarta: Karisma Publishing. 
NU.ord.id. 20 September 2021. Nur Rofiah Ungkap Konsep Pernikahan Yang Ideal. Assifa Nurrahma.
Undang-Undang Tentang Perkawinan

Ikuti tulisan menarik Rofi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu